Refleksi : Kartu merah, putih maupun hijau atau warna apapun tidak mempunyai 
makna, karena  yang namanya DPR [ Dewan Penipu Rakyat] sekalipun buta warna 
tetapi mata duitan! hehehe

http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=19653
2010-06-17 
Kartu Merah untuk DPR?


Oleh : Boni Hargens

Politik kita sepertinya kehilangan arah. Skandal Century sudah tak jelas 
nasibnya. Sementara itu, muncul manuver politik tak masuk akal seperti usulan 
dana aspirasi Rp 15 miliar tiap wakil rakyat. Golkar malah mengusulkan lagi 
dana Rp 1 miliar per desa untuk 73.000 desa di seluruh Indonesia. Masuk akal? 


Thomas Hobbes (1588-1679) melihat animalisme sebagai tabiat asali manusia 
sehingga ia membayangkan adanya "negara leviathan" yang kuat dan represif. 
Mengekang kebuasan adalah raison de'tre adanya (hukum dan) negara. Hobbes 
dikritik banyak ilmuwan politik (JA Thomas, 1929; David van Mill, 2000) karena 
ia menegasi kebebasan sipil yang positif sifatnya. Jika boleh ditambahkan, 
kelemahan mendasar Hobbes, ia tak sempat membayangkan bahwa (penyelenggara) 
negara pun bisa lebih buas dari rakyatnya ketika kekuasaan bersifat monolitik.


Tapi, Hobbes selalu kontekstual. Melihat praktek politik modern di banyak 
negara di dunia, dalam sistem politik apapun, entah demokrasi ataupun 
non-demokrasi, animalisme masih terbaca jelas dalam perilaku manusia politik. 
Tercermin dalam praksis politik yang memperkaya diri dengan mengatasnamakan 
rakyat; mendefenisikan kekuasaan sebagai hak milik; sulitnya memisahkan diri 
dari jabatan sehingga gandrung terjadi abuse of power; dan beragam deviasi 
politik yang mematikan roh asli politik sebagai yang berurusan dengan bonum 
commune, kemaslahatan umum. 


Barangkali kita perlu memahami usulan dana aspirasi dan dana desa yang semuanya 
berjumlah Rp 81.4 triliun ( Rp 73 triliun untuk dana desa dan Rp 8.4 triliun 
dana aspirasi) dalam bingkai Hobbes. Kalau ide itu dilandaskan pada paradigma 
mensejahterakan rakyat, ia terlalu elitis dan malah rawan korupsi. Sebab tak 
mudah kita memilah antara intensi mensejahterakan rakyat dan intensi menyuntik 
partai-partai politik yang kehabisan uang dalam konteks ini. Lebih jauh, kita 
perlu mempersoalkan usulan ini dalam tiga logika, yakni logika korelasi antara 
dana dan kinerja, logika tentang hubungan wakil dan terwakil dalam sistem 
perwakilan, dan konteks lahirnya aspirasi itu dalam kaitannya dengan kondisi 
umum masyarakat.

Kinerja 
Bekas Menkeu Sri Mulyani Indrawati sudah menerapkan remunerasi di departemennya 
sebagai solusi meningkatkan kinerja. Tak sedikit orang seperti Hatta Rajasa 
yang bangga dengan remunerasi Sri. Ternyata, tak lama setelah itu, kasus Gayus 
Tambunan terbongkar setelah mantan Kabareskrim Susno Duadji bernyanyi. 
Kesimpulannya jelas, remunerasi samasekali tak mengatasi korupsi dan masalah 
krisis profesionalitas kerja birokrasi. 


Ditakutkan, bayangan buruk ini terulang lagi dengan dana aspirasi, jika itu 
diloloskan parlemen. Apalagi miskinnya kinerja parlmen masih terpahat kuat 
dalam ingatan kolektif publik. Secara teoretis, lahirnya perwakilan politik 
didasarkan pada trust, kepercayaan. Seseorang menjadi wakil karena dipercaya 
oleh pihak terwakil melalui mekanisme elektoral yang dilakukan secara reguler. 
Wakil dan terwakil ada dalam ikatan emosional yang tak terpisahkan. 
Implikasinya, kondisi hidup pihak yang diwakili (konstituen) harus menjadi 
bagian dari kesadaran wakil supaya segala tindakan politik diarahkan pada 
perubahan hidup pihak terwakil. Apalagi, Teori Peran (role theory) dalam studi 
perwakilan politik memastikan harapan publik sebagai deliberasi utama dalam 
merumuskan tindakan politik seorang wakil, disamping kebebasan personal wakil 
sebagai pribadi yang dianggap primus interpares.
Yang terjadi selama ini, wakil menarik jarak dengan konstituen. Banyak alasan 
kenapa faktum politik ini terjadi. Bisa karena wakil memang bukan orang terbaik 
di tengah masyarakat karena mekanisme rekrutmen kandidat yang sepenuhnya 
ditentukan oligarki internal partai. Bisa juga karena alasan lain yang silahkan 
kita sebutkan secara bebas. Tapi poin dalam konteks ini, bahwa para wakil dalam 
sistem politik kita mengalami erosi kepercayaan publik. Dana aspirasi dan dana 
desa yang bergulir di parlemen sekarang niscaya menuai resistensi luas persis 
karena erosi kepercayaan ini. 

Kondisi Umum
Selain tesis distrust tadi, faktor kondisi umum masyarakat pun perlu 
dipertimbangkan. Terlepas dari segala statistik sosial yang disusun pemerintah, 
kemiskinan harus diakui masih menjadi keprihatinan kita semua. Dalam situasi 
kompleks macam ini, dana aspirasi menjadi irasional dan tidak relevan secara 
mutlak. 


Betul,bahwa bisa saja dana aspirasi, terutama dana desa, justru mendapat 
justifikasi karena persoalan sosial kemiskinan ini. Tetapi nyaris tidak ada 
ukuran absolut yang menjamin adanya peningkatan kualitas perwakilan politik 
dengan adanya dana aspirasi sebesar itu. Karena dengan gaji besar selama ini 
pun, wakil masih belum mampu memperlihatkan komitmen keberpihakan pada rakyat. 
Maka, diharapkan, faksi penyundul bola ini di Senayan tak boleh gegabah 
memaksakan kebijakan yang lebih mudah dilihat sebagai cara santun merampok 
negara ketimbang sebagai insentif untuk peningkatan kualitas representasi 
politik. Diperlukan discernment, permenungan bijaksana, sebelum DPR diberi 
kartu merah oleh rakyatnya sendiri. 

Penulis adalah Direktur Lembaga Pemilih Indonesia; Pengajar Ilmu Politik, 
Universitas Indonesia


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke