From: roberto rulli <rulli_dazzl...@yahoo.com> (Dikutip dari Blog Anindya Bakrie: ) Date: Wednesday, June 23, 2010, 11:39 AM
Saat ini pertumbuhan media sosial di Indonesia sangat pesat. Sebagian besar anak muda kita, terutama yang tinggal di kota besar, aktif menggunakan internet untuk berkomunikasi, beraktivitas hingga update informasi. Salah satu medium yang berkembang pesat adalah media sosial seperti Facebook, Twitter, blog dan lain-lainnya. Saya percaya keberadaan media sosial di era new media ini akan memberikan banyak manfaat. Selain mendapat informasi secara cepat, beragam juga langsung dari sumber pertama. Siapa saja dan kapan saja bisa berbicara bebas. Kita bisa berdiskusi atau ngobrol-ngobrol dengan orang yang tidak kita kenal. Di sinilah bagusnya new media, walau tidak saling kenal kita bisa berdiskusi secara baik di dalamnya. Meski bebas berinteraksi di media sosial, kadang kita melupakan etika. Kita seyogyanya tetap menjaga sopan santun, menjaga kesopanan saat berinteraksi di sana. Internet memberikan kebebasan, namun jangan sampai kebebasan itu kita salahgunakan. Kebebasan yang kita dapat jangan digunakan untuk menyebar fitnah, kebohongan, atau hal lain yang merugikan pihak lain. Berselancar di media sosial, juga harus dijaga sopan santun agar kita mendapat simpati, dipercaya, serta menjadi acuan masyarakat. Banyak pihak yang tidak mengindahkan hal itu. Misalnya menyalah gunakan media sosial seperti facebook untuk hal-hal yang negatif. Kasus terbaru adalah lomba kartun nabi. Tentu hal ini dikatakan pembuatnya bentuk kebebasan, namun hal itu menyakiti orang lain. Selain itu juga marak penipuan dengan melibatkan media sosial ini. Ada yang menipu lewat YM, Facebook, dan sebagainya. Internet adalah dunia terbuka, siapa saja bisa masuk ke dalamnya dan berbuat apa saja. Karena itu diperlukan filter. Selain undang-undang, filternya tentu dari diri kita sendiri. Dengan menerapkan etika kita bisa membuat dunia maya semakin aman dan nyaman bagi kita. Berbincang dengan Blogger Langsat Terkait dengan media sosial, pada Selasa malam ,1 Juni, saya mendapat kesempatan menghadiri diskusi para blogger di Komunitas Langsat. Saya diundang mendampingi ayah saya dalam acara Obrolan Langsat (Obsat) “Aburizal Bakrie Menjawab”. Obsat adalah acara dialog yang digelar rutin oleh para blogger Komunitas Langsat dengan topik yang berbeda setiap pekannya. Malam itu, meski hujan deras mengguyur Langsat, acara cukup ramai. Banyak blogger datang berbaur dengan wartawan dan masyarakat umum. Sesuai tema acara, ayah saya yang lebih banyak berbincang menjawab berbagai pertanyaan. Sebagian besar pertanyaan terkait yang disampaikan malam itu terkait isu politik Partai Golkar dan keluarga Bakrie, dan dijawab satu persatu. Perbincangan dimoderatori oleh Pemimpin Redaksi detikcom Budiono Darsono dan Wakil Pemimpin Redaksi Tempo Interaktif Wicaksono atau kalau di dunia maya dikenal sebagai Ndorokakung. Perbincangan dibuat sangat bebas, hadirin boleh bertanya bebas. Tanya apa saja boleh, dan dijawab semua. Bahkan, pertanyaan soal surga dan neraka juga dijawab. Dalam tulisan ini saya akan menulis tentang beberapa pertanyaan yang muncul terkait isu keluarga Bakrie yang juga sering ditanyakan kepada saya. Baik di blog, twitter maupun facebook, saya sering mendapat pertanyaan seputar kasus semburan lumpur Sidoarjo. Saya kira jawaban ayah saya malam itu tidak jauh berbeda dengan pendapat saya. Ayah saya menjelaskan bahwa semburan lumpur yang muncul di Porong, Sidoarjo, tidak terjadi di tempat pengeboran Sumur Banjar Panji-1 milik Lapindo Brantas, tapi berjarak kurang lebih 200 meter dari tempat pengeboran. Semburan lumpur seperti itu di dunia ada 700 titik. Yang terbesar di Azerbaijan. Di Indonesia sendiri, semburan lumpur terjadi berbagai macam, yang terakhir di Porong tidak bisa dilihat siapa yang menyebabkannya, karena itu memang fenomena alam. Menurut para ahli, dari daerah Purworejo sampai Madura itu memang ada sesar patahan. Namanya sesar Watu Kosek. Sesar ini, di daerah Jawa Tengah bernama Bledug Kuwu dan hingga saat ini masih hidup, dan sudah berusia 60 tahun lamanya. Ini fenomena alam. Data ini pertama kali dikemukakan oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan kemudian oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pak Ical juga mengatakan Lapindo itu perusahaan kecil. Bahkan sebenarnya, (yang ini tidak diucapkan Pak Ical, saya tambahkan di sini) “Production Sharing Contract” Lapindo dalam Blok Brantas (ladang gas Sidoarjo tersebut) hanya 50 persen. Lapindo secara efektif dimiliki perusahaan publik Energi Mega Persada Tbk., yang dimiliki oleh Keluarga Bakrie sekitar 60 persen. Jadi kalau dilihat nilai ekonomisnya sebenarnya kepemilikan Keluarga Bakrie hanya sekitar 30 persen. Berbeda dengan kasus perusahaan minyak internasional British Petroleum (BP) di Amerika yang sedang berlangsung, dimana BP adalah perusahaan besar dan memiliki 100 persen ladang di Teluk terkait di Amerika, sementara Lapindo adalah perusahaan kecil yang hanya memiliki sebagian “working interest” di Blok Brantas (walau memang selaku operator). Sehingga konsekwensi logis apabila perusahaan tersebut masih di paksa untuk menkompensasi bencana alam di Sidoarjo tersebut, perusahaan akan bangkrut dan tidak dapat membantu sedikitpun korban bencana. Namun benar atau salah, Ibu ayah saya, atau nenek saya, memerintahkan kepada keluarga Bakrie untuk memberikan bantuan, meskipun sebenarnya tidak ada kaitan hukum ke Keluarga Bakrie (dan ekonomis nya hanya 30 persen) serta berdasarkan keputusan beberapa pengadilan mengatakan bahwa Lapindo tidak bersalah. Menurut keluarga kami ini adalah kesempatan berbagi dan membantu korban terdampak, bukan untuk memperdebatkan siapa salah. Terus terang, tidak jarang kami sekeluarga merasa sedih dipersepsikan tidak peduli apalagi tidak bertanggung jawab akan kejadian Lumpur Sidoarjo ini. Kami yakin masih banyak cara yang lebih baik dalam membantu korban terdampak, akan tetapi tentu kami terus melakukan yang terbaik dalam keadaan yang sangat sulit. Kalaupun ada masukan konstruktif, pasti kami terima dengan baik. Tetapi kok justru lebih banyak tudingan dan pendapat yang miring dan tidak berlandasan kuat. He he. Curhat colongan…. Untuk masalah ini keluarga Bakrie telah mengeluarkan dana Rp7,8 triliun. Dana ini adalah dana yang sangat besar untuk kami. Tidaklah mudah kami mendapatkan dana tersebut kami harus menjual berbagai macam saham keluarga di berbagai macam perusahaan yang untung (agar laku dijual). Sehingga ketika dunia tertimpa krisis di tahun 2008/2009 dan harga saham berjatuhan, terus terang kami sangat kewalahan dalam membantu korban. Kami membeli tanah di wilayah tanggul dengan harga 20 kali NJOP. Bayangkan saja apabila banyak perusahaan kesulitan membebaskan tanah untuk keperluan fasilitas publik seperti jalan tol di mana disinyalir ada berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, apalagi keadaan di Sidoarjo yang sudah jelas muatan berita dan sosial-politisnya kental. Karena dengan konpensasi sebegitu besar, mereka juga mendapat lebih besar. Bahkan sebagian dari mereka senang bisa naik haji, rumahnya bagus, dan sebagainya. Soal itu juga pernah saya tulis di sini. Selain persoalan lumpur Sidoarjo tersebut, banyak lagi tanya jawab yang berlangsung selama sekitar dua jam itu. Tulisan soal perbincangan itu bisa dibaca di blog ayah saya. Dalam perbincangan itu, ayah saya juga ditanya apakah akan menyiapkan anak-anaknya mengikuti jejaknya menjadi politisi. Mengingat politisi besar biasanya memang menyiapkan putra-putri mereka untuk menggantikan mereka suatu hari nanti. Ada Gus Dur dengan Mbak Yenny Wahid, Ibu Megawati dengan Mbak Puan, atau Pak SBY dengan Mas Ibas. Lalu ayah saya menjawab bahwa dirinya tidak mempersiapkan anak-anaknya untuk berpolitik; seperti halnya kakek saya yang tidak mempersiapkan anak-anaknya untuk mengikuti jejak menjadi pebisnis. Nah jika kemudian anak-anak keluarga Bakrie mengikuti jejak menjadi pebisnis itu pilihan dari mereka sendiri. Demikian pula dengan dunia politik, ayah saya tidak akan menyiapkan anak-anaknya. Namun jika suatu saat anak-anaknya ada yang berniat terjun ke politik ayah saya tidak melarangnya. Seperti halnya seorang dokter yang tidak bisa melarang anaknya menjadi dokter, atau guru yang anaknya jadi guru juga. Pertanyaan pun beralih ke saya langsung. Bagaimana dengan saya sendiri, apakah saya berniat menjadi politisi? Saya didaulat untuk menjawab langsung. Saya katakan saja saat itu, bahwa yang diajarkan dari keluarga dari jaman kakek dahulu ialah yang penting bagaimana bisa bermanfaat bagi masyarakat. Nah, cara menjadi orang bermanfaat bagi masyarakat banyak macamnya. Ada yang jadi pedagang, ada yang jadi seorang eksekutif, guru, juga politisi. Semua itu menurut saya adalah sarana. Tapi yang penting adalah ujungnya, yaitu bagaimana kita bermanfaat bagi masyarakat luas. Sampai saat ini, saya melihat bahwa pengalaman dan kesukaan saya adalah memberikan sumbangsih di bidang usaha. Saya merasa cocok memimpin di Bakrie Telecom dan di VIVA Media Group yang merupakan habitat saya. Jadi kalau urusan politik saya katakan: “Waduh, bisnis saja masih belajar”. Lalu ada juga yang bertanya bagaimana jika memimpin Kadin? Wah, saya katakan saja saya belum ada pemikiran ke situ. Saya sudah cukup sibuk dengan jabatan Wakil Ketua Umum Kadin dan menjalankan tanggung jawab usaha, karena banyak juga karyawan dan pelanggannya. Tujuan saya ke depan masih fokus bagaimana memberikan yang terbaik ke pada masyarakat dengan kapasitas saya sekarang. Itulah sedikit cuplikan mengenai perbincangan dengan para blogger di Langsat. Saya sangat senang dan terkesan dengan kesempatan seperti itu, di mana kita bisa berdialog secara langsung. Tak hanya di darat, saat acara saya juga baca twitter yang disiarkan di layar satu per satu atau dari akun twitter saya @anindyabakrie. Ada yang memuji, mengkritik, bahkan mengecam. Semua itu akan kami terima sebagai masukan. [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]