Berani sumpah pindah agama saya gak percaya kalau ini yang nulis Anin sendiri. 
Kalimatnya sudah diolah sedemikian rupa. 
 
Saya cuma bisa bilang: halah.....

--- On Wed, 23/6/10, Satrio Arismunandar <satrioarismunan...@yahoo.com> wrote:


From: Satrio Arismunandar <satrioarismunan...@yahoo.com>
Subject: [ppiindia] Dikutip dari Blog Anindya Bakrie (soal lumpur, politik, 
bisnis, dll)
To: "news Trans TV" <news-tran...@yahoogroups.com>, "kampus tiga" 
<kampus-t...@yahoogroups.com>, aipi_poli...@yahoogroups.com, "technomedia" 
<technome...@yahoogroups.com>, "AJI INDONESIA" <ajis...@yahoogroups.com>, 
"jurnalisme" <jurnali...@yahoogroups.com>, "ppiindia" 
<ppiindia@yahoogroups.com>, "nasional list" <nasional-l...@yahoogroups.com>, 
"Indonesia Rising" <indonesia-ris...@yahoogroups.com>, "warta-lingk" 
<wartawanlingkun...@yahoogroups.com>, "sastra pembebasan" 
<sastra-pembeba...@yahoogroups.com>, "Pers Indonesia" 
<persindone...@yahoogroups.com>, "pantau" <pantau-komuni...@yahoogroups.com>, 
"DPR Indonesia" <dpr-indone...@yahoogroups.com>, "Forum Kompas" 
<forum-pembaca-kom...@yahoogroups.com>
Date: Wednesday, 23 June, 2010, 12:52 PM


  



From: roberto rulli <rulli_dazzl...@yahoo.com>

(Dikutip dari Blog Anindya Bakrie:  )
Date: Wednesday, June 23, 2010, 11:39 AM

 

Saat ini pertumbuhan media sosial di Indonesia sangat pesat. Sebagian

besar anak muda kita, terutama yang tinggal di kota besar, aktif 

menggunakan internet untuk berkomunikasi, beraktivitas hingga update 

informasi.  Salah satu medium yang berkembang pesat adalah media sosial 

seperti Facebook, Twitter, blog dan lain-lainnya.

Saya percaya keberadaan media sosial di era new media ini akan 

memberikan banyak manfaat. Selain mendapat informasi secara cepat,  

beragam juga langsung  dari sumber pertama.  Siapa saja dan kapan saja 

bisa berbicara bebas. Kita bisa berdiskusi atau ngobrol-ngobrol dengan 

orang yang tidak kita kenal. Di sinilah bagusnya new media, walau tidak 

saling kenal kita bisa berdiskusi secara baik di dalamnya.

Meski bebas berinteraksi di media sosial,  kadang kita melupakan 

etika. Kita seyogyanya tetap menjaga sopan santun, menjaga kesopanan 

saat berinteraksi di sana. Internet memberikan kebebasan, namun jangan 

sampai kebebasan itu kita salahgunakan.  Kebebasan yang kita dapat 

jangan digunakan untuk menyebar fitnah, kebohongan, atau hal lain yang 

merugikan pihak lain. Berselancar di media sosial, juga harus dijaga 

sopan santun  agar kita mendapat simpati, dipercaya, serta menjadi acuan

masyarakat.

Banyak pihak yang tidak mengindahkan hal itu. Misalnya menyalah 

gunakan media sosial seperti facebook untuk hal-hal yang negatif. Kasus 

terbaru adalah lomba kartun nabi. Tentu hal ini dikatakan pembuatnya 

bentuk kebebasan, namun hal itu menyakiti orang lain.

Selain itu juga marak penipuan dengan melibatkan media sosial ini. 

Ada yang menipu lewat YM, Facebook, dan sebagainya. Internet adalah 

dunia terbuka, siapa saja bisa masuk ke dalamnya dan berbuat apa saja. 

Karena itu diperlukan filter. Selain undang-undang, filternya tentu dari

diri kita sendiri. Dengan menerapkan etika kita bisa membuat dunia maya

semakin aman dan nyaman bagi kita.

Berbincang dengan Blogger Langsat

Terkait dengan media sosial, pada Selasa malam ,1 Juni, saya mendapat

kesempatan menghadiri diskusi para blogger di Komunitas Langsat. Saya 

diundang mendampingi ayah saya dalam acara Obrolan Langsat (Obsat) 

“Aburizal Bakrie Menjawab”. Obsat adalah acara dialog yang digelar rutin

oleh para blogger Komunitas Langsat dengan topik yang berbeda setiap 

pekannya.

Malam itu, meski hujan deras mengguyur Langsat, acara cukup ramai. 

Banyak blogger datang berbaur dengan wartawan dan masyarakat umum. 

Sesuai tema acara, ayah saya yang lebih banyak berbincang menjawab 

berbagai pertanyaan. Sebagian besar pertanyaan terkait yang disampaikan 

malam itu terkait isu politik Partai Golkar dan keluarga Bakrie, dan 

dijawab satu persatu.

Perbincangan dimoderatori oleh Pemimpin Redaksi detikcom Budiono 

Darsono dan Wakil Pemimpin Redaksi Tempo Interaktif Wicaksono atau kalau

di dunia maya dikenal sebagai Ndorokakung. Perbincangan dibuat sangat 

bebas, hadirin boleh bertanya bebas. Tanya apa saja boleh, dan dijawab 

semua. Bahkan, pertanyaan soal surga dan neraka juga dijawab.

Dalam tulisan ini saya akan menulis tentang beberapa pertanyaan yang 

muncul terkait isu keluarga Bakrie yang juga sering ditanyakan kepada 

saya. Baik di blog, twitter maupun facebook, saya sering mendapat 

pertanyaan seputar kasus semburan lumpur Sidoarjo.

Saya kira jawaban ayah saya malam itu tidak jauh berbeda dengan 

pendapat saya. Ayah saya menjelaskan bahwa semburan lumpur yang muncul di 
Porong, Sidoarjo,  tidak terjadi di tempat pengeboran Sumur Banjar 

Panji-1 milik Lapindo Brantas, tapi berjarak kurang lebih 200 meter dari

tempat pengeboran.

Semburan lumpur seperti itu di dunia ada 700 titik. Yang terbesar di 

Azerbaijan. Di Indonesia sendiri, semburan lumpur terjadi berbagai 

macam, yang terakhir di Porong tidak bisa dilihat siapa yang 

menyebabkannya, karena itu memang fenomena alam.

Menurut para ahli, dari daerah Purworejo sampai Madura itu memang ada

sesar patahan. Namanya sesar Watu Kosek. Sesar ini, di daerah Jawa 

Tengah bernama  Bledug Kuwu dan hingga saat ini masih hidup, dan sudah 

berusia 60 tahun lamanya. Ini fenomena alam. Data ini pertama kali 

dikemukakan oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan kemudian oleh Badan 

Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Pak Ical juga mengatakan Lapindo itu perusahaan kecil. 

Bahkan sebenarnya, (yang ini tidak diucapkan Pak Ical, saya tambahkan di

sini) “Production Sharing Contract” Lapindo dalam Blok Brantas (ladang 

gas Sidoarjo tersebut) hanya 50 persen.  Lapindo secara efektif dimiliki

perusahaan publik Energi Mega Persada Tbk., yang dimiliki oleh Keluarga

Bakrie sekitar 60 persen.  Jadi kalau dilihat nilai ekonomisnya 

sebenarnya kepemilikan Keluarga Bakrie hanya sekitar 30 persen.

Berbeda dengan kasus perusahaan minyak internasional British 

Petroleum (BP) di Amerika yang sedang berlangsung, dimana BP adalah 

perusahaan besar dan memiliki 100 persen ladang di Teluk terkait di 

Amerika, sementara Lapindo adalah perusahaan kecil yang hanya memiliki 

sebagian “working interest” di Blok Brantas (walau memang selaku 

operator). Sehingga konsekwensi logis apabila perusahaan tersebut masih 

di paksa untuk menkompensasi bencana alam di Sidoarjo tersebut, 

perusahaan akan bangkrut dan tidak dapat membantu sedikitpun korban 

bencana.

Namun benar atau salah, Ibu ayah saya, atau nenek saya, memerintahkan

kepada keluarga Bakrie untuk memberikan bantuan, meskipun sebenarnya 

tidak ada kaitan hukum ke Keluarga Bakrie (dan ekonomis nya hanya 30 

persen) serta berdasarkan keputusan beberapa pengadilan mengatakan bahwa 
Lapindo tidak bersalah. Menurut keluarga kami ini adalah kesempatan 

berbagi dan membantu korban terdampak, bukan untuk memperdebatkan siapa salah.

Terus terang, tidak jarang kami sekeluarga merasa sedih dipersepsikan

tidak peduli apalagi tidak bertanggung jawab akan kejadian Lumpur 

Sidoarjo ini. Kami yakin masih banyak cara yang lebih baik dalam 

membantu korban terdampak, akan tetapi tentu kami terus melakukan yang 

terbaik dalam keadaan yang sangat sulit.  Kalaupun ada masukan 

konstruktif, pasti kami terima dengan baik.  Tetapi kok justru lebih 

banyak tudingan dan pendapat yang miring dan tidak berlandasan kuat.  He

he.  Curhat colongan….

Untuk masalah ini keluarga Bakrie telah mengeluarkan dana Rp7,8 

triliun. Dana ini adalah dana yang sangat besar untuk kami.  Tidaklah 

mudah kami mendapatkan dana tersebut kami harus menjual berbagai macam 

saham keluarga di berbagai macam perusahaan yang untung (agar laku 

dijual).  Sehingga ketika dunia tertimpa krisis di tahun 2008/2009 dan 

harga saham berjatuhan, terus terang kami sangat kewalahan dalam 

membantu korban.  Kami membeli tanah di wilayah tanggul dengan harga 20 

kali NJOP.

Bayangkan saja apabila banyak perusahaan kesulitan membebaskan tanah 

untuk keperluan fasilitas publik seperti jalan tol di mana disinyalir 

ada berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, 

apalagi keadaan di Sidoarjo yang sudah jelas muatan berita dan 

sosial-politisnya kental.  Karena dengan konpensasi sebegitu besar, 

mereka juga mendapat lebih besar. Bahkan sebagian dari mereka senang 

bisa naik haji, rumahnya bagus, dan sebagainya. Soal itu juga pernah 

saya tulis di sini.

Selain persoalan lumpur Sidoarjo tersebut, banyak lagi tanya jawab 

yang berlangsung selama sekitar dua jam itu. Tulisan soal perbincangan 

itu bisa dibaca di blog ayah saya.

Dalam perbincangan itu, ayah saya juga ditanya apakah akan menyiapkan

anak-anaknya mengikuti jejaknya menjadi politisi. Mengingat politisi 

besar biasanya memang menyiapkan putra-putri  mereka untuk menggantikan 

mereka suatu hari nanti. Ada Gus Dur dengan Mbak Yenny Wahid, Ibu 

Megawati dengan Mbak Puan, atau Pak SBY dengan Mas Ibas.

Lalu ayah saya menjawab bahwa dirinya tidak mempersiapkan 

anak-anaknya untuk berpolitik; seperti halnya kakek saya yang tidak 

mempersiapkan anak-anaknya untuk mengikuti jejak menjadi pebisnis. Nah 

jika kemudian anak-anak keluarga Bakrie mengikuti jejak menjadi pebisnis

itu pilihan dari mereka sendiri.

Demikian pula dengan dunia politik, ayah saya tidak akan menyiapkan 

anak-anaknya. Namun jika suatu saat anak-anaknya ada yang berniat terjun

ke politik ayah saya tidak melarangnya. Seperti halnya seorang dokter 

yang tidak bisa melarang anaknya menjadi dokter, atau guru yang anaknya 

jadi guru juga.

Pertanyaan pun beralih ke saya langsung. Bagaimana dengan saya 

sendiri, apakah saya berniat menjadi politisi? Saya  didaulat untuk 

menjawab langsung. Saya katakan saja saat itu, bahwa yang diajarkan dari

keluarga dari jaman kakek dahulu ialah yang penting bagaimana bisa 

bermanfaat bagi masyarakat.

Nah, cara menjadi orang bermanfaat bagi masyarakat banyak macamnya. 

Ada yang jadi pedagang, ada yang jadi seorang eksekutif, guru, juga 

politisi. Semua itu menurut saya adalah sarana. Tapi yang penting adalah

ujungnya, yaitu bagaimana kita bermanfaat bagi masyarakat luas.

Sampai saat ini, saya melihat bahwa pengalaman dan kesukaan saya 

adalah memberikan sumbangsih di bidang usaha. Saya merasa cocok memimpin di 
Bakrie Telecom dan di VIVA Media Group yang merupakan habitat saya. 

Jadi kalau urusan politik saya katakan: “Waduh, bisnis saja masih 

belajar”.

Lalu ada juga yang bertanya bagaimana jika memimpin Kadin? Wah, saya 

katakan saja saya belum ada pemikiran ke situ. Saya sudah cukup sibuk 

dengan jabatan Wakil Ketua Umum Kadin dan menjalankan tanggung jawab 

usaha, karena banyak juga karyawan dan pelanggannya. Tujuan saya ke 

depan masih fokus bagaimana memberikan yang terbaik ke pada masyarakat 

dengan kapasitas saya sekarang.

Itulah sedikit cuplikan mengenai perbincangan dengan para blogger di 

Langsat. Saya sangat senang dan terkesan dengan kesempatan seperti itu, 

di mana kita bisa berdialog secara langsung. Tak hanya di darat, saat 

acara saya juga baca twitter yang disiarkan di layar satu per satu atau 

dari akun twitter saya @anindyabakrie. Ada yang memuji, mengkritik, 

bahkan mengecam. Semua itu akan kami terima sebagai masukan.

[Non-text portions of this message have been removed]

[Non-text portions of this message have been removed]










[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke