Kado Ulang Tahun untuk Polri 
                                        Kamis, 01 Jul 2010
                                        
                                        Tak
perlu alergi melihat jenderal polisi rajin ke masjid. Semakin dekat
polisi dengan agama, harusnya semakin eloklah budi pekertinya

oleh  Reza Indragiri Amriel*


ADA
sesuatu yang tidak lazim pada perhelatan hari Bhayangkara yang jatuh
pada hari ini. Hari ulang tahun Polri kali ini diselenggarakan secara
tertutup di Mako Brimob Kelapa Dua. Dengan latar pencitraan yang sedang
guncang seperti saat ini, saya memandang format perayaan hari ulang
tahun Polri itu sebagai bentuk perayaan yang tepat. Sudah semestinya
demikian.

Intinya mawas diri dan mencoba tampil lebih bersahaja.
Karena dengan reputasi yang anjlok, sungguh Polri tidak punya cukup
alasan untuk merayakan hari jadinya dengan high profile dan gegap
gempita.

Saya ingin membingkiskan satu kado bagi Polri. Kado
tentang Kepala Polri yang akan datang. Ini perlu disinggung, karena
Jenderal Bambang Hendarso Danuri tak berapa lama lagi akan memasuki
masa pensiun.

Di masyarakat mulai mengemuka desas-desus tentang
siapa yang akan menjadi pengganti BHD. Yang bikin agak cemas, tidak
sedikit kalangan yang menilai para kandidat Kapolri yang baru belum ada
yang benar-benar punya komitmen dan prestasi signifikan di bidang
pemberantasan korupsi.

Tentu saja, sikap antikorupsi harus
dipandang sebagai harga mati. Kontrak kerja yang tidak bisa
ditawar-tawar. Namun yang perlu semua pihak ingat, porsi terbesar kerja
kepolisian sesungguhnya bukan pada pemberantasan korupsi, yang termasuk
dalam ranah penegakan hukum.

Lingkup kerja polisi yang paling
besar adalah pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Jadi seorang
Kapolri, hemat saya, idealnya adalah figur yang memang punya catatan
kuat di tiga kegiatan tadi, yaitu pelayanan, pengayoman, dan
perlindungan publik.

Torehan positif pada pembasmian terorisme,
penangkapan koruptor, pembongkaran sindikat narkoba, pencidukan
komplotan perdagangan manusia, memang penting. Tapi kepercayaan publik
pada Polri sebenarnya tidak terlalu ditentukan oleh area-area kerja
semacam itu.

Adrianus Meliala katakan, perhatian masyarakat
terhadap Polri akan terhisap pada seberapa jauh Polri mampu
menanggulangi kasus-kasus besar semacam di atas. Namun, kepercayaan
publik adalah persoalan berbeda. Kepercayaan masyarakat akan tumbuh
terpelihara berdasarkan kinerja aparat Polri dalam tugas keseharian
yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Apalagi,
perlu digaris-bawahi, karena penegakan hukum faktanya hanya sebagian
kecil dari total kerja polisi, maka yang lebih penting adalah Kapolri
mendatang dikenal dan dikenang sebagai perwira Tribrata yang berwibawa,
hangat, dan dapat dibanggakan masyarakat.

Kita sadar, mencari
kandidat Kapolri yang seperti itu bukan urusan mudah. Ibarat mencari
manusia setengah dewa. Tapi juga bukan sesuatu yang mustahil.

Tahun
2007 silam, seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian menulis
di media massa. Si mahasiswa, Ajun Komisaris Adi Sumirat namanya,
merindukan tampilan polisi Indonesia yang lebih agamis. Adi yakin,
pembenahan kinerja Polri bahkan perbaikan relasi antara Polri dan
masyarakat akan bisa dilakukan apabila personel Polri berperilaku lebih
religius.

Tidak butuh waktu lama bagi Adi untuk melihat
kenyataan dari tulisannya itu. Di Jawa Timur, Irjen Anton Bachrul Alam
(ABA) selaku Kapolda Jatim saat itu, menjalankan tugasnya dengan
pendekatan yang begitu khas.

Tidak perlu terlalu banyak merujuk
ke teori-teori Barat tentang bagaimana polisi berinteraksi dengan
publik. Juga tanpa harus kongkow-kongkow di restoran-restoran, ABA
mencoba mempererat hubungan antara polisi dan masyarakat dengan cara
menyambangi masjid-masjid yang tersebar di Kota Pahlawan. Dengan
pendekatan seperti itu, masjid-masjid di pelosok kota pun menjadi
hidup. Di rumah Allah pula, masyarakat bisa menyaksikan langsung
kesetaraan yang memang sepantasnya hidup di antara polisi dan
masyarakat. Mereka bertakbir bersama, duduk bersila bersama, dan sujud
bersama dalam satu shaf yang rapat dan lurus sebagai tanda kesempurnaan
ibadah shalat.

Kegiatan harian berupa khatam atau menamatkan Al
Qur’an, semakin memperkuat kesan positif tentang gaya kepemimpinan
menenteramkan yang dihadirkan oleh ABA.

Tradisi baru yang
dibangun ABA mengharuskannya untuk bangun pukul tiga pagi setiap hari.
Bagi orang kebanyakan, ini jelas bukan perkara enteng. Apalagi ABA
saban harinya juga terbiasa tidur sekitar pukul dua belas malam.

Apa
yang bisa dilihat dari gaya perpolisian masyarakat ala ABA? Saya
pribadi tidak melihat dirinya sebagai polisi tempur. Irjen Anton
memurnikan kembali citra polisi yang sesungguhnya bukan melulu pasukan
petarung.

Kita sebenarnya sudah lama paham, hati sebagian besar
masyarakat bisa direbut lewat kegiatan keagamaan. Tapi sepertinya baru
sekarang kita pantas gembira, setelah melihat adanya kesadaran di
lingkungan Polri bahwa pendekatan keagamaanlah yang memang pantas
diandalkan bagi manunggalnya Polri dan publik.

Tidak perlu
alergi melihat jenderal polisi rajin ke masjid. Tidak perlu anti
dipimpin oleh jenderal polisi yang pandai berkhutbah dan membaca kitab
suci. Kita yakin, semakin dekat polisi dengan agama, semakin eloklah
budi pekertinya. Semakin santun tindak-tanduknya, mudah-mudahan semakin
bersih pula organisasi yang dipimpinnya.

Jika itu jadi kenyataan, semakin pantas pula si  jenderal menjadi sosok 
teladan. Allahu a’lam.

Penulis dosen  Psikologi Forensik, Universitas Bina Nusantara - Jakarta




 



  






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke