Negara Hukum Ataukah Kekuasaan

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Minggu ini diramaikan dengan tindakan sepihak oleh Front Pembela Islam
(FPI), atas kompleks milik sebuah organisasi Islam Ahmadiyah di Bogor. Mau
tidak mau, kita lalu menjadi tercengang karena "serangan" itu akibat dari
fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa gerakan
Ahmadiyah dalam segala bentuknya dilarang oleh Islam. Pendapat ini
jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Sedang badan yang
berwenang dalam hal ini, yaitu Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat) di lingkungan Kejaksaan Agung mengatakan gerakan Ahmadiyah
Qadiyan saja yang dilarang oleh ajaran Islam, sedangkan aliran lainnya tidak
demikian. Karena itu, patutlah kita saat ini mengajukan pertanyaan: manakah
yang akan dipakai keputusan berdasarkan Undang-Undang Dasar, ataukah
pendapat sebuah lembaga betapa terhormatnya sekalipun, seperti MUI.


Soal serupa pernah juga penulis alami, yaitu ketika gerakan Baha'i-isme
terkena tindakan oleh Komando Distrik Militer (Kodim) di Kabupaten Pati
beberapa tahun yang lalu. Pada saat itu penulis mengambil sikap tegas,
karena pihak Kodim melarang sekolah untuk menerima anak-anak orang Baha'i
untuk turut ujian SMP, karena ada larangan tertulis atas Baha'iisme
berdasarkan sebuah Keputusan Presiden (Kepres) No. 264/1962. Penulis
menentang keputusan itu, menurut penulis hal itu bertentangan dengan
undang-undang dasar dan dengan demikian batal demi hukum. Ketika menjadi
Presiden melalui Kepres No. 69/2000 (Kepres klik di sini, red) penulis
mencabut Kepres No. 264 itu. Walaupun Mahkamah Agung tidak mengeluarkan
keputusan dalam hal itu, tetapi aparat kekuasaan memahami kenyataan yang
ada. Akhirnya keputusan sebelumnya itu tidak dilaksanakan dan menjadi
"barang mati". Tapi mengapa hal ini tidak terjadi pada kasus di Bogor
tersebut?


Karena Mahkamah Agung tidak mengeluarkan keputusan dalam kasus di Bogor ini,
patutlah kita bertanya kepada diri sendiri: siapakah yang berkuasa di negeri
kita saat ini? Hukum kah atau kekuasaan? Dalam beberapa hal kekuasaan memang
memerintah secara luas, seperti dalam kasus Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dikhawatirkan apabila pemeriksaan atas lembaga itu oleh alat penegak hukum,
maka akan membuka kesalahan demi kesalahan yang dilakukan KPU selama ini
dari sudut Undang-Undang. Dan seluruh proses Pemilihan Umum dari pemilu
badan-badan legislative hingga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang dalam
pandangan penulis tidak memiliki keabsahan hukum dan kejujuran, membuat
hasilnya tidak memiliki legitimasi. Persoalannya adalah perlukah proses itu
diulang kembali, padahal kita tidak mampu untuk itu?


Sebagai bangsa, kita patut mempertanyakan kedua hal itu: siapakah yang
berkuasa? Dan perlukah pemilu diulang kembali? Pertanyaan ini penting untuk
masa depan kita karena terkait dengan pertanyaan akankah kita memiliki
negara demokratis ataukah tidak? Sudah tentu, ada "tuduhan" ke arah penulis,
bahwa ia membuat kekacau-balauan hidup kita sebagai bangsa. Namun penulis
beranggapan harus ada yang memimpin 'kemampuan' bangsa kita di saat ini dan
masa depan. Kalau bertanya saja kita sudah tidak mampu, bukankah ini berarti
sudah terjadi ketakutan antara fakta dengan lemahnya kontrol atas perbuatan
kita sendiri? Bukankah pemerintah sendiri wajib menengakkan demokrasi?


Karenanya, kedua pertanyaan diatas dikemukakan dalam tulisan ini, guna
memulai sebuah proses yang memiliki legitimasinya sendiri. Bukankah kita
tidak akan membiarkan bangsa ini kembali ke masa lampau yang otoriter,
dengan kekuasaan mengendalikan seluruh aspek kehidupan bangsa seperti pada
pemerintahan Orde Baru sebelum 1999? Kalau memang benar demikian, lalu apa
perlunya dilakukan reformasi politik yang dimulai tahun 1998, jika sikap
serba tanggung seperti yang diperlihatkan sekarang oleh pihak memerintah,
hanya akan berakibat lebih hancurnya pemerintahan kita. Naiknya harga bahan
bakar minyak (BBM) adalah hasil dari "perkawinan" sikap takut dan serba
tanggung tadi. Jadi kita harus menentukan, model lama atau baru yang
dipakai? Karenanya, menjelang ulang tahun ke-lima Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), saatnya sangat tepat untuk mempertanyakan kepada diri sendiri,
benarkah kita negara hukum ataukah negara kekuasaan? Memang, peradilan kita
masih dikuasai oleh sebuah mafia, tapi dapat kita lihat bahwa ada
perkembangan menuju ke arah perubahan fundamental pada kekuasaan hukum.
Pihak yang menginginkan kekuasaan hukum menjadi hilang, lamban laun akan
didesak oleh kenyataan oleh sistem peradilan kita yang ternyata masih
menggunakan patokan hukum. Kalau ini didorong terus, maka kita akan percaya
bahwa demokrasi akan tumbuh dengan baik di negeri kita. Karenanya, dua
persoalan di atas memerlukan jawaban tuntas dari kita semua: benarkah hukum
berkuasa dinegeri ini ataukah pemegang kekuasaan?


Jika Amerika Serikat dalam ujung abad ke 18 masehi dipenuhi oleh perdebatan
antara hak-hak individu yang diwakili Thomas Jefferson, melawan hak-hak
kolektif masyarakat yang diwakili oleh negara-negara bagian dengan pendekar
Alexander Hamilton, maka negeri kita baru di abad ke-21 ini mengalami
perdebatan antara hak-hak masyarakat berhadapan dengan hak-hak individu,
yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Dalam tatanan ini, gerakan apapun di
masyarakat, seperti gerakan semacam Front Pembela Islam (FPI), betapa
benarnya sekalipun ia dari sudut ajaran agama, tidak berhak melakukan
tindakan melawan hukum seperti yang dilakukannya di Bogor terhadap para
pengikut Gerakan Ahmadiyah. Tindakan yang mereka lakukan bertentangan dengan
hukum dan UUD, karena apa yang dilakukan orang-orang Ahmadiyah itu tidak
bertentangan dengan peraturan dan Undang-Undang. Ini perlu dikemukakan
disini, karena ada anggapan bahwa langkah-langkah FPI itu didasarkan kepada
keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sebenarnya harus tunduk kepada
ketentuan-ketentuan UUD dari sudut teoritik. Ketundukan kepada UUD itu
mencerminkan kenyataan kita adalah sebuah negara hukum, sedang perbuatan FPI
itu mencerminkan sikap dan anggapan bahwa negara kita adalah negara
kekuasaan (mach state) dan bertentangan dengan bunyi UUD kita sendiri. Ini
tidak berarti negara harus melakukan tindakan kekerasan kepada FPI,
melainkan melakukan pendidikan kembali untuk menanamkan prinsip kedaulatan
hukum (law sovereignty) itu. Kekerasan hanya digunakan jika benar-benar
diperlukan oleh negara untuk menengakkan kedaulatannya.


Karenanya, perkembangan keadaan harus diikuti dengan penuh kecermatan.
Hal-hal yang benar-benar perlu diubah harus mengalami perubahan, kalau perlu
diganti. Orang-orang Kristen Mormon di AS abad lampau harus menerima bahwa
Undang-Undang di negeri itu yang melarang orang kawin lebih dari seorang
istri, walaupun ajaran semula dari kaum itu memperkenankan empat orang
istri. Perubahan seperti itu, menunjukkan dengan nyata bahwa hal tersebut
merupakan bagian dari upaya melestarikan dan membuang yang terjadi dalam
sejarah manusia, bukan?


RSCM, 20 Juli 2005


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke