Dari: <farid.....@yahoo. com>

Judul: Ada Rekayasa Politik dalam "Teror" Komando Jihad

Tanggal: Senin, 9 Agustus, 2010, 3:45 PM







Catatan: Di bawah nanti ada berita pengukuhan gelar doktor pekan ini untuk 
Busjro Muqoddas, Ketua Komisi Yudisial. 



"Komando Jihad" adalah versi pemerintah untuk kelompok "teroris Islam"
pada 1970-an ketika Orde Baru dalam puncak kejayaannya. Tuduhan
pemerintah itu melibatkan Abdullah Sungkar (almarhum) dan Abu Bakar
Baasyir dari Pesantren Ngruki. Sungkar dan Baasyir mengasingkan diri ke
Malaysia. Sungkar meninggal di Malaysia. Baasyir pulang setelah
Reformasi. Dan sampai kini namanya terus dikaitkan dengan teror "Jemaah
Islamiyah".



Zaman telah berubah. Era demokrasi sekarang, kata orang, lebih sulit
untuk membuat rekayasa politik. Tapi, benarkah? Jika wartawan tidak
kritis, sementara polisi, jaksa dan hakim bisa dibeli, rekayasa
sebenarnya mudah dibuat. Dulu wartawan tidak kritis karena takut.
Sekarang karena kemalasan dan rezim bisnis media yang mengedepankan
sensasi ketimbang substansi? [fgaban]



Busjro: Ada Rekayasa Politik Dalam Komando Jihad



Yogyakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Yudisial Busjro Muqoddas mengatakan,
ada unsur rekayasa politik dalam kasus Komando Jihad di era Orde Baru
yang ditandai operasi intelijen melalui Operasi Khusus.



"Selain itu, juga tampak jelas penyalahgunaan aparat militer yang
bernaung di bawah Komando Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) di
tingkat pusat dan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) di tingkat
daerah," katanya di Yogyakarta, Senin.



Menurut dia dalam ujian promosi untuk memperoleh derajat doktor ilmu
hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, seluruh proses
peradilan menunjukkan bahwa institusi peradilan berjalan di bawah
kontrol politik dan kekuasaan pemerintah.



"Akibatnya, proses peradilan berjalan tidak independen dan tidak
transparan," kata Busjro yang mempertahankan disertasinya berjudul
Kasus Komando Jihad Ditinjau dari Perspektif Independensi dan
Transparansi Kekuasaan Kehakiman di hadapan tim penguji.



Ia mengatakan, penelitian juga menegaskan bahwa rezim Orde Baru telah
menyalahgunakan kekuasaan dengan menempatkan aparat militer dan
intelijen merekayasa suatu lakon politik yang menimbulkan korban pada
kalangan Muslim.



Muara dari proses peradilan kasus Komando Jihad itu adalah praktik
kekuasaan kehakiman yang tidak independen dan tidak transparan di bawah
tekanan sebuah rezim politik otoriter dan antidemokrasi.



"Indikasi itu tampak dalam proses peradilan dan putusan peradilan yang
menyalahi peraturan dan ketentuan hukum sebagaimana yang harus
dijunjung tinggi oleh negara hukum," katanya.



Menurut dia, institusi peradilan menjadi alat penguasa sehingga
mengakibatkan sejumlah warga negara mengalami tindakan pelanggaran
hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat pemerintah.



"Seiring dominasi penguasa, terjadi pelanggaran institusi peradilan
yang menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak mampu berjalan secara
independen dan transparan," kata penerima penghargaan Bung Hatta Anti
Corruption Award (BHACA) pada 2008 itu.



Dalam uji disertasi dengan promotor Prof Mahfud MD itu promovendus
dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, sehingga berhak
menyandang gelar doktor.***




From: sunny <am...@tele2.se>
Subject: [ppiindia] Terorisme Lagi dan Kebiasaan 'Mengalihkan' Isu
To: undisclosed-recipi...@yahoo.com
Date: Monday, August 9, 2010, 3:47 PM







 



  


    
      
      
      
http://berdikarionline.com/editorial/20100809/terorisme-lagi-dan-kebiasaan-%E2%80%98mengalihkan%E2%80%99-isu.html



Terorisme Lagi dan Kebiasaan 'Mengalihkan' Isu

Senin, 9 Agustus 2010 | 2:04 WIB 



Editorial 

     

     



Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali mengadukan pada rakyat 
persoalan ancaman "pihak teroris" terhadap dirinya. Berita ini menjadi headline 
di sejumlah media massa nasional, dan kemudian diikuti ramai berita penangkapan 
dua orang tersangka teroris di Bandung, Jawa Barat (Minggu, 08/08). Seperti 
yang sudah-sudah, masalah terorisme, terutama ketika diungkapkan oleh seorang 
presiden, langsung mendapat pemberitaan masif dari media massa. Padahal 
pernyataan itu hanya sebuah pernyataan pendek yang tak bermakna apa-apa, baik 
bagi penyelesaian masalah terorisme itu sendiri maupun bagi peningkatan 
kesejahteraan rakyat.



Pilihan pemerintahan SBY-Boediono untuk berada di blok propaganda anti-teorisme 
yang dilancarkan Amerika Serikat (AS), mengandung konsekuensi politik regional 
atau internasional, dan nasional sekaligus. Di tingkat nasional, masalah 
terorisme telah berhasil menciptakan keresahan dan perpecahan. Lebih jauh, isu 
ini diduga telah dijadikan "isu sampingan" yang sesekali bisa dimunculkan, 
khususnya, ketika pemerintah mulai terdesak oleh tuntutan-tuntutan rakyat yang 
tak kunjung bisa dijawab. Persoalan rakyat yang nyata telah dipaksa menyingkir 
dari pembahasan, entah untuk sementara atau selamanya. Siklus pemberitaan 
menampilkan masalah rakyat yang datang dalam kesimpangsiuran, menumpuk kusut, 
dan pergi tanpa kesimpulan atau penyelesaian yang jelas. Sampai di sini, 
pragmatisme politik media massa berlangsung mutual dengan politik berkelit 
penguasa. Penguasa ingin menghindar dari masalah rakyat, sementara media massa, 
terutama korporasinya, menghasilkan sensasi
 berita untuk meraup keuntungan konsumen.



Dalam sebuah negeri yang besar dan beragam seperti Indonesia kompleksitas 
persoalan merupakan konsekuensi yang nyaris tak terhindarkan. Namun seorang 
presiden, sebagai pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan, sepatutnya 
mengenal setiap persoalan dan mengetahui hal prioritas yang paling dituntut 
oleh rakyat. Bisikan dari intelejen tak semestinya ditelan mentah-mentah di 
hadapan rakyat, apalagi kebenaran bisikan tersebut tak bisa 
dipertanggungjawabkan. Demikian halnya media massa yang cukup kritis mengangkat 
persoalan rakyat, namun pada saat yang sama telah berperan sebagai mitra 
propaganda penguasa. Tidakkah pengalaman jurnalistik di lapangan selama ini, 
dan hasil penelitian para pakar, telah menunjukkan bahwa terorisme merupakan 
masalah buatan, sebagai bagian dari proyek propaganda anti-tetoris dari 
imperialisme Amerika Serikat.



Sebelum isu terorisme ini dihadirkan lagi di Ciwidey kemarin, berbagai 
persoalan yang tengah didesakkan belum memperoleh jawaban. Karena itu kami 
mendesak pemerintah agar segera kembali pada persoalan-persoalan tersebut, dan 
membawasertakan jawaban-jawaban yang tegas, sederhana, dan kongkrit. Pola 
kehadiran isu terorisme, yang muncul di kala pemerintah terdesak secara opini, 
menciptakan anggapan bahwa terorisme adalah isu yang mengada-ada. Bahkan muncul 
ungkapan satir, bahwa tanpa isu tersebut dibesar-besarkan oleh media massa, 
kehidupan rakyat miskin sendiri sudah dibuat menyerupai teror dalam pengertian 
yang luas. Sedangkan terhadap media massa, kami himbau untuk lebih cermat dalam 
mengemban tanggungjawab sosialnya. Hal-hal krusial seperti masalah kenaikan 
harga barang, kemiskinan, dan situasi kebangsaan yang terpuruk agaknya lebih 
penting, ketimbang keluh-kesah presiden yang tak diketahui kebenarannya.



[Non-text portions of this message have been removed]





    
     

    
    


 



  






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to