http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=22703

2010-08-09 
Etika, Moral dan Politik


Oleh : Eduard Depari

Sangat menarik membaca tulisan dalam sebuah stiker yang di tempelkan di kaca 
belakang sebuah mobil di Amerika Serikat. Politician and diaper need to be 
changed for the same obvious reason. Setiap orang yang melihat tulisan tersebut 
pasti tersenyum, membenarkan dan tergelitik untuk menggali lebih jauh makna 
dari pernyataan tersebut.  Dari sisi semiotic, yakni disiplin ilmu yang 
mempelajari lambang dan pemberian makna, apa yang disampaikan dalam pesan 
tersebut, merepresentasikan apa yang sesungguhnya menjadi pergumulan orang 
mengenai bagaimana membuat politik (kekuasaan) bermanfaat bagi masyarakat.


Jika stiker tersebut banyak terlihat di Amerika Serikat, di mana kekuasaan, 
baik distribusinya maupun penggunaannya dikendalikan melalui mekanisme kendali 
(control mechanism) yang ketat, tentu orang beranggapan bahwa pesan yang 
terkandung berfungsi untuk mengingatkan dan menyadarkan politisi. Bagaimana 
dengan relevansi pesan tersebut bagi politisi Indonesia? Mungkin terlalu 
ekstrim untuk mengatakan bahwa pesan stiker tersebut mutlak harus diberlakukan 
di Negara Pancasila ini.


Diaper harus diganti setiap kali selesai digunakan, karena kotor jika dipakai 
terus dan akan merugikan kesehatan. Jika analogi diaper diterapkan pada 
politisi kita, maka politik dianggap kotor, karena politisinya tidak bersih, 
dan jika tidak diganti, akan merusak kemaslahatan masyarakat.


Realitas empiris menyangkut perilaku politisi mengandung banyak kebenaran atas 
dugaan masyarakat terhadap kekotoran politisi dan politik yang dijalankan. Coba 
lihat eksekutif kita. Kebijakan publik yang dijalankan cenderung di dasarkan 
pada kepentingan partai untuk jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan 
umum. Berlarut-larutnya kasus Lumpur Lapindo, tidak jelasnya penyelesaian kasus 
Bank Century dan lambannya proses pengambilan keputusan untuk kebijakan yang 
bersifat strategis, merupakan ilustrasi yang terang benderang mengenai 
ketidakmampuan berpolitik dengan baik dan benar.

Membolos
Jika melihat kelakuan pihak legislatif, rasanya kasus membolos dalam sidang DPR 
serta terbengkalainya proses legislasi yang sebenarnya sangat mendesak untuk di 
prioritaskan, membuat orang bertanya-tanya apakah sebagian besar wakil rakyat 
ini terpanggil untuk menjalankan amanah?


Belum lagi melihat betapa memuakkannya mengamati beberapa selebriti yang 
terpilih untuk masuk panggung politik masih merasa perlu berdwifungsi menjadi 
artis penghibur. Apakah ini tidak mencerminkan konflik kepentingan? Bayangkan 
yang terhormat wakil rakyat di forum DPR, tiba-tiba menjadi pria atau wanita 
"penghibur" dalam tayangan televisi yang mereka lakoni. Dan ini hanya terjadi 
di Indonesia.


Bagaimana dengan pihak yudikatif? Tampaknya di sini kecideraan politik paling 
parah. Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian (kalau masuk dalam kelompok ini) 
masuk dalam instansi yang paling korup dan bobrok berdasarkan penilaian 
Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Kebanyakan para pejabatnya ketika 
kuliah di Perguruan Tinggi, salah memaknai hakekat dari mata kuliah Hukum 
dagang atau Hukum bisnis menurut terminologi masa kini. Setelah jadi pejabat, 
banyak yang membacanya dari belakang. Menjadi Dagang Hukum atau Bisnis Hukum. 
Karena sapu yang kotor tidak mungkin membuat halaman menjadi bersih, maka 
sempurnalah kekisruhan fungsi politisi dan arti politik di Negara tercinta ini.


Bagaimana pengusaha di negara ini? Justru situasi makin runyam karena penguasa 
dan pengusaha berkolusi dan bersinerji menjalankan kebijakan yang tidak ada 
kaitannya dengan kepentingan umum. Di mana penguasa berpihak soal Lumpur 
Lapindo? Mengapa penguasa menjalankan kebijakan hukum yang ambivalen dalam 
kasus Sisminbankum? Apa yang menyebabkan Kejaksaan Agung dan polisi tidak 
berbahasa sama soal bukti rekaman dalam kasus Anggoro? Ada apa dengan polisi 
yang lebih doyan mengumbar kasus Peter Pan ke publik, "low profile" menanggapi 
kasus bom molotov terhadap Tempo dan cenderung mengartikecilkan isyu rekening 
gendut Pati mereka?


Politisi dan politik di Indonesia mengalami krisis kepercayaan. Sialnya, hanya 
sedikit politisi yang menyadari hal tersebut. Politik tetap dijalankan atas 
prinsip business as usual. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Jawabannya 
sederhana. Politik tidak dilihat dalam konteks relasional dan dipandang sebagai 
kegiatan personal. Pengabaian politik dari etika tampak jelas ketika disatu 
sisi politisi mengecam konsep politik Machiavelli yang menyatakan tujuan 
menghalalkan cara, namun dalam prakteknya melegitimasinya melalui tindakan 
politik praktis. 


Mengapa etika dalam politik menjadi sangat penting? Seorang pakar etika 
Filipina, Felix Montemayor dalam bukunya berjudul, Ethics, The Philosophy of 
Life, (National Book Store, 1994), mengatakan tentang Etika dan Politik sebagai 
berikut : " Man owes allegiance to the state. Politics aims at good government 
for the temporal welfare of the citizens. Politics has often become very dirty 
and the reason is precisely because it is divorced from ethics. Disorder and 
confusion inevitably follow in a state from such violations of ethical 
principles, as: electoral frauds, bribery, graft, intrigue, etc."

Moral
Moral politik menjelaskan kualitas dari tindakan politik. Ketika politisi 
terbiasa mengabaikan kaidah etika dalam berpolitik, sangat sulit mengharapkan 
mereka memiliki moral judgement, apalagi bertindak berdasarkan moral. 


Banyak birokrat yang berhasil meraih jabatan publik karena dukungan parpol 
tertentu, setelah berkuasa tidak merasa risi, apalagi sungkan berpindah partai 
politik hanya karena ingin melanggengkan kekuasaan. Di sini moralitas politik 
pejabat bersangkutan patut dipertanyakan. Apabila pejabat tersebut sudah tidak 
loyal pada parpol pendukungnya, bagaimana mungkin dia akan loyal pada 
pemilihnya. Jika rakyat masih memilih politisi semacam ini karena money 
politics, maka selama itu pula rakyat menjadi bagian dari pembusukan politisi 
dan politik. Para pemilih harus menjadi pemecah masalah dengan mengabaikan 
politisi yang tidak tahu malu, jangan sampai pemilih merupakan bagian dari 
masalah.


Tidaklah mengherankan, kalau kita tidak mengganti diaper, maka kesehatan kita 
akan menghasilkan politisi yang kotor dan politik yang kotor. Kita semua akan 
bernafas dalam lumpur (termasuk lumpur Lapindo). Etika dan moral merupakan 
bagian integral dari kegiatan politisi dan politik. Dalam hal ini, politisi 
kita masih harus banyak belajar. Jangan sampai stiker yang sinis terhadap 
politisi, semakin menjadi lebih sinis dengan kehadiran pernyataan baru : " 
Politician and diaper are inseparable for the same obvious reason".

Penulis adalah praktisi Public Relations dan Senior Advisor Royston Advisory, 
perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan komunikasi strategis






[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke