http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/03/159440/68/11/Kejahatan-Negara


Kejahatan Negara 


Selasa, 03 Agustus 2010 00:01 WIB      
Tidak ada bentuk tanggung jawab adiluhung pemerintah saat menyimak bagaimana 
nasib rakyat berjumpalitan dengan ledakan maraton tabung gas elpiji disertai 
anomali cuaca hingga kenaikan liar harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak 
goreng, cabe rawit, dan lain-lain. 


Ketergantungan rakyat terhadap beras, misalnya, sesuatu yang tidak dihindari. 
Apalagi menurut Sayogya, ekonom dari IPB, ukuran kemiskinan mengacu pada 
kebutuhan pokok yang disetarakan dengan ukuran beras. Untuk daerah miskin, 
misalnya, ditetapkan rumah tangga miskin jika pengeluarannya kurang dari setara 
320 kg beras per kapita per tahun. Kebutuhan rakyat untuk makan seperti beras 
adalah hal terpokok yang mesti dipenuhi negara, tapi sampai kini Bulog 
kesulitan menyerap gabah sesuai dengan target. Itu bisa membahayakan ketahanan 
pangan rakyat pada musim paceklik sejak Juni, disusul bulan Puasa dan hari raya 
pada September sampai Oktober yang akan datang. Pengadaan pasar murah kebutuhan 
pokok pun hanya kebijakan reaktif tidak populis yang tidak akan banyak menolong 
rakyat. Maka tragedi kelaparan dan naiknya angka kemiskinan warga akan terus 
menghantui. Namun, apa yang dilakukan pemerintah atas semua itu? Lucunya masih 
ada pejabat (daerah) yang simplistis meredakan kekhawatiran warga dari bencana 
kelaparan dengan berbagai local wisdom yang justru sesat. Tidak zamannya lagi 
kearifan lokalnya masyarakat: mangan ora mangan sing penting ngumpul dijadikan 
obat pelara kelalaian pemerintah menjamin stabilitas kesediaan bahan makanan 
secara layak dan kontinu sebab itu hanya akan menambah inferioritas (a strong 
feeling of marginality) masyarakat berhadapan dengan struktur pemiskinan yang 
telah diciptakan negara selama ini. 

Ironisnya, pemerintah sejauh ini sibuk menata diri di depan cermin popularitas 
dalam 'kamar-kamar monolog' radio, televisi, media massa hingga tekun 
berkunjung ke luar negeri. Punahnya keberpihakan moral menjadi patologik bawaan 
pemerintah dari Jakarta sampai daerah. Tidak mengherankan misalnya ketika 
rakyat Riau menjerit karena kenaikan harga kebutuhan pokok, 30 orang 
birokratnya malah berpelesir ria ke Malaysia berkedok study tour dengan 
memboyong staf dan wartawan. 

Di Bandung lain lagi, Rp60 miliar uang rakyat digelontor untuk pembangunan 
gedung baru DPRD (Media Indonesia, 21/7). Ini hanya sekelumit soal menumpahnya 
kebijakan antipopulis dari pemerintah tanpa sebuah permenungan (in-discerment) 
yang mendalam terhadap kondisi rakyat. ***** 


Rakyat sepertinya harus nrimo in pangdum (pasrah pada nasib) ketika rumah, 
anggota keluarganya tercinta tewas meregang nyawa oleh ledakan tabung gas 
elpiji sial. Tidak cukup dengan itu, rakyat masih disalahkan lagi karena 
dianggap membiarkan kondisi gas dalam keadaan bocor terus-menerus atau karet 
tabung yang tidak diganti terus. Pemerintah juga berdalih kebijakan penggunaan 
kompor gas sebenarnya tidak dipaksakan ke rakyat, buktinya sampai saat ini 
minyak tanah masih beredar di pasar. Bukankah ini sami mawon, sistematisasi 
pemaksaan kebijakan kepada rakyat? Aneh negara yang katanya kampiun demokrasi 
dan berpemerintahan kreatif justru rakyatnya selalu tidak punya banyak 
alternatif menjamin keberlangsungan hidupnya di negara yang juga kian tidak 
bersahabat bagi orang miskin. Semua orang tahu minyak tanah memang masih 
dijual, tapi harganya kini sudah membubung, Rp8.000/liter. Rakyat tentu hanya 
menjadi korban abadi jika berbagai fenomena penjualan tabung gas 3 kg tanpa 
segel terus beredar, di samping motif kejahatan seperti pengurangan isi tabung 
gas ukuran 12 kg sebesar 1-1,5 kg untuk mendapatkan keuntungan dari selisih 
berat tabung yang dikurangi tanpa ada tindakan cegah tangkal pemerintah. 


Belum kelar kasus ledakan tersebut, rakyat dihantam lagi efek penaikan tarif 
listrik. Anehnya keputusan ini dilahirkan dengan peraturan menteri bukan 
keppres sehingga rakyat menilai Presiden sengaja mencuci tangan dari ekses 
penaikan yang sudah menyentuh titik nadir ekonomi rakyat. Listrik terus menjadi 
momok yang menakutkan bagi rakyat. Padahal kualitas pelayanan kelistrikan kita 
tidak pernah memuaskan, bahkan membuat rakyat tewas sia-sia. Pada 2009, ada 36 
kebakaran di Jakarta yang menyebabkan 20 jiwa melayang dan 6.457 warga 
kehilangan tempat tinggal. Tahun ini ada 20 kasus kebakaran akibat korsleting. 
Rakyat lagi yang disalahkan karena instalasi yang tidak benar, tidak memasang 
sekring, atau alat-alat listrik belum memenuhi SNI. Rakyat memang mengakui 
salah bahkan 'mungkin bodoh'. 


Jika saja pemerintah intensif menyosialisasikan berbagai hal penyebab utama 
kebakaran, termasuk kontrol yang ketat terhadap penggunaan alat-alat listrik 
sesuai dengan SNI, pasti korban tidak berjatuhan seperti sekarang. Sebab 
bagaimanapun, tugas pemerintah adalah melayani, memberikan kepastian, dan rasa 
aman terhadap penggunaan fasilitas dan hak terhadap pemenuhan barang-barang 
publik yang cepat dan berkualitas serta murah. 

Pemerintahlah yang bertanggung jawab terhadap sejumlah kegagalan tersebut, 
bukan balik menertawakan kebodohan rakyat. Sebab dalam negara demokrasi, 
kebodohan rakyat mutlak menginterpretasikan kebodohan pemerintah itu sendiri 
(Schumpetter, 1973). Itu terbukti dengan kegagapan kekuasaan mengelola 
kebijakan kompor gas. Kesalahan substrat pemerintah adalah gagal mengimbangi 
kecepatan teknologi--yang berpotensi membahayakan--dengan langkah-langkah 
antisipatif pengamanan dan penyelamatan bila terjadi bencana yang tidak 
diduga-duga (Perrow, 1984). 


Masyarakat dipaksa beradaptasi dengan kompor gas di saat kultur kayu api dan 
berminyak tanah warga masih kuat. pemerintah terhadap introduksi teknologi baru 
tanpa disertai sosialisasi, penyiapan instrumen kebijakan pendukung seperti 
kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan perangkat kompor gas 
sesuai dengan standar SNI di lapangan merupakan gaya kebijakan 
setengah-setengah dan tidak profesional. Ini menimbulkan preseden buruk 
selanjutnya bagi nasib kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak 
terkonseptualisasi secara matang, apalagi yang langsung bersentuhan dengan 
keselamatan nyawa rakyat. 

Bahkan dalam teori struktur kejahatan, ketidakmampuan pemerintah memberi rasa 
aman terkait dengan penggunaan fasilitas publik bisa digolongkan sebagai 
kejahatan oleh negara yang bisa dituntut baik secara moral maupun hukum (Green 
dan Ward, 2004). Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali 
kebijakan konversi gas kepada publik baik itu soal kesiapan dan pengamanan 
kebijakannya maupun 'supervisi' terhadap sejauh mana efektivitasnya terhadap 
rasa aman rakyat dalam menggunakan kompor gas tidak saja berdasarkan kalkulasi 
ekonomi, tapi juga jaminan yang pasti untuk mendapatkan perangkat kompor gas 
yang sesuai dengan standar pada semua lapisan masyarakat di lapangan. 

Pengawasan yang ketat di lapangan antara lain pengoplosan tabung gas perlu 
dilakukan karena itu juga merupakan bahagian komprehensif dari biaya utilitas 
kebijakan konversi yang akan mendukung keberhasilan program ini. Saya percaya 
mungkin kebijakan konversi ini sedang tidak bernasib baik, tetapi keresahan dan 
kerugian yang dialami masyarakat mestinya harus dideteksi secepat mungkin untuk 
mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi. 

Oleh Umbu TW Pariangu, Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM






[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke