Sebuah titik tolak analisis politik dan kesejarahan yang patriotis dan 
otokritis. Telaah demikian harus dikembangkan ketingkat dialektis kesejarahan 
dalam memahami hukum perkembangan masyarakat manusia. Sehingga mampu memecahkan 
problema internal Bangsa Indonesia dalam perjuangan Kemerdekaan dan pembangunan 
masyarakat adil dan makmur. Maju terus dalam konteks ilmiyah dalam menganalisis 
masyarakat manusia.

To: news-tran...@yahoogroups.com; kampus-t...@yahoogroups.com; 
exmenwa...@yahoogroups.com; kahmi_pro_netw...@yahoogroups.com; 
indonesia-ris...@yahoogroups.com; sastra-pembeba...@yahoogroups.com; 
ppiindia@yahoogroups.com; nasional-l...@yahoogroups.com; 
persindone...@yahoogroups.com
From: satrioarismunan...@yahoo.com
Date: Tue, 17 Aug 2010 05:01:43 -0700
Subject: [ppiindia] Paradoks Hubungan Indonesia-Belanda (Analisis 
Poskolonialisme)


















 



  


    
      
      
      From: dinasulaeman <dina_r...@yahoo.com>

Subject: Paradoks Hubungan Indonesia-Belanda (Analisis Poskolonialisme)

Date: Tuesday, August 17, 2010, 5:57 PM



 



©Dina Y. Sulaeman



Katarina Soemarwoto, penulis Indonesia yang bermukim di Leiden, menulis di 
Jakarta Post tentang sebuah seminar di Utrecht, Belanda. Dalam seminar yang 
berlangsung 15 November 2009 itu, kemerdekaan Indonesia dianalisis dari 
perspektif Belanda. Para pemikir Belanda yang hadir dalam acara itu menyajikan 
image bahwa keinginan rakyat Hindia Timur untuk merdeka muncul secara jelas 
setelah kehadiran Jepang dan `penjajahan' oleh Barat (dalam hal ini, tentara 
Sekutu yang menduduki Indonesia setelah Jepang kalah). Para pemikir Belanda itu 
bahkan menilai bahwa kolonialisasi bermanfaat bagi populasi Indonesia, 
contohnya adanya pembangunan jalan-jalan dan perdagangan VOC dengan Hindia 
Timur.



Ken'ichi dalam makalahnya juga menulis tentang pandangan orang Belanda bahwa 
mereka melakukan kebijakan kolonial pencerahan (enlightened colonial policy) di 
Hindia Timur. Van Deventer, sebagaimana dikutip Ken'ichi, adalah salah seorang 
proponent pandangan ini, mengatakan, "How beautiful is the goal which we have 
set ourselves to achieve! Thanks to the efforts of the Netherlands, a society 
is to be built in this far distant land in the East that will give him 
prosperity and a high culture and that he will acknowledge with gratitude. . ."



Hal inilah yang diungkapkan oleh Edward Said, "adanya `keyakinan' bahwa ada 
wilayah dan orang-orang tertentu yang membutuhkan  dan memohon untuk 
didominasi."   Saat menyoroti penjajahan Zionis di Palestina, Said mengatakan 
bahwa Zionisme secara efektif mengadopsi konsep rasial dari budaya Eropa. Kaum 
Yahudi mengalami perlakukan `anti Semit' di Eropa, lalu Zionisme 
menginternalisasi representasi perlakuan itu dan menerapkannya di Palestina, 
dengan menganggap bahwa bangsa Palestina terbelakang dan karenanya `memerlukan' 
dominasi.   Dengan kata lain, dalam pandangan Barat, suatu bangsa dijajah 
karena bangsa itu `butuh' untuk dijajah.



Fanon juga menyoroti ide bahwa `kaum terjajah memang membutuhkan penjajah', 
dengan mengutip tulisan Mannoni, "Tidak semua bangsa bisa dijajah, hanya mereka 
yang memiliki ketergantungan [yang bisa dijajah]. Dimana saja orang Eropa 
menemukan koloni dengan tipe seperti itu, dapat dikatakan bahwa kedatangan 
mereka secara tidak sadar diharapkan  dan bahkan diimpikan." Menurut Fanon, ide 
seperti itu seolah menunjukkan bahwa kaum kulit putih menderita `sindrom 
kekuasaan' (authority complex) sementara orang-orang terjajah menderita 
`sindrom ketergantungan.'



Agresi Belanda I dan II



Tesis dari Fanon dan Said ini tampak jelas pada perilaku Belanda periode 
1945-1950. Periode itu didahului dengan penyerahan mutlak Belanda kepada 
Jepang. Pada 9 Maret 1942, tentara Jepang menyerbu Indonesia (dan juga 
negara-negara Asia Tenggara lain). Hanya  dalam pertempuran tujuh hari, tentara 
kolonial Belanda tak mampu lagi menahan serangan Jepang, sehingga secara resmi 
menandatangani dokumen "menyerah tanpa syarat" kepada Jepang. Dengan demikian 
Belanda kehilangan haknya atas Hindia-Belanda. 



Jepang kemudian juga menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 
Agustus 1945. Dokumen penyerahan Jepang baru  ditandatangani pada 2 September 
1945,  sehingga antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat 
vacuum of power di seluruh wilayah pendudukan Jepang, termasuk di bekas jajahan 
Belanda. Di masa tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 
memproklamasikan kemerdekaannya dan pada 18 Agustus membentuk pemerintahan, 
dengan pengangkatan Sukarno sebagai Presiden dan M Hatta sebagai Wakil 
Presiden. Bila merujuk Konvensi Montevideo (26 Desember 1933), seluruh syarat 
pembentukan negara  telah terpenuhi, yaitu adanya wilayah, penduduk permanen, 
dan pemerintahan.



Belanda menolak mengakui kemerdekaan Indonesia dan berusaha menciptakan opini 
bahwa Indonesia adalah kaum terjajah yang  `memberontak' dari  penjajahnya. 
Belanda merasa masih berhak atas Indonesia dan bila meminjam analisis 
poskolonialisme: Belanda menganggap  Indonesia masih `butuh' untuk dijajah. 
Melalui bantuan tentara Sekutu, Belanda kembali mengirimkan pasukannya ke 
Indonesia.  Setelah terjadi peperangan antara tentara Indonesia versus 
Sekutu-Belanda, akhirnya Belanda dan Indonesia (dimediasi oleh Inggris) sepakat 
menandatangani Perjanjian Linggarjati 1947. Perjanjian itu pada dasarnya 
merupakan upaya Belanda untuk mendirikan negara-negara boneka di Indonesia.



Police Actions vs Agresi



Pada bulan Juli 1947, Belanda melancarkan agresi I. Namun agresi itu mereka 
istilahkan dengan "Police Action", sehingga mereka mengklaim bahwa yang terjadi 
bukanlah perang, melainkan upaya meredam konflik internal di sebuah negara 
jajahan.  Menurut laporan majalah TIME, pada saat itu Gubernur Jenderal 
Belanda, Van Mok mengatakan, "Karena adanya pelanggaran kontinyu terhadap 
perjanjian, pemerintah Netherland tidak bisa lagi terikat pad perjanjian apapun 
dan mengambil kebebasan bertindak."  Masih menurut TIME, Belanda melakukan 
`police actions'  itu sebagai `langkah yang perlu dilakukan untuk melawan 
teroris.'



Keat Gin Ooi (2004) menulis, Belanda menganggap bahwa Police Action I (agresi 
Belanda I) perlu dilakukan untuk mewujudkan kondisi yang diperlukan dalam 
mengimplementasikan perjanjian Linggarjati  1947, sedangkan Police Action II 
dilancarkan untuk memaksa Indonesia melaksanakan isi  Perjanjian Renville 1948.



Police Action I dilancarkan Juli 1947, di Jawa dan Sumatera, dengan tujuan 
(1)menghancurkan unit-unit  bersenjata rakyat Indonesia, (2)mengambil kembali 
komoditi ekspor yang tersimpan di perumahan Belanda di wilayah yang dikuasai 
RI. Tujuan yang tercapai hanya tujuan kedua. Police Action II dilancarkan 
Desember  1948 dengan tujuan menguasai Yogya, ibukota RI. Bila Yogya jatuh, 
seluruh pimpinan RI akan ditangkap dan dibuang. Namun Indonesia segera 
memproklamasikan pemerintahan darurat di Sumatera; dan pejuang Indonesia terus 
melakukan perang gerilya. Dengan demikian, kedua Police Action itu gagal untuk 
membubarkan RI.



Setelah menimbulkan korban jiwa lebih dari  150.000 warga Indonesia, akhirnya 
PBB dan Amerika Serikat menekan Belanda agar mau berunding dengan Indonesia.  
Dalam Konferensi Meja Bundar di Belanda tanggal 27 Desember 1949, Ratu Belanda 
`melimpahkan kedaulatan' kepada Indonesia.



Pada bulan Agustus 2005, untuk pertama kalinya Belanda menyatakan `menerima' 
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 2005, disampaikan oleh Menlu Belanda saat 
itu, Bernard Rudolf Bot. Dalam wawancara di Me¬troTV pada 19 Agustus 2005, atas 
pertanyaan reporter, mengapa dia menggunakan kata acceptance (penerimaan) dan 
bukan acknowledgement (pengakuan), Ben Bot menjawab:



"… First of all I want to stress that most important is that we accept the date 
of 17th August 1945 as the date which you pronounce your independence. But 
there is a difference of course, because then you enter into a legal aspect, 
and recognition is something you can only do once … …So the transfer of 
sovereignty took place in 1949…"



Dengan demikian, Pemerintah Belanda hanya "menerima" secara politis dan moral, 
dan tetap tidak mau mengakui de jure, kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 
Agustus 1945. Dan bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah 
"pemberian" Belanda yang dilimpahkan (transfer of sovereignity).



Sikap `penerimaan' atau `pengakuan' atas tanggal kemerdekaan Indonesia ini 
membawa implikasi yang luas. Seandainya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 
17 Agustus 1945, artinya Police Action I dan II yang dilakukan Belanda tahun 
1947-1948 adalah sebuah agresi terhadap negara yang merdeka dan berdaulat. 
Belanda harus memberikan ganti rugi atas segala kerusakan dan kerugian yang 
diderita Indonesia pada masa itu.



Ketidaksadaran Kaum Terjajah



Dalam wawancara dengan Metro TV, Bot juga ditanyai tentang kompensasi terhadap 
bangsa Indonesia. Bot menjawab bahwa selama ini Belanda sudah banyak memberikan 
bantuan kepada Indonesia dalam bentuk dana atau bentuk lainnya. Bot mengabaikan 
fakta bahwa `bantuan' yang diberikan kepada Indonesia sebagian besar dalam 
bentuk hutang yang harus dibayar berikut bunganya. Bot juga tidak menghitung 
betapa besarnya keuntungan yang sudah diraup Belanda selama 350 tahun 
penjajahannya di Indonesia. Sebuah penelitian menyebutkan, selama periode 
ta-nam paksa (cul¬tuur stelsel) 1830 –1877 saja, Belanda meraup uang  15,4 
miliar gulden (dengan kurs  1992). Bot juga melupakan bahwa Indonesia telah 
diperlakukan tidak adil saat `penyerahan kedaulatan' 1949. Indonesia saat itu 
dibebani kewajiban untuk menanggung hutang Kerajaan Belanda, yaitu  sebesar 4,5 
miliar gulden –termasuk di dalamnya biaya yang dikeluarkan Pemerintah Belanda 
untuk kedua agresi militer, tahun 1947

 dan 1948.



Namun, yang `lupa' bukan cuma Belanda.  Bangsa Indonesia pun dengan cepat 
melupakan kepahitan penjajahan itu. Pemerintah Sukarno memang akhirnya secara 
sepihak  menghentikan pembayaran hutang dan bahkan menasionalisasi 
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Namun Pemerintah Orde Baru pada 
1969 diam-diam mengabulkan tuntutan ganti-rugi perusahaan-perusahaan Belanda 
yang dinasionalisasi di era Sukarno sebesar 600 juta gulden. Bahkan, hanya 
karena memberikan pernyataan `menerima' proklamasi 17 Agustus 1945, mantan 
Menlu Benard Bot (serta dua warga Belanda lain) medali "Bintang Mahaputra 
Utama" pada bulan Oktober 2009 di Belanda, oleh Presiden SBY, diwakili Menlu 
Wirayuda.



Pemberian medali ini bila jadi dilakukan, akan menjadi sebuah ironi besar bagi 
bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin pejabat dari sebuah negara penjajah (yang 
hingga kini belum melunasi hutang-hutangnya kepada Indonesia) justru diberi 
bintang Mahaputra Utama yang seharusnya diberikan kepada pahlawan nasional?



Kondisi  ini, membuktikan tesis Fanon, "Penjajahan langsung bisa jadi telah 
lenyap, tetapi kolonialisme yang terselubung dalam bentuk opresi budaya, 
ekonomi, politik, dan pengetahuan masih terus hidup."  Fanon juga mengatakan 
bahwa kaum penjajah tidak puas hanya dengan mencengkeram sebuah bangsa di 
genggamannya dan mengosongkan otak bangsa itu. Dengan semacam logika yang 
menyesatkan, kaum penjajah membalikkan masa lalu bangsa terjajah, dan 
mendistorsi, menodai dan menghancurkannya.



Fanon dalam bukunya "Black Skin, White Mask" menganalisis bagaimana 
kolonialisme diinternalisasi bangsa terjajah (sehingga kemudian bangsa terjajah 
pun akhirnya punya mentalitas penjajah), bagaimana penjajah menanamkan 
inferioritas, dan melalui mekanisme rasisme, akhirnya orang terjajah justru 
ingin untuk menjadi mirip (menyamai) penjajah.   Akibatnya, dalam  pandangan 
Fanon, perjuangan meraih kemerdekaan dari penjajahan fisik sama besarnya dengan 
pejuangan pembebasan kaum terjajah dari  `pelukan' Eropa (penjajah) dan dari 
paradigma yang memandang peradaban Eropalah yang paling universal.



Inilah yang disebut oleh Romo Mangun `benar-benar kolonial'. Pada akhir tahun 
1984, Romo Mangun berkata, "Jangan kira bahwa mayoritas bangsa kita dulu 
sama-sama patriot seperti Bung Karno dan Bung Hatta.Pada masa itu, bangsa kita 
tidak kalah terhadap kaum penjajah perihal ini: benar-benar kolonial. Selera 
kita sudah bukan Jawa murni, Maluku murni, Batak murni, dan sebagainya, tetapi 
kita semua kaum Indo. Masyarakat Indo adalah masyarakat yang dalam penghayatan 
realita hidup dan kebudayaannya terbelah; lebih dari itu allienated.Setengah 
asing terhadap diri sendiri, apalagi terhadap situasi dan keadaan 
sekelilingnya.Demikianlah kita semua."



Mental bangsa terjajah inilah kemudian yang terus tampak oleh para pemimpin 
Indonesia. Indonesia mau menandatangani perjanjian `menanggung hutang' Kerajaan 
Belanda, mau membayar ganti rugi atas perusahaan Belanda yang dinasionalisasi 
(lupa bahwa perusahaan itu sudah mengeruk sangat banyak uang dari Indonesia), 
berbaik-baik dengan Belanda untuk mendapatkan hutang pembangunan (development 
aid), dan puncaknya, memberikan Bintang Mahaputra Utama kepada mantan penjajah.



*



Sumber: 
http://dinasulaeman.wordpress.com/2010/08/17/paradoks-hubungan-indonesia-belanda-analisis-poskolonialisme/



__._,_.__



[Non-text portions of this message have been removed]






    
     

    
    






                                          

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com 
4. Satu email perhari: ppiindia-dig...@yahoogroups.com
5. No-email/web only: ppiindia-nom...@yahoogroups.com
6. kembali menerima email: ppiindia-nor...@yahoogroups.com
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    ppiindia-dig...@yahoogroups.com 
    ppiindia-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke