Dari milist tetangga x aja ada hikmahnya

-dmar-
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

-----Original Message-----
From: Sulistiono Kertawacana <sulistiono.kertawac...@alumni.ui.ac.id>
Date: Sat, 24 Oct 2009 11:43:11 
To: undisclosed-recipients:;<Invalid address>
Subject: [IA-IP-UNPAD] Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India

Effendi Hasan wrote: 
 >   
 > Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung 
 > Teruuusss... ! From: Eri Bagindo Rajo &lt;siano...@yahoo.
com&gt; <mailto:siano...@yahoo.com> 
 > Date: Thu, 22 Oct 2009 04:19:18 -0700 (PDT) To: &lt;sma1...@yahoogroup s 
 > .com&gt; <mailto:sma1...@yahoogroups.com> ; <sma1_76ers@ yahoogro ups.com>; 
 > <DAKSINAPATI@ yahoogroups. com>; &lt;feu...@yahoogroups . com&gt; 
 > <mailto:feu...@yahoogroups.com> ; annisa hanum<anne_bgt_ deh@ yahoo.com>; 
 > <Keluarga-Angkatan1 7 sm...@yahoogroup s.com> Subject: [DAKSINAPATI] Trs: 
 > [...@ntau-net] Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India 
 >   
 > Sahabat semua, Saya teruskan cerita dari milist Rantau Net. Cerita yang 
 > perlu di jadikan bahan pemikiran untuk kita semua, terutama yang menyangkut 
 > biaya dan cara pendidikan di India. Semoga bermanfaat Erinos Muslim Tanjung 
 > ----- Pesan Diteruskan ---- Dari: Syafroni (Engineering) &lt;syafr...@mkpi. 
 > panasonic. co.id&gt; <mailto:syafr...@mkpi.panasonic.co.id>  Kepada: 
 > rantau...@googlegro ups.com Terkirim: Kam, 22 Oktober, 2009 17:01:18 Judul: 
 > [...@ntau-net] Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India 
 > From: Mohammad
 > fairuz 
 > Sent: Thursday, October 22, 2009
 > 4:53 PM 
 > Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi
 > India 
 > oleh Syaifoel Hardy Jumat, 09/10/2009 08:05 WIB 
 > Dalam sebuah ceramah akbar di Dubai-UAE beberapa tahun lalu, saya sempat
 > bertanya kepada Dr. Zakir Naik, ulama besar asal India, ahli perbandingan 
 > agama
 > yang tersohor namanya. Subyek pertanyaan saya adalah mengapa Islam boleh 
 > dikata
 > tidak berhasil di India padahal India pernah di bawah sebuah kerajaan besar
 > Islam, misalnya kekaisaran Mughal yang terkenal dengan Taj Mahal, atau 
 > Kerajaan
 > Mysore yang terkenal pula dengan Isnata Maysore yang terindah didunia, bahkan
 > melebihi Istana Birmingham. Dr. Zakir Naik menjawab, bahwa petinggi-petinggi
 > kerajaan Islam di India waktu itu lebih memfokuskan kepada bangunan-bangunan
 > fisik ketimbang dakwah Islam. Itulah salah satu faktor utama mengapa Islam
 > malah menjadi minoritas di sana 
 > . 
 > Ingin mengetahui lebih dekat jejak-jejak kebesaran Islam di India inilah yang
 > menjadi salah satu motivasi saya untuk ingin melihat dari dekat apa dan
 > bagaimana sebenarnya India 
 > . Disamping tentu saja banyak hal yang melatar-belakangi kunjungan saya,
 > misalnya silaturahim dengan rekan-rekan kerja saya yang sudah mengundurkan
 > diri, melihat institusi pendidikan serta mencari buku-buku
 > India sesuai dengan profesi saya. 
 > Banyak hikmah yang bisa dipetik dari rangkaian perjalanan saya selama dua
 > minggu di India , di empat
 > negara bagian: Karnataka, Kerala, Delhi 
 > dan Uthar Pradesh. Jika dijabarkan satu persatu, terlalu panjang untuk 
 > diungkap
 > di sini. Yang saya ingin soroti, dan semoga membawa hikmah bagi kita adalah,
 > bahwa meskipun India 
 > kelihatannya miskin (padahal pertumbuhan ekonominya di atas
 > Indonesia ), nyatanya tidak
 > semiskin yang kita sangka. Malah bumi kita yang dari kacamata saya, yang
 > mestinya amat kaya raya ini, dihuni oleh orang-orang serta kepemimpinan 
 > bangsa
 > yang serakah. 
 >   
 > ***** 
 > Saya mendarat di Bandara Internasional Bajpe-Karnataka, dua hari sebelum Hari
 > Raya Idul Fitri. Tidak ada kesan bahwa bulan itu adalah Bulan Suci Ramadan.
 > Maklum , India 
 > mayoritas penghuninya adalah umat Hindu. Saya sendiri berbuka puasa di atas
 > pesawat, dengan suguhan Upuma dan Wadha. Dua makanan tradisional
 > India 
 > yang amat murah harganya. Itu pun, sebenarnya jatah makan siang yang saya 
 > taruh
 > di depan kursi pesawat untuk bekal berbuka. Saya tahu, mereka tidak akan
 > menyiapkan untuk yang berpuasa. Lagi pula, budget airline seperti Air India
 > Express yang kami tumpangi tidak memberikan pelayanan istimewa kepada
 > penumpang. 
 > Bandara Internasional Mangalore ini amat sederhana. Orang-orangnya tertib 
 > antri
 > menunggu giliran pengecekan Flu Babi oleh petugas kesehatan. Tidak terlalu 
 > lama
 > prosesnya. Saya segera keluar menuju kota 
 > Karkala, sebuah kota 
 > kecil sekelas kecamatan di negeri kita, sekitar 75 km dari bandara. Seorang
 > rekan lama bersama keluarganya menjemput saya. Malam itu bandara diguyur
 > gerimis. 
 > Zahoor Ahmad, nama rekan saya, bersama keluarganya, begitu ramah menyambut
 > kedatangan saya diteruskan dengan hari-hari berikutnya menjamu saya sebagai
 > tamu. Mulai dari makanan, diantarkannya saya ke sejumlah tempat bersejarah
 > serta wisata, menikmati suasana Lebaran di daerahnya, serta tentu saja
 > mengunjungi sanak familinya di sejumlah kota 
 > . 
 >   
 > ***** 
 > Kekaguman di hari pertama saya terhadap orang-orang
 > India (setidaknya itu yang saya
 > temui di rumah Zahoor) adalah, binatang-binatang sekelas Burung Merak,
 > berterbangan di halaman rumah. Bahkan masuk ke ruang tamu serta dapur. 
 > Padahal
 > burung-burung indah ini tidak dipelihara alias liar. Orang
 > India sepertinya tidak terbiasa
 > memiliki burung-burung dalam sangkar. Atau pemerintah memang tidak 
 > mengijinkan,
 > wallahu a’lam! 
 > Di kota-kota lain yang saya kunjungi, seperti Kannur, Calicut, Mangalore,
 > Maysore, Agra, Bangalore hingga Ibu Kota Delhi, juga saya tidak melihat 
 > orang-orang
 > yang memelihara binatang-binatang langka di rumahnya. Barangkali hal ini yang
 > membuat binatang-binatang atau burung-burung ini akrab dengan manusia-manusia
 > India 
 > . Anak-anaknya Zahoor bahkan dengan akrabnya memberikan makanan pada Burung
 > Merak. Padahal rumah indahnya tidak terletak di tengah hutan belantara 
 > seperti
 > Papua. Burung-burung seperti Jalak, Merpati, Camar hingga Tupai yang beragam
 > warnanya, saya temui di banyak tempat berkeliaran yang membuat lingkungan 
 > kita
 > merasa asri. 
 > Saya sering mendengar atau membaca di Koran tentang keburukan politisi
 > India 
 > . Tapi rasanya tidak sebanding dengan di negeri kita utamanya dalam soal
 > pemeliharaan lingkungan hidup. Saya pernah melihat sungai kotor di
 > Delhi . Tapi pemandangan
 > yang sama tidak saya temukan di kota-kota lainnya. Di Kannur misalnya, sungai
 > masih hijau dan jernih. Padahal sungai besar, lebarnya tidak kurang dari 200
 > meter. Bau selokan di kota-kota India 
 > , tidak seperti yang saya temui di Jakarta atau
 > Surabaya . 
 > Hal ini pertanda bahwa orang-orang
 > India tidak serakah terhadap
 > kekayaan alam atau ingin memilikinya. Hutan Papua milik kita, gunung emas di
 > sana ‘dirampok’ dan
 > digadaikan ke orang asing. Orang kita secara sembunyi-sembunyi atau
 > terang-terangan juga memeliharan binatang atau burung-burung langka, sebagai
 > bagian dari kebanggaan mereka. Saya tidak melihat, jangankan pasar burung,
 > orang jualan sangkar saja sulit ditemui, meski mungkin saja ada di
 > sana . Pabrik-pabrik di
 > negeri kita banyak yang (Baca: dengan ‘seijin’ penguasa) seenaknya 
 > membuang limbah.
 >   
 > ***** 
 > Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah cara berpakaian orang
 > India 
 > . Kita memang tahu, orang India 
 > suka mengenakan Sari, pakaian tradisional kaum Hawa yang melingkar di tubuh.
 > Bagi kaum Hindu, memang tidak seluruh tubuh tertutup. Sebagian (maaf) perut,
 > terbuka. Namun tidak semua orang Hindu mengadopsi cara mengenakan Sari 
 > seperti
 > ini, terutama kaum mudanya. Apalagi Muslimah
 > India . Tertutup.
 > Laki-laki India 
 > juga bangga mengenakan Shalwar Gameez atau Kurta atau Dhoti dan lain-lain 
 > pakaian
 > tradisional. Zahoor member saya Kurta yang saya kenakan pada saat Lebaran. 
 > Perempuan India , betapapun
 > dari kalangan modern di tengah kota 
 > , bangga dengan pakaian tradisional mereka. Sutera di India jauh lebih murah
 > dibanding Indonesia 
 > . Kekayaan tekstil yang dimiliki
 > India menjadikan salah satu modal
 > mereka tidak tergoyah ingin meniru dengan pola berpakaian ala Barat. 
 > Sekalipun
 > kita tahu di film-film India 
 > banyak yang berpakaian seronok. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, tidak
 > demikian yang saya temui. Apalagi pakaian mini seperti yang kita temui di
 > negeri ini. Sepertinya tabu, jika anak-anak atau perempuan-perempuan mereka
 > mengenakan rok mini atau celana ketat. Padahal dalam segi pendidikan dan
 > pergaulan, keponakan-keponakan atau saudara Zahoor misalnya, banyak yang
 > berpendidikan tinggi setingkat dokter dan insinyur, mereka tidak tergiur 
 > dengan
 > pola pakaian Barat yang mati-matian kita adop di negeri kita. 
 >   
 > ***** 
 > Budaya konsumsi orang India 
 > juga tidak seperti yang kita lihat dalam film-film mereka. Di Karkala, di
 > tengah pasar, saya sulit mendapatkan kertas Tissue. Setelah mengunjungi 10
 > toko, baru saya mendapatkannya. Itupun sudah usang dan kartun pembungkusnya 
 > pun
 > robek. Orang sana 
 > tidak tergiur dengan budaya menggunakan tissue. Mereka lebih senang 
 > mengantongi
 > sapu tangan. Lagi pula di rumah-rumah, apakah itu di bagian depan, samping 
 > atau
 > belakang, umumnya tersedia pipa air untuk cuci tangan atau kaki. Di ruang 
 > makan
 > juga tersedia wastafel atau tempat cuci tangan. Jadi mengapa harus 
 > menyediakan
 > tissue? Barangkali begitulah pola pikir mereka. 
 > Pasar India 
 > tidak seterbuka pasar kita memang. Barang-barang yang ada di
 > sana mayoritas buatan dalam negeri. Sepanjang
 > perjalanan saya di empat negara bagian ini, jarang sekali saya menemui 
 > kendaran
 > Toyota . Sesekali
 > saya memang jumpai Innova. Selebihnya, entahlah, orang
 > India lebih bangga mengendarai
 > Maruti, Tata serta Bajaj, hasil rakitan mereka sendiri yang tidak semewah
 > Corolla atau BMW. 
 > India 
 > begitu bangga dengan hasil karya mereka sendiri serta tidak silau dengan 
 > buatan
 > orang lain, apakah itu Jerman, Amerika hingga Jepang. Mulai dari pakaian,
 > makanan, bahan bangunan, hingga gaya 
 > hidup. India tidak serakah
 > dengan gemerlap dari luar pagar negara di anak benua Asia 
 > bagian Selatan ini. 
 >   
 > ***** 
 > Saya menyempatkan melihat buku-buku pelajaran milik dua anak rekan saya,
 > bernama Zaman (kelas dua SMP) dan Zeeshan (kelas 2 SMA). Buku-buku mereka
 > nampak sederhana sekali. Kualitas kertas nya tidak sebagus sebagian besar
 > anak-anak sekolah kita. Saya menemui seorang Dekan di Universitas Manipal
 > dengan mudah. Pula 
 > diterima oleh sekretarisnya penuh keramahan. Padahal saya hanyan ingin
 > mmendapatkan sekedar informasi. Di perguruan tinggi kita, jangan harap 
 > diterima
 > seorang dekan untuk urusan yang satu ini. 
 > Saya mengunjungi sebuah perguruan tinggi terkenal, Manipal 
 > University di
 > kota Manipal. Gedungnya tidak mentereng.
 > Ruang-ruang kuliahnya tidak ber-AC, padahal jika musim panas tiba, suhunya 
 > bisa
 > mencapai lebih dari 40 derajat. Berarti panas sekali. Bangku-bangku kayu juga
 > sudah tua untuk ukuran kita, yang bisa diduduki oleh 4 mahasiswa. Dosen-dosen
 > mereka juga kelihatan sederhana. Hal ini bisa saya ketahui lewat pola pakaian
 > mereka serta tentu saja kendaraannya. 
 > Biaya sekolah hingga kuliah tergolong murah sekali. Mengantongi MBA dalam dua
 > tahun hanya menelan biaya sekitar Rp 10 juta, sebuah jumlah yang amat sedikit
 > di negeri kita untuk program pasca sarjana. Uang saku Zaman, ketika saya 
 > tanya,
 > dia bilang hanya diberi Ibunya Rupees 150 (tidak lebih dari Rp 40 ribu) per
 > bulan. Berarti hanya Rp 1000 per hari. Apa artinya Rp 1000 di negeri ini? Dia
 > juga berangkat ke sekolah dengan sandal saja. Tapi kemampuan Bahasa 
 > Inggrisnya
 > ‘ngewes’, selancar anak-anak kita berbicara Bahasa Jawa saja di
 > kampung-kampung. 
 > Buku-buku
 > India murah sekali. Saya belanja
 > tidak kurang dari 18 kg untuk buku-buku yang sulit mendapatkannya di Tanah 
 > Air.
 > Buku-buku profesi yang saya dapatkan dari sana 
 > hanya tersedia kalau mau ke Amerika Serikat atau Inggris saja. Buku terbitan
 > India 
 > terkesan tidak serakah mengambil keuntungan. Saya jadi heran, kebijakan apa
 > yang diambil oleh generasi-generasiny a Jawaharal Nehru ini, sehingga
 > pendidikan tinggi mudah terjangkau serta buku yang teramat murah, tapi 
 > kualitas
 > lulusannya bisa duduk di NASA-USA, terbang ke bulan dan jadi dosen-dosen di
 > banyak universitas ternama di Negeri Paman Sam. 
 >   
 > ***** 
 > Tempat rekreasi rata-rata murah sekali tiketnya. Padahal kelasnya tidak
 > tanggung-tanggung. Taj Mahal, biaya masuknya hanya Rupees 20 atau hanya 
 > sekitar
 > Rp 5 ribu. Coba kalau kita mau masuk Taman Mini atau Ancol? Bandingkan 
 > kelasnya
 > dengan Taj Mahal! 
 > Pemerintah India 
 > tidak rakus terhadap perolehan hasil pajak dari pariwisata sebagaimana di
 > negeri kita. Travel package pula itungannya murah sekali. Di Delhi, 
 > mengunjungi
 > 10 tempat wisata, hanya bayar tidak lebih dari Rp 100 ribu, naik bis Volvo
 > ber-AC. Travel agent tidak terkesan serakah mengambil keuntungan banyak dari
 > pelanggan. Padahal, kami diantar oleh guide-guide professional. 
 > Sebagian tempat wisata malah tidak ditarik iuran (karcis) masuk sama sekali.
 > Saya jadi heran, bagaimana dengan biaya pemeliharaan tempat-tempat ini? 
 > Padahal
 > mereka punya tukang-tukang pembersih atau tukang sapu yang kebanyakan
 > perempuan-perempuan bersari. Meski keamanan amat ketat di banyak tempat, tapi
 > petugas keamanan India 
 > tersekan ramah terhadap pengunjung. Saya tidak menemui pengalaman yang kurang
 > atau tidak mengenakkan sama sekali selama mengunjungi tempat-tempat wisata 
 > ini.
 >   
 > ***** 
 > India 
 > memang bukan negara kaya. Orang miskin banyak sekali. Banyak tempat juga 
 > kurang
 > terpelihara. Jalan-jalan juga banyak yang berlubang. Bangunan di Delhi juga
 > tidak semegah di Jakarta 
 > . Komunal konflik juga acapkali marak.
 > India barangkali bukan sebuah
 > percontohan. Maklum, jumlah penduduknya lebih dari 5 kali jumlah penduduk
 > Indonesia 
 > . Meski demikian, saya tidak melihat pengemis yang berkeliaran di sana-sini.
 > Saya tidak melihat satu pengemis pun datang ke rumah Zahoor, Abdul Karim
 > Mohammad Koya atau Abdul Azeem. Saya melihat ada pengemis di kota-kota. Tapi
 > juga tidak ‘gentayangan’ seperti di negeri kita yang acapkali mengganggu
 > pengguna jalan, masuk bis-bis, mengetuk jendela mobil hingga ngebel rumah 
 > kita
 > yang bisa jadi lebih dari 5 kali sehari. 
 > Tukang amen atau pemusik jalanan? Meski
 > India amat terkenal dengan musik,
 > lagu-lagu dan tarian-tariannya, saya tidak melihat tukang amen atau pemusik
 > atau penyanyi jalanan ini di mana-mana. Tidak pula saya temui satu kali pun
 > mareka masuk di dalam bis atau kereta api. Apalagi mereka yang naruh kotak 
 > amal
 > di tengah jalan, tidak pernah saya jumpai. 
 > Di negeri kita? Dalam perjalanan Malang-Surabaya, yang sepanjang 70 km, anda
 > bisa menemui sebanyak angka itu pula yang namanya pemusik dan pengemis. Saya
 > tidak membela pemusik atau pengemis atau penjaja makan di
 > India . Tapi itulah kenyataannya.
 > Mereka tidak serakah mencari pasar. Saya tidak pernah merasa terganggu dengan
 > kehadiran meraka di tempat-tempat wisata atau rumah-rumah rekan yang kami
 > kunjungi. 
 >   
 > ***** 
 > Pembaca…. 
 > Saya tidak mau disebut sebagai orang
 > Indonesia yang kufur akan nikmat
 > Allah. Tapi bencana di Sumatera Barat, banjir si sejumlah daerah, mahalnya
 > bahan-bahan pokok, sulitnya mencari minyak tanah dan gas, tidak terjangkaunya
 > biaya pendidikan dan layanan kesehatan (yang ini di India juga murah sekali),
 > semuanya jadi membuat saya iri dengan apa yang terjadi di India, sebuah 
 > negara
 > besar yang mampu melahirkan manusia-manusia besar seperti Mahatma Gandhi,
 > Nehru, Rabindranath Tagore hingga India Gandhi. 
 > Ada banyak PR
 > yang harus digarap oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Jumlah masjid yang
 > bertebaran di negeri ini (sulit mendapatkan hal yang sama di India),
 > berjimbunnya jumlah majelis taklim serta kajian Agama Islam di
 > televise-televisi, maraknya Da’i-da’i yang bersemangat sekali dalam 
 > berceramah
 > memikat umat, sepertinya jauh dari cukup tanpa ada langkah konkrit: bagaimana
 > mengelola sumber daya alam dan potensi manusia Indonesia yang konon sering
 > meraih prestasi di berbagai momen olimpiade ini, agar menjadikan negeri ini
 > lebih baik. 
 > India 
 > memang bukan segalanya. Tapi melihat Indonesia 
 > dari jendela India 
 > , saya jadi bertanya-tanya. Ada 
 > apa dengan negeri ini? 
 > Oh ya, pada hari terakhir kunjungan saya di
 > India , di Bandara Mangalore, saya
 > tidak perlu membayar pajak sepeserpun. Sementara di Cengkareng, saya yang 
 > asli
 > orang Indonesia, harus bayar Rp 150 ribu, itu belum termasuk biaya fiscal 
 > yang
 > konon ‘hanya’ Rp 1 juta, jika anda harus ke luar negeri. 
 > Ah, Indonesia 
 > ! 
 >   
 > Doha , 8
 > October 2009 
 > Maaf, artikel ini tdk menyebutkan
 > sumbernya. -- Kind regards, Sulistiono Kertawacana 
 > http://sulistionokertawacana.blogspot.com/ 
 > <http://sulistionokertawacana.blogspot.com/> 
 
 
 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

---------------------
Be Prepared
Sekali Pramuka tetap Pramuka
---------------------

Pramuka email addresses:
  Post message: Pramuka@yahoogroups.com
  Subscribe:    pramuka-subscr...@yahoogroups.com
  Unsubscribe:  pramuka-unsubscr...@yahoogroups.com

---------------------Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/pramuka/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/pramuka/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:pramuka-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:pramuka-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    pramuka-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke