Dari milist tetangga, kali aja ada hikmahnya buat kita di indonesia -dmar- Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
-----Original Message----- From: Sulistiono Kertawacana <sulistiono.kertawac...@alumni.ui.ac.id> Date: Sat, 24 Oct 2009 12:30:57 To: undisclosed-recipients:;<Invalid address> Subject: [IA-IP-UNPAD] Fwd: Re: [new-kiriskoeh] Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India Kind regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionokertawacana.blogspot.com/ <http://sulistionokertawacana.blogspot.com/> -------- Original Message -------- Subject: Re: [new-kiriskoeh] Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India Date: Fri, 23 Oct 2009 22:15:05 -0700 (PDT) From: medi rachman <medi_rach...@yahoo.com> <mailto:medi_rach...@yahoo.com> Reply-To: new-kirisk...@yahoogroups.com <mailto:new-kirisk...@yahoogroups.com> To: new-kirisk...@yahoogroups.com <mailto:new-kirisk...@yahoogroups.com> Mungkin cerita ini bisa dijadikan bahan untuk kita interopeksi diri...Tapi tidak semuanya benar (menurut saya)...Pengalaman saya belajar di India selama 2 bulan (di kota Coimbatore), kesan saya agak berbeda dengan penulis artikel ini....saya rasakan kondisi Indonesia lebih baik dari India... 1. Utk kebersihan, di Coimbatore juga jorok banget, apalagi di pusat kotanya, bau banget...(Ada teman India yg mengatakan bahwa negaranya adalah negara terjorok)... 2. Utk masalah mobil, memang baru awal 90 atau 80-an akhir, India baru memperbolehkan import mobil (ngobrol dgn teman India)...dan mereka sendiri sebetulnya suka dengan mobil produk jepang...Utk mobil eropa memang mahal juga disana... Intinya, apa yg baik dr India bisa kita ambil buat perbaikan kita ke depan... Ok bro? Cheers, Medi ---------------- From: Sulistiono Kertawacana <sulistiono.kertawac...@alumni.ui.ac.id> Sent: Sat, October 24, 2009 11:43:11 AM Subject: [new-kiriskoeh] Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India Effendi Hasan wrote: > à > Sent from my BlackBerryî smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung > Teruuusss... ! From: Eri Bagindo Rajo <siano...@yahoo. com> > <mailto:siano...@yahoo.com> > Date: Thu, 22 Oct 2009 04:19:18 -0700 (PDT) To: <sma1...@yahoogroup s .com> <mailto:sma1...@yahoogroups.com> ; <sma1_76ers@ yahoogro ups.com>; <DAKSINAPATI@ yahoogroups. com> <mailto:daksinap...@yahoogroups.com> ; <feu...@yahoogroups . com> <mailto:feu...@yahoogroups.com> ; annisa hanum<anne_bgt_ deh@ yahoo.com>; <Keluarga-Angkatan1 7 sm...@yahoogroup s.com> Subject: [DAKSINAPATI] Trs: [...@ntau-net] Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India > à > Sahabat semua, Saya teruskan cerita dari milist Rantau Net. Cerita yang > perlu di jadikan bahan pemikiran untuk kita semua, terutama yang menyangkut > biaya dan cara pendidikan di India. Semoga bermanfaat Erinos Muslim Tanjung > ----- Pesan Diteruskan ---- Dari: Syafroni (Engineering) <syafr...@mkpi. panasonic. co.id> <mailto:syafr...@mkpi.panasonic.co.id> Kepada: rantau...@googlegro ups.com Terkirim: Kam, 22 Oktober, 2009 17:01:18 Judul: [...@ntau-net] Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi India > From: Mohammad > fairuz > Sent: Thursday, October 22, 2009 > 4:53 PM > Menengok Keserakahan Indonesia dari Bumi > India > oleh Syaifoel Hardy Jumat, 09/10/2009 08:05 WIB > Dalam sebuah ceramah akbar di Dubai-UAE beberapa tahun lalu, saya sempat > bertanya kepada Dr. Zakir Naik, ulama besar asal India, ahli perbandingan > agama > yang tersohor namanya. Subyek pertanyaan saya adalah mengapa Islam boleh > dikata > tidak berhasil di India padahal India pernah di bawah sebuah kerajaan besar > Islam, misalnya kekaisaran Mughal yang terkenal dengan Taj Mahal, atau > Kerajaan > Mysore yang terkenal pula dengan Isnata Maysore yang terindah didunia, bahkan > melebihi Istana Birmingham. Dr. Zakir Naik menjawab, bahwa petinggi-petinggi > kerajaan Islam di India waktu itu lebih memfokuskan kepada bangunan-bangunan > fisik ketimbang dakwah Islam. Itulah salah satu faktor utama mengapa Islam > malah menjadi minoritas di sana > . > Ingin mengetahui lebih dekat jejak-jejak kebesaran Islam di India inilah yang > menjadi salah satu motivasi saya untuk ingin melihat dari dekat apa dan > bagaimana sebenarnya India > . Disamping tentu saja banyak hal yang melatar-belakangi kunjungan saya, > misalnya silaturahim dengan rekan-rekan kerja saya yang sudah mengundurkan > diri, melihat institusi pendidikan serta mencari buku-buku > India sesuai dengan profesi saya. > Banyak hikmah yang bisa dipetik dari rangkaian perjalanan saya selama dua > minggu di India , di empat > negara bagian: Karnataka, Kerala, Delhi > dan Uthar Pradesh. Jika dijabarkan satu persatu, terlalu panjang untuk > diungkap > di sini. Yang saya ingin soroti, dan semoga membawa hikmah bagi kita adalah, > bahwa meskipun India > kelihatannya miskin (padahal pertumbuhan ekonominya di atas > Indonesia ), nyatanya tidak > semiskin yang kita sangka. Malah bumi kita yang dari kacamata saya, yang > mestinya amat kaya raya ini, dihuni oleh orang-orang serta kepemimpinan > bangsa > yang serakah. > à > ***** > Saya mendarat di Bandara Internasional Bajpe-Karnataka, dua hari sebelum Hari > Raya Idul Fitri. Tidak ada kesan bahwa bulan itu adalah Bulan Suci Ramadan. > Maklum , India > mayoritas penghuninya adalah umat Hindu. Saya sendiri berbuka puasa di atas > pesawat, dengan suguhan Upuma dan Wadha. Dua makanan tradisional > India > yang amat murah harganya. Itu pun, sebenarnya jatah makan siang yang saya > taruh > di depan kursi pesawat untuk bekal berbuka. Saya tahu, mereka tidak akan > menyiapkan untuk yang berpuasa. Lagi pula, budget airline seperti Air India > Express yang kami tumpangi tidak memberikan pelayanan istimewa kepada > penumpang. > Bandara Internasional Mangalore ini amat sederhana. Orang-orangnya tertib > antri > menunggu giliran pengecekan Flu Babi oleh petugas kesehatan. Tidak terlalu > lama > prosesnya. Saya segera keluar menuju kota > Karkala, sebuah kota > kecil sekelas kecamatan di negeri kita, sekitar 75 km dari bandara. Seorang > rekan lama bersama keluarganya menjemput saya. Malam itu bandara diguyur > gerimis. > Zahoor Ahmad, nama rekan saya, bersama keluarganya, begitu ramah menyambut > kedatangan saya diteruskan dengan hari-hari berikutnya menjamu saya sebagai > tamu. Mulai dari makanan, diantarkannya saya ke sejumlah tempat bersejarah > serta wisata, menikmati suasana Lebaran di daerahnya, serta tentu saja > mengunjungi sanak familinya di sejumlah kota > . > à > ***** > Kekaguman di hari pertama saya terhadap orang-orang > India (setidaknya itu yang saya > temui di rumah Zahoor) adalah, binatang-binatang sekelas Burung Merak, > berterbangan di halaman rumah. Bahkan masuk ke ruang tamu serta dapur. > Padahal > burung-burung indah ini tidak dipelihara alias liar. Orang > India sepertinya tidak terbiasa > memiliki burung-burung dalam sangkar. Atau pemerintah memang tidak > mengijinkan, > wallahu aââ¬â¢lam! > Di kota-kota lain yang saya kunjungi, seperti Kannur, Calicut, Mangalore, > Maysore, Agra, Bangalore hingga Ibu Kota Delhi, juga saya tidak melihat > orang-orang > yang memelihara binatang-binatang langka di rumahnya. Barangkali hal ini yang > membuat binatang-binatang atau burung-burung ini akrab dengan manusia-manusia > India > . Anak-anaknya Zahoor bahkan dengan akrabnya memberikan makanan pada Burung > Merak. Padahal rumah indahnya tidak terletak di tengah hutan belantara > seperti > Papua. Burung-burung seperti Jalak, Merpati, Camar hingga Tupai yang beragam > warnanya, saya temui di banyak tempat berkeliaran yang membuat lingkungan > kita > merasa asri. > Saya sering mendengar atau membaca di Koran tentang keburukan politisi > India > . Tapi rasanya tidak sebanding dengan di negeri kita utamanya dalam soal > pemeliharaan lingkungan hidup. Saya pernah melihat sungai kotor di > Delhi . Tapi pemandangan > yang sama tidak saya temukan di kota-kota lainnya. Di Kannur misalnya, sungai > masih hijau dan jernih. Padahal sungai besar, lebarnya tidak kurang dari 200 > meter. Bau selokan di kota-kota India > , tidak seperti yang saya temui di Jakarta atau > Surabaya . > Hal ini pertanda bahwa orang-orang > India tidak serakah terhadap > kekayaan alam atau ingin memilikinya. Hutan Papua milik kita, gunung emas di > sana ââ¬Ëdirampokââ¬â¢ dan > digadaikan ke orang asing. Orang kita secara sembunyi-sembunyi atau > terang-terangan juga memeliharan binatang atau burung-burung langka, sebagai > bagian dari kebanggaan mereka. Saya tidak melihat, jangankan pasar burung, > orang jualan sangkar saja sulit ditemui, meski mungkin saja ada di > sana . Pabrik-pabrik di > negeri kita banyak yang (Baca: dengan ââ¬Ëseijinââ¬â¢ penguasa) seenaknya > membuang limbah. > à > ***** > Hal kedua yang menarik perhatian saya adalah cara berpakaian orang > India > . Kita memang tahu, orang India > suka mengenakan Sari, pakaian tradisional kaum Hawa yang melingkar di tubuh. > Bagi kaum Hindu, memang tidak seluruh tubuh tertutup. Sebagian (maaf) perut, > terbuka. Namun tidak semua orang Hindu mengadopsi cara mengenakan Sari > seperti > ini, terutama kaum mudanya. Apalagi Muslimah > India . Tertutup. > Laki-laki India > juga bangga mengenakan Shalwar Gameez atau Kurta atau Dhoti dan lain-lain > pakaian > tradisional. Zahoor member saya Kurta yang saya kenakan pada saat Lebaran. > Perempuan India , betapapun > dari kalangan modern di tengah kota > , bangga dengan pakaian tradisional mereka. Sutera di India jauh lebih murah > dibanding Indonesia > . Kekayaan tekstil yang dimiliki > India menjadikan salah satu modal > mereka tidak tergoyah ingin meniru dengan pola berpakaian ala Barat. > Sekalipun > kita tahu di film-film India > banyak yang berpakaian seronok. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, tidak > demikian yang saya temui. Apalagi pakaian mini seperti yang kita temui di > negeri ini. Sepertinya tabu, jika anak-anak atau perempuan-perempuan mereka > mengenakan rok mini atau celana ketat. Padahal dalam segi pendidikan dan > pergaulan, keponakan-keponakan atau saudara Zahoor misalnya, banyak yang > berpendidikan tinggi setingkat dokter dan insinyur, mereka tidak tergiur > dengan > pola pakaian Barat yang mati-matian kita adop di negeri kita. > à > ***** > Budaya konsumsi orang India > juga tidak seperti yang kita lihat dalam film-film mereka. Di Karkala, di > tengah pasar, saya sulit mendapatkan kertas Tissue. Setelah mengunjungi 10 > toko, baru saya mendapatkannya. Itupun sudah usang dan kartun pembungkusnya > pun > robek. Orang sana > tidak tergiur dengan budaya menggunakan tissue. Mereka lebih senang > mengantongi > sapu tangan. Lagi pula di rumah-rumah, apakah itu di bagian depan, samping > atau > belakang, umumnya tersedia pipa air untuk cuci tangan atau kaki. Di ruang > makan > juga tersedia wastafel atau tempat cuci tangan. Jadi mengapa harus > menyediakan > tissue? Barangkali begitulah pola pikir mereka. > Pasar India > tidak seterbuka pasar kita memang. Barang-barang yang ada di > sana mayoritas buatan dalam negeri. Sepanjang > perjalanan saya di empat negara bagian ini, jarang sekali saya menemui > kendaran > Toyota . Sesekali > saya memang jumpai Innova. Selebihnya, entahlah, orang > India lebih bangga mengendarai > Maruti, Tata serta Bajaj, hasil rakitan mereka sendiri yang tidak semewah > Corolla atau BMW. > India > begitu bangga dengan hasil karya mereka sendiri serta tidak silau dengan > buatan > orang lain, apakah itu Jerman, Amerika hingga Jepang. Mulai dari pakaian, > makanan, bahan bangunan, hingga gaya > hidup. India tidak serakah > dengan gemerlap dari luar pagar negara di anak benua Asia > bagian Selatan ini. > à > ***** > Saya menyempatkan melihat buku-buku pelajaran milik dua anak rekan saya, > bernama Zaman (kelas dua SMP) dan Zeeshan (kelas 2 SMA). Buku-buku mereka > nampak sederhana sekali. Kualitas kertas nya tidak sebagus sebagian besar > anak-anak sekolah kita. Saya menemui seorang Dekan di Universitas Manipal > dengan mudah. Pula > diterima oleh sekretarisnya penuh keramahan. Padahal saya hanyan ingin > mmendapatkan sekedar informasi. Di perguruan tinggi kita, jangan harap > diterima > seorang dekan untuk urusan yang satu ini. > Saya mengunjungi sebuah perguruan tinggi terkenal, Manipal > University di > kota Manipal. Gedungnya tidak mentereng. > Ruang-ruang kuliahnya tidak ber-AC, padahal jika musim panas tiba, suhunya > bisa > mencapai lebih dari 40 derajat. Berarti panas sekali. Bangku-bangku kayu juga > sudah tua untuk ukuran kita, yang bisa diduduki oleh 4 mahasiswa. Dosen-dosen > mereka juga kelihatan sederhana. Hal ini bisa saya ketahui lewat pola pakaian > mereka serta tentu saja kendaraannya. > Biaya sekolah hingga kuliah tergolong murah sekali. Mengantongi MBA dalam dua > tahun hanya menelan biaya sekitar Rp 10 juta, sebuah jumlah yang amat sedikit > di negeri kita untuk program pasca sarjana. Uang saku Zaman, ketika saya > tanya, > dia bilang hanya diberi Ibunya Rupees 150 (tidak lebih dari Rp 40 ribu) per > bulan. Berarti hanya Rp 1000 per hari. Apa artinya Rp 1000 di negeri ini? Dia > juga berangkat ke sekolah dengan sandal saja. Tapi kemampuan Bahasa > Inggrisnya > ââ¬Ëngewesââ¬â¢, selancar anak-anak kita berbicara Bahasa Jawa saja di > kampung-kampung. > Buku-buku > India murah sekali. Saya belanja > tidak kurang dari 18 kg untuk buku-buku yang sulit mendapatkannya di Tanah > Air. > Buku-buku profesi yang saya dapatkan dari sana > hanya tersedia kalau mau ke Amerika Serikat atau Inggris saja. Buku terbitan > India > terkesan tidak serakah mengambil keuntungan. Saya jadi heran, kebijakan apa > yang diambil oleh generasi-generasiny a Jawaharal Nehru ini, sehingga > pendidikan tinggi mudah terjangkau serta buku yang teramat murah, tapi > kualitas > lulusannya bisa duduk di NASA-USA, terbang ke bulan dan jadi dosen-dosen di > banyak universitas ternama di Negeri Paman Sam. > à > ***** > Tempat rekreasi rata-rata murah sekali tiketnya. Padahal kelasnya tidak > tanggung-tanggung. Taj Mahal, biaya masuknya hanya Rupees 20 atau hanya > sekitar > Rp 5 ribu. Coba kalau kita mau masuk Taman Mini atau Ancol? Bandingkan > kelasnya > dengan Taj Mahal! > Pemerintah India > tidak rakus terhadap perolehan hasil pajak dari pariwisata sebagaimana di > negeri kita. Travel package pula itungannya murah sekali. Di Delhi, > mengunjungi > 10 tempat wisata, hanya bayar tidak lebih dari Rp 100 ribu, naik bis Volvo > ber-AC. Travel agent tidak terkesan serakah mengambil keuntungan banyak dari > pelanggan. Padahal, kami diantar oleh guide-guide professional. > Sebagian tempat wisata malah tidak ditarik iuran (karcis) masuk sama sekali. > Saya jadi heran, bagaimana dengan biaya pemeliharaan tempat-tempat ini? > Padahal > mereka punya tukang-tukang pembersih atau tukang sapu yang kebanyakan > perempuan-perempuan bersari. Meski keamanan amat ketat di banyak tempat, tapi > petugas keamanan India > tersekan ramah terhadap pengunjung. Saya tidak menemui pengalaman yang kurang > atau tidak mengenakkan sama sekali selama mengunjungi tempat-tempat wisata > ini. > à > ***** > India > memang bukan negara kaya. Orang miskin banyak sekali. Banyak tempat juga > kurang > terpelihara. Jalan-jalan juga banyak yang berlubang. Bangunan di Delhi juga > tidak semegah di Jakarta > . Komunal konflik juga acapkali marak. > India barangkali bukan sebuah > percontohan. Maklum, jumlah penduduknya lebih dari 5 kali jumlah penduduk > Indonesia > . Meski demikian, saya tidak melihat pengemis yang berkeliaran di sana-sini. > Saya tidak melihat satu pengemis pun datang ke rumah Zahoor, Abdul Karim > Mohammad Koya atau Abdul Azeem. Saya melihat ada pengemis di kota-kota. Tapi > juga tidak ââ¬Ëgentayanganââ¬â¢ seperti di negeri kita yang acapkali > mengganggu > pengguna jalan, masuk bis-bis, mengetuk jendela mobil hingga ngebel rumah > kita > yang bisa jadi lebih dari 5 kali sehari. > Tukang amen atau pemusik jalanan? Meski > India amat terkenal dengan musik, > lagu-lagu dan tarian-tariannya, saya tidak melihat tukang amen atau pemusik > atau penyanyi jalanan ini di mana-mana. Tidak pula saya temui satu kali pun > mareka masuk di dalam bis atau kereta api. Apalagi mereka yang naruh kotak > amal > di tengah jalan, tidak pernah saya jumpai. > Di negeri kita? Dalam perjalanan Malang-Surabaya, yang sepanjang 70 km, anda > bisa menemui sebanyak angka itu pula yang namanya pemusik dan pengemis. Saya > tidak membela pemusik atau pengemis atau penjaja makan di > India . Tapi itulah kenyataannya. > Mereka tidak serakah mencari pasar. Saya tidak pernah merasa terganggu dengan > kehadiran meraka di tempat-tempat wisata atau rumah-rumah rekan yang kami > kunjungi. > à > ***** > Pembacaââ¬Â¦. > Saya tidak mau disebut sebagai orang > Indonesia yang kufur akan nikmat > Allah. Tapi bencana di Sumatera Barat, banjir si sejumlah daerah, mahalnya > bahan-bahan pokok, sulitnya mencari minyak tanah dan gas, tidak terjangkaunya > biaya pendidikan dan layanan kesehatan (yang ini di India juga murah sekali), > semuanya jadi membuat saya iri dengan apa yang terjadi di India, sebuah > negara > besar yang mampu melahirkan manusia-manusia besar seperti Mahatma Gandhi, > Nehru, Rabindranath Tagore hingga India Gandhi. > Ada banyak PR > yang harus digarap oleh pemimpin-pemimpin di negeri ini. Jumlah masjid yang > bertebaran di negeri ini (sulit mendapatkan hal yang sama di India), > berjimbunnya jumlah majelis taklim serta kajian Agama Islam di > televise-televisi, maraknya Daââ¬â¢i-daââ¬â¢i yang bersemangat sekali > dalam berceramah > memikat umat, sepertinya jauh dari cukup tanpa ada langkah konkrit: bagaimana > mengelola sumber daya alam dan potensi manusia Indonesia yang konon sering > meraih prestasi di berbagai momen olimpiade ini, agar menjadikan negeri ini > lebih baik. > India > memang bukan segalanya. Tapi melihat Indonesia > dari jendela India > , saya jadi bertanya-tanya. Ada > apa dengan negeri ini? > Oh ya, pada hari terakhir kunjungan saya di > India , di Bandara Mangalore, saya > tidak perlu membayar pajak sepeserpun. Sementara di Cengkareng, saya yang > asli > orang Indonesia, harus bayar Rp 150 ribu, itu belum termasuk biaya fiscal > yang > konon ââ¬Ëhanyaââ¬â¢ Rp 1 juta, jika anda harus ke luar negeri. > Ah, Indonesia > ! > à > Doha , 8 > October 2009 > Maaf, artikel ini tdk menyebutkan > sumbernya. -- Kind regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionoke > rtawacana. blogspot. com/ <http://sulistionokertawacana.blogspot.com/> [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ --------------------- Be Prepared Sekali Pramuka tetap Pramuka --------------------- Pramuka email addresses: Post message: Pramuka@yahoogroups.com Subscribe: pramuka-subscr...@yahoogroups.com Unsubscribe: pramuka-unsubscr...@yahoogroups.com ---------------------Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/pramuka/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/pramuka/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:pramuka-dig...@yahoogroups.com mailto:pramuka-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: pramuka-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/