http://www.republika.co.id/ASP/kolom_detail.asp?id=176424&kat_id=16 Jumat, 22 Oktober 2004
Hubungan Sipil-Militer dan Peristiwa 17 Oktober 1952 Yuddy Chrisnandi Pemerhati Politik dan Militer, Dosen Universitas Nasional Jakarta Anggota DPR RI 2004-2009 Dalam catatan sejarah, hubungan sipil-militer di Indonesia kerap terganggu, bahkan relasi itu cenderung bersifat konfliktual. Salah satu fakta yang paling mutakhir adalah pemberian pangkat jenderal kehormatan bagi Mendagri Hari Sabarno dan Kepala BIN Abdullah Machmud Hendropriyono oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di sisa masa jabatannya. Pemberian pangkat jenderal kehormatan itu cukup besar kemungkinan menjadi biang pemicu mundurnya Jenderal Endriartono Sutarto dari kursi Panglima TNI. Pengunduran diri mantan Jenderal Sutarto ini tertuang dalam surat No R/357-08-04/38/Spres, 24 September 2004. Merunut perjalanan sejarah militer di negeri ini, amat jarang seorang pemimpin puncak dalam hierarki kemiliteran Indonesia tiba-tiba memutuskan mundur. Peristiwa ini seolah mengulang sejarah 30 tahun lalu. Tepatnya, setelah peristiwa 15 Januari 1974 (Malari). Ketika itu, Jenderal Soemitro, yang menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), mendatangi Presiden Soeharto dan minta mundur dari jabatannya. Saat itu Jenderal Soemitro (almarhum) mengaku merasa gagal mengantisipasi terjadinya kerusuhan yang membakar kota Jakarta kala itu. Pengunduran diri Jenderal Sutarto itu terkesan sarat muatan politik karena dilakukan menjelang pergantian pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri ke Susilo Bambang Yudhoyono. Spekalusi pun berkembang, bahkan muncul penilaian adanya semacam rekayasa politis di balik peristiwa pengunduran diri itu. Dan salah satu pemicunya adalah soal pemberian pangkat jenderal kehormatan pada Hari Sabarno dan Hendropriyono. Jenderal Sutarto amat mengkritisi langkah Presiden yang memberi pangkat istimewa itu kepada dua pembantunya. Dalam beberapa kali kesempatan Sutarto yang mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu secara implisit menolak pemberian pangkat tersebut. Menurut dia, masih banyak cara yang bisa ditempuh Presiden untuk memberikan penghargaan bagi pensiunan jenderal, salah satunya melalui pemberian bintang jasa. Tapi, Kepala Pusat Penerangan (Puspen) TNI Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin telah memberi alasan formal soal keputusan mundur bosnya itu. Pertama, usaha reorganisasi di lingkungan TNI, usia Jenderal Sutarto yang sudah mencapai 57 tahun, dan permintaan kepada presiden untuk mengganti Panglima TNI oleh kepala staf angkatan yang kini menjabat. Namun, tanpa ada penjelasan resmi, lengkap, dan terbuka dari Panglima TNI, tetap saja penjelasan Kepala Puspen tidak mampu menghilangkan spekulasi yang beredar di masyarakat. Berkaca dari pengalaman Kasus pengunduran diri Jenderal Sutarto tampaknya akan menjadi preseden buruk bagi hubungan sipil-militer ke depan dan menjadi tugas berat bagi pemerintah baru untuk membenahinya. Sebab, berkaca pada pengalaman sejarah militer Indonesia, konflik sipil-militer terjadi akibat adanya interest yang berlebihan dari suprastruktur (yang terdiri atas elite sipil) vis a vis kekuatan militer. Salah satu konflik besar antara sipil-militer yang masih segar dalam ingatan kita adalah kasus 17 Oktober 1952. Peristiwa itu terjadi, lagi-lagi karena masalah implementasi hubungan sipil-militer yang tak jelas juntrungannya. Para elite sipil dan militer pasca-kemerdekaan RI saat itu sejak awal berdebat soal hubungan antara penyelenggaraan pemerintahan dan keamanan negara. Dari situ tumbuhlah berbagai konsep tentang hubungan sipil-militer atau peran militer, baik yang dikeluarakan oleh orang-orang sipil atau militer sendiri. Konsep peran militer dari pihak sipil pasca-kemerdekaan, antara lain berasal dari tokoh-tokoh sosialis dan komunis tentang konsep antara rakyat revolusioner (Syahrir dengan Pesindo, Amir dengan Pepolit, dan Tan Malaka dengan PP-nya). Selain itu konsep supremasi sipil dan profesionalisme tentara di mana tentara hanya menjadi alat negara penjaga keputusan-keputusan yang legal. Sedangkan konsep peran militer yang dikeluarkan pihak militer, misalnya tertuang dalam pendapat TB Simatupang, yakni mirip dengan kedudukan militer di Republik Weimar Jerman. Dalam hal ini merupakan pengemban wawasan kenegaraan dan ideologi negara (Treager des Reichsgedankens) dan bukan alat kabinet. Selain itu terdapat konsepsi Nasution tentang dwifungsi TNI (berdasarkan pidato The Army's Middle Way), yakni konsep pragmatis yang dengan cerdik menyelimuti fasisme (supremasi militer). Faktor conlict of interest sipil-militer di Indonesia tampaknya luput dari perhatian. Padahal, golongan militer pun sebenarnya punya kepentingan yang tinggi dalam dunai politik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa betapun konsesi telah diberikan sebesar-besarnya kepada golongan militer kehendak untuk menjarah pusat-pusat kekuasaan tidak pernah kendor. Salah satu alasan klasik untuk membenarkan kemauan ini adalah campur tangan sipil dalam urusan-urusan militer, umpamanya berkaitan dengan pengakatan pejabat militer. Golongan militer nyatanya telah tumbuh sebagai golongan yang lain, tidak peduli apakah akan berafilasi atau berkonfrontasi dengan pihak sipil. Interaksi golongan militer dengan peristiwa-peristiwa itu telah membentuk diri menjadi kelompok pragmatis yang senantiasa berusaha memuaskan interest-interest yang diwariskan oleh masa lalu, yakni senjata sebagai perpanjangan tangan alat produksi dengan syarat guna meluluskan kepentingan ekonominya. Menurut S Indro Tjahjono (2000), dalam hampir setiap pembelotan militer selama ini selalu didahului oleh masalah mengecilnya porsi ekonomi atau sebaliknya tuntutan untuk meningkatkan peluang dan kesejahteraan ekonomi tentara seperti kemungkinan berkurangnya jabatan non-militer, kesempatan menambah dana kesejahteraan dan tuntutan kenaikan anggaran pertahanan. Namun, ancaman yang bersifat subsatansial dan selalu menjadi preseden dalam konflik antara kabinet dan angkatan bersenjata adalah kemungkinan hilangnya mata pencaharian tentara akibat kebijaksanaan rasionalisasi dan demobilisasi yang terjadi pada beberapa kali kabinet. Puncaknya adalah peristiwa pengambilalihan pemerintahan sipil oleh Letkol Ahmad Husain di Sumatera Tengah, Kolonel Simbolon di Sumatera Utara dan Kolonel barial di Sumatera Selatan pada 1952 sehingga pemerintah perlu memberlakukan SOB (Staat Onder Beleg, Keadaan Darurat). Krisis politik pada masa ini juga dibumbui oleh campur tangan Sukarno melalui hubungan dengan Bambang Sumpeno yang menentang keras markas besar dan protes politisi sipil atas SOB. Menanggapi berbagai krisis politik ini, parlemen bersidang pada 28 Juli 1952, dan dalam sidang ini golongan militer memasalahkan rencana kabinet memberhentikan lagi 80.000 dari 200.000 personel dengan alasan usia lanjut. Kabinet menganggap perlu pemberhentian masal ini mengingat akan dilakukan penurunan alokasi anggaran militer dari Rp 2.625 juta menjadi Rp 1.900 juta. Pihak Angkatan Darat punya argumen, dibanding anggaran pertahanan Burma, Muangthai, dan Filipina yang sebesar 50 persen dari anggaran nasionalnya, maka angka anggaran pertahanan Indonesia sebesar 19 persen sangatlah kecil. Di samping itu gaji dan tunjangan perumahan prajurit pada 1951, dibanding anggota KNIL pada 1949 masing-masing hanyalah 60 persen dan 20 persen sedang anggaran kesejahteraan hanya 10 persen dari KNIL. Berdasarkan latar belakang ini munculah Peristiwa 17 Oktober 1952, suatu preseden yang paling mencoreng sejarah militer. Ribuan pasukan dengan persenjataan berat dikerahkan mengepung istana untuk mengancam kabinet sipil. Tetapi hulu ledak peristiwa ini tersulut ketika rencana undang-undang Angkatan Darat untuk diikut-sertakan dalam kebijakan politik digagalkan oleh mosi Manai Sophiaan (Feith, Castles, 1970; Feith, 1972, 1953; Nasution, tt) Pada peristiwa ini, Kemal Idris (1994) mengakui mengerahkan massa demonstran yang antara lain di lapangan dipimpin oleh Dr Mustopo menuntut pembubaran parlemen. Pasukan dan moncong meriam juga diarahkan ke Istana Merdeka menuntut Bung Karno membubarkan parlemen. Militer yang dipimpin Kepala Staf Angkatan Perang Tahi Bonar Simatupang dan KSAD Abdul Haris Nasution menganggap politisi sipil terlalu mencampuri urusan militer. Tapi kharisma dan wangsit Bung Karno waktu itu masih luar biasa hebatnya. Dia tampil ke depan Istana dan berpidato, massa yang memang tidak tahu-menahu politik bukannya berteriak minta parlemen bubar, tapi malah berteriak "Hidup Bung Karno". Simatupang dan Nasution langsung dipecat dari jabatan KSAP dan KSAD dan diinterogasi oleh Jaksa Agung Suprapto, yang jelas bukan model Andi Ghalib atau Ismudjoko yang sekadar tunduk kepada Presiden, tapi benar-benar melaksanakan Trias Politika. Siapa saja yang makar tidak peduli KSAP dan KSAD harus diinterogasi. Dalam Peristiwa 17 Oktober itu, dedengkot intelijen Kol Zulkifli Lubis memihak Presiden Soekarno dan menggerakkan perwira-perwira yang setia kepada Bung Karno untuk mengganti para panglima Kodam di daerah yang mendukung Nasution. KSAD baru yang diangkat adalah Bambang Sugeng yang akan bertahan sampai 1955. Ketika Bambang Sugeng berhenti, maka yang diangkat adalah Bambang Utoyo sehingga Zulkifli Lubis merasa keki dan memboikot pengangkatan itu, malah kemudian membelot ikut pemberontakan PRRI/Permesta. Peristiwa ini memberi pelajaran tentang hubungan Angkatan Perang (TNI) dengan pihak lain, baik kelompok di DPR, anggota kabinet (parlementer) maupun Presiden Soekarno ketika itu. Ini penting diketahui oleh generasi muda sipil dan TNI, agar setiap interaksi dapat berjalan lebih mulus. Dalam arti, tanpa kesenjangan dan rasa curiga yang berlebihan, apalagi friksi tajam, yang pada buntutnya merugikan kehidupan bernegara. Khususnya dalam menjalani TNI yang sedang mereformasi diri (back to basic). ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/