Media Indonesia 5 Nov. 2004 Jum'at, 05 November 2004
OPINI Ateisme: Siapa Takut? Trisno S Sutanto, Direktur Eksekutif Masyarakat Dialog Antar Agama, Jakarta ATEISME (saya belum mendefinisikan istilah ini) bagaikan hantu yang terus-menerus jadi mambang bagi kehidupan keagamaan. Agama apa pun. Dan, khususnya bagi para birokrat, kaum elite serta para pegawai agama, yang membayangkan agama sekadar kumpulan doktrin, ajaran, dogma yang dipercaya saja, lalu diturunkan dari generasi ke generasi dalam bentuk repetisi bebal. Saya menyebutnya bebal, karena hampir tidak ada proses pengunyahan dan pencernaan secara kritis apa yang diwariskan itu. Pokoknya percaya saja: believe it or leave it! Bagi kelompok seperti ini ateisme adalah hantu, dan kaum ateis adalah pengganggu ke(ny)amanan hidup beragama, kelompok subversif yang pantas dicurigai, atau malah diperangi - kalau perlu sampai tumpas kelor. Esai ini, tanpa berpretensi menjadi apologi bagi ateisme, mau mengajukan cara baca baru yang, saya yakin, dapat membuka ruang dialog yang konstruktif dan kritis dengan ateisme. Namun, untuk itu dibutuhkan optik sekaligus penunjuk arah pembicaraan. Saya mau mengusulkan optik itu adalah apa yang sekarang dikenal sebagai teologi politis: bahwa suatu teologi, yakni pertanggungjawaban secara rasional-kritis sikap keberagamaan, jika mau sungguh-sungguh bertanggung jawab pada zaman modern, artinya pascakritik pencerahan Kant, harus bersifat politis. Sejak Immanuel Kant melontarkan program Kritik Nalar Murni-nya yang masyhur itu, seluruh upaya teologi metafisis (atau bahkan metafisika itu sendiri!) jadi mustahil dilakukan, kecuali menjadi sekadar repetisi bebal dogmatisme yang tadi sudah disinggung. Metafisika, kata Kant, merupakan skandal akal budi manusia: pada satu pihak pertanyaan-pertanyaan metafisika tak terelakkan karena merupakan bagian internal dari dinamisme akal budi; tetapi, pada pihak lain, upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi berada di luar batas-batas kemampuan akal budi manusia. Dengan kata lain Kant, memakai ibarat lucu dari John D Caputo, bertindak seperti kepala polisi yang menarik garis batas antara yang mungkin dan yang tidak mungkin. Apa yang dilakukan Kant adalah menggelar "peradilan akal budi" (tribunal of reason, istilah Kant) tanpa ampun. Dan dalam persidangan itu, baik agama, Tuhan, malaikat, surga, dan neraka menjadi satu bagian dengan iblis, setan, jin, genderuwo, dll yang hanya laku sebagai serial kisah misteri di TV. Karena itulah Kant memberi judul bukunya yang terkenal, yang menjadi cetak biru Pencerahan, sebagai Agama Dalam Batas-Batas Akal Budi Semata. Dunia modern yang kita hidupi adalah ahli waris kecurigaan Kant pada setiap obrolan metafisika. Lalu apakah itu berarti agama tidak punya prospek lagi? Apakah semua obrolan teologi menjadi sekadar salah satu dari kisah-kisah misteri di TV? Atau, dalam konteks obrolan kita, apakah ateisme merupakan konsekuensi yang tak terelakkan? Ya dan tidak. Ya, jika agama dan teologi hanya berkutat terus-menerus dengan soal-soal metafisik, soal-soal yang mengatasi yang-fisik (meta-fisika). Pada ranah metafisika itu, baik posisi teisme maupun ateisme, sebenarnya merupakan posisi-posisi yang berada di luar batas-batas kemampuan akal budi manusiawi, dan karena itu tidak dapat dibuktikan. Maksudnya, baik teisme maupun ateisme, sesungguhnya, merupakan keyakinan. Dan, keyakinan berada di luar arena pembuktian, sebab meyakini sesuatu sudah merupakan bukti pada dirinya sendiri - semacam self-fulfilling evidence. *** Menurut saya, optik teologi politis di atas memberi kita cara membaca yang baru, yang memungkinkan suatu dialog kritis dan konstruktif antara agama-agama dan ateisme. Dan dialog itu, saya yakin, sangat fundamental bagi masa depan agama, jika agama-agama mau tetap setia pada fitrahnya sebagai jalan-jalan keselamatan manusia. Ateisme merupakan kritik-internal terhadap kecenderungan agama untuk menjadi totaliter, dan perannya sebagai justifikasi kekuasaan yang juga cenderung totaliter. Justru di situlah, pada perannya sebagai suara kritis terhadap politisasi agama, kita dapat menemukan arti paling awal kata a-theoi, ateis. Pada masa lampau, kehidupan-bersama dalam suatu polis didasarkan pada kepercayaan penduduk pada dewa-dewi yang disembah. Banyak ahli yang mengingatkan bahwa polis sejatinya merupakan sakrale gemeinschaft, paguyuban suci, yang merupakan manifestasi dunia Ilahi. Dan polis berfungsi semacam penyambung antara dunia Ilahi dengan dunia manusiawi, antara makro dan mikrokosmos. Di situ agama merupakan identitas yang menyatukan, sekaligus membedakan satu polis dari polis yang lain. Singkatnya: agama politis. Unsur dasar ini kemudian memperoleh bentuk yang signifikan ketika kerajaan-kerajaan besar mengambil alih pemahaman agama politis tersebut. Seluruh kesibukan agama dan para birokrat agama yang menjadi aparatus kerajaan adalah menentukan dewa-dewi "resmi" mana yang diakui dan layak disembah, serta ritus-ritus kultus publik apa yang patut dilakukan warganya. Di tangan kaisar Agustus, arsitek utama imperium Romawi, agama politis menjadi alat ampuh pemberi legitimasi magis-religius pada kekuasaannya dan ambisinya untuk mendirikan Pax Augusta. Kaisar lalu disembah sebagai Filius Dei, Anak Allah, atau bahkan Dominus et Deus, Tuhan dan Allah! Di situ, seluruh ritus publik diarahkan menjadi Keizercultus, kultus penyembahan sang kaisar, yang menjadi leitmotiv agama politis. Orang-orang Kristen merupakan a-theoi dalam artian mula-mula, sebab syahadat iman mereka secara radikal menggugat Keizercultus itu. Bagi seorang kristiani, tidak ada Kyrios (Tuhan) yang lain selain Kristus sendiri. Kristus, bukan Kaisar, adalah Filius Dei, dan bahkan Dominus et Deus sesungguhnya. Karena itu, mereka menolak ikut serta dalam ritus-ritus publik - menjadi a-theoi, tak-bertuhankan Kaisar! - dan menjadi para syuhada. Gereja perdana yang ibadahnya berlangsung di bawah tanah bisa dibilang merupakan situs-situs resistensi terhadap kultus publik itu. Nantinya, ketika kaisar Konstantinus Agung, yang konon menjadi Kristen itu, naik takhta dan agama Kristen diakui sebagai "agama negara", kekristenan pun mengadopsi struktur-struktur agama politis sebelumnya. Kali ini giliran orang-orang Yahudi dan non-Kristen pada umumnya yang dituduh a-theoi! Esai ini tidak berpretensi menyediakan apologi bagi ateisme. Akan tetapi, seperti terlihat dalam tilikan historis di atas, kritik tajam ateisme - tanpa harus terjebak ke dalam diskusi metafisika yang melelahkan dan sia-sia itu - merupakan suara yang harus didengar oleh agama-agama. Ateisme harus tetap menjadi mambang yang terus menerus mengganggu ke(ny)amanan agama. Sebab, jika tidak, dengan mudah agama terjebak menjadi bagian integral kekuasaan yang cenderung totaliter. Ignas Kleden pernah mengingatkan, "Agama sebagai suatu lembaga cenderung mempunyai sejumlah kekuasaan dalam dirinya, dan selalu terdapat suatu proses sosial di mana kekuasaan agama diperluas menjadi kekuasaan dunia, dan kekuasaan dunia diperluas ke dalam daerah kekuasaan agama." Ateisme merupakan resistensi terhadap kecenderungan ini. Dan, karenanya, dapat menjadi mitra dialog kritis yang sangat diperlukan oleh agama-agama. Jadi, siapa takut ateisme?? *** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/