MEDIA INDONESIA

EDITORIAL
Kamis, 07 Juli 2005



Ironi Krisis BBM


SUDAH beberapa bulan terakhir krisis pasok bahan bakar minyak (BBM) terjadi di 
seantero Tanah Air. Sebelum ini, kita mendengar penjelasan bahwa krisis terjadi 
karena Pertamina kekurangan uang untuk membeli BBM. Kas Pertamina kritis 
berbulan-bulan karena, katanya, pemerintah tidak membayar subsidi BBM yang 
telah dijanjikan.

Dua pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil para menteri, 
termasuk pimpinan Pertamina, ke Istana untuk rapat. Keputusannya, tunggakan 
uang subsidi BBM ke Pertamina dibayar. Stok BBM nasional yang tadinya tinggal 
12 hari dinaikkan menjadi 22 hari.

Apa yang terjadi? Krisis BBM tidak kunjung berakhir. Bahkan, dalam dua atau 
tiga hari terakhir semakin parah. Antrean orang di SPBU semakin panjang dan 
meluas ke hampir semua kota besar di Tanah Air.

Apa yang salah dengan krisis BBM ini? Uang sudah dibayar ke Pertamina, tetapi 
krisis malah kian gawat. Pertamina bukan perusahaan kemarin, yang tidak 
tahu-menahu soal seluk beluk distribusi dan pengadaan. Pertamina memiliki 
jaringan distribusi terlengkap di Tanah Air.

Sekarang, dengan harga minyak mentah yang terus meningkat, kita ditakut-takuti 
lagi oleh angka subsidi. Menurut hitungan pemerintah, dengan tingkat harga 
minyak mentah US$50/barel, subsidi BBM dalam negeri Rp110 triliun. Sekarang, 
ketika harga sudah menyentuh US$60/barel, subsidi melonjak menjadi Rp138 
triliun. Angka subsidi ini meningkat lagi menjadi Rp150 triliun akibat kenaikan 
konsumsi BBM di dalam negeri yang sudah mencapai 10%.

Sejak dua dasawarsa lalu, sebagai bangsa kita sudah diingatkan bahwa di era 
tahun 2000-an Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak. Ini disebabkan 
cadangan minyak yang menipis dan kenaikan tingkat konsumsi. Semua pejabat yang 
sekarang menduduki posisi di eksekutif tahu soal ini, apalagi Presiden 
Yudhoyono yang pernah menjabat Menteri Pertambangan dan Energi.

Kandungan minyak dalam perut bumi yang menipis dan angka subsidi yang 
menakutkan dari hari ke hari tidak membuat kita sebagai bangsa siaga menghadapi 
fakta buruk itu. Kita meladeni fakta buruk tersebut dengan santai. Bahkan boros.

Kalau krisis BBM diakibatkan Pertamina kekurangan uang, seharusnya ketika 
pemerintah membayar utangnya, krisis berakhir. Ironisnya, krisis malah 
bertambah parah di saat Pertamina mempunyai uang.

Jadi, solusi untuk krisis BBM ini sudah selayaknya dicarikan di wilayah 
non-uang. Penghematan BBM tidak bisa lagi hanya omongan di sidang kabinet. 
Harus segera ada tindakan berani untuk penghematan.

Mengapa tidak diterapkan penggiliran nomor mobil yang beroperasi di jalan 
antara nomor genap dan ganjil? Mengapa tidak ada keputusan berani tentang pajak 
progresif kepemilikan kendaraan bermotor? Mengapa tidak berani menghapus 
subsidi BBM sampai nol?

Kita bangsa miskin yang tidak pernah mau hidup susah. Orang pintar bilang tidak 
mungkin Anda mengatasi harga dan pasokan sekaligus. Kalau dipaksakan, hanya 
akan menciptakan pasar gelap. Kenapa kita lumpuh dengan solusi-solusi cerdas 
dan berani?

[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke