Kalau korupsi diakui sebagai masalah kebudayaan maka penanganannya 
haruslah berkebudayaan juga. Menghukum mati koruptor (kendati 
"bergantung kadar kesalahannya") bukanlah langkah kebudayaan yang 
beradab - entah apa pula maksudnya "hukuman mati bergantung kadar 
kesalahan", apakah koruptor dengan kadar kesalahan berat harus 
dihukum mati secara perlahan-lahan?

Boleh jadi sebagian dari bangsa ini sudah lupa atau malah asing 
dengan kepribadian bangsa-bangsa di nusantara yang sangat menjunjung 
keteladanan pemimpin. Wajar kalau lupa, karena selama lebih dari 
seperempat abad tirani Orde Baru memelintir nilai-nilai budaya dengan 
menggeser pola pikir masyakarat ke sana ke mari.

Pelan tapi pasti, gotong-royong digeser menjadi ketakutan untuk 
berbeda; berdikari digeser menjadi berenang-renang dalam utang; 
keteladanan menjadi sekedar kelatahan dan masih banyak lagi 
nilai-nilai kepribadian yang diacak sehingga bangsa ini nyaris tak 
bisa lagi membedakan yang benar dari yang salah. Sekurangnya, 
setelah 1974 orang tidak bisa lagi membedakan mana pembangunan yang 
dari khazanah pusaka bangsa dan mana yang dari utang luarnegeri. 
Masyarakat menjadi apatis karena lagi-lagi disuguhi tumpukan utang 
yang terus berbunga sementara para pejabat malah asyik berlomba 
memamerkan kekayaan yang tidak masuk akal bila diperoleh hanya dari 
gajinya.

Sebagian orang menganggap mempertanyakan kekayaan orang lain apalagi 
kekayaan pejabat adalah hal yang tabu. Sebagian lagi merasa yakin 
bahwa kita sudah tiba di zaman edan sehingga jika tidak ikut edan 
tidak kebagian. Kelatahan untuk menjadi edan bertemu dengan 
keengganan bertanya soal kekayaan pejabat, maka sempurnalah dunia 
korupsi di tanahair.

Bersyukur masih ada sebagian orang lagi yang melihat suburnya korupsi 
di tanahair sebagai bencana. Ya, bencana buatan sebagai hasil 
persenyawaan antara problem kekuasaan (yang cenderung korup) dan 
kepribadian bangsa yang "melatahi" kelakuan pemimpin. Sebagian orang 
ini percaya bahwa bencana yang dibuat 'begitu' tentu bisa juga 
dibuat sebaliknya, 'begini'. Korupsi bisa dihentikan. Setidaknya bisa 
dikurangi.

Dan, ketika Orde Baru terjungkal, kita pun meyakini bahwa langkah 
awal yang harus diambil untuk menyetop bencana buatan ini adalah 
mempertahankan kewarasan serta menghapus segala tabu soal kekayaan 
pejabat.

Tanpa ragu lagi Rakyat Indonesia lantas membentuk komisi pemeriksa 
kekayaan penyelenggara negara (KPKPN), yang dalam ukuran budaya saat 
itu terbilang langkah yang amat di luar kebiasaan. Revolusioner! 
Bayangkan, kekayaan pejabat yang lebih dari seperempat abad merupakan 
rahasia pribadi pejabat tiba-tiba wajib diketahui umum. 

Hasilnya, rakyat memang terbelalak melihat kekayaan para pejabat. 
Tapi seiring dengan itu rakyat juga merasa lega karena tak ada lagi 
rahasia antara pejabat dan rakyat. Kita semua jadi merasa dekat 
dengan para pemimpin dan, lebih dari itu, rakyat sekaligus 
mendapatkan kembali tempatnya yang bermartabat dalam peta bernegara! 

Itu dampak budaya yang langsung dirasakan masyarakat. Pada jangka 
menengahnya, penerapan sistem pelaporan kekayaan pejabat ini 
diharapkan menjadi instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan 
(yang cenderung korup). Dan sasaran akhirnya adalah terbentuknya 
iklim birokrasi yang bersih di Republik Indonesia. Dalam konteks 
budaya keteladanan, tentu saja kepemimpinan yang bersih menjadi 
teladan bagi masyarakat untuk ikut bersih. Sesial-sialnya, pemimpin 
yang bersih tak akan ragu menyeret menterinya yang korup ke meja 
hijau tanpa harus tersandera perbuatan korupnya sendiri. 

Cilakanya, pemerintahan reformasi selanjutnya terlalu mudah ditekan 
Paris Club. Kumpulan negara cukong yang direkomendasikan IMF itu 
mensyaratkan adanya lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia 
sebelum mereka mengucurkan utang. Didukung wakil-wakil rakyat yang 
sontoloyo, pemerintahan RI waktu itu tunduk pada keinginan the 
cukongs demi kucuran utang.

Serta-merta dibentuklah lembaga ad-hoc pemberantasan korupsi; Komisi 
Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun KPKPN sebagai lembaga yang amat 
menggairahkan kehidupan berbangsa & bernegara, dilumat begitu saja 
lalu dilebur menjadi bagian kecil dari pekerjaan KPK - yang tenggelam 
dalam kesibukan mengejar-ngejar koruptor cap ikan teri tapi gugup 
dalam mengusut berbagai kasus korupsi yang melibatkan partai berkuasa.

Soal ada apa di balik persyaratan Paris Club itu, masih bisa 
diperdebatkan. Tetapi mari kita berpositif saja bahwa para penguasa 
dari negara-negara perkumpulan cukong tersebut ngertinya ya cuma 
'korupsi harus diberantas'. Mereka tidak memahami budaya & 
kepribadian bangsa Indonesia (dan masyarakat Timur pada umumnya) yang 
senantiasa meneladani pemimpin. Terlalu pelik bagi otak modern mereka 
memahami manfaat budaya lokal untuk menangani korupsi.

Yang pasti, memang ada perbedaan kepentingan antara kumpulan negara
cukong itu dan rakyat Indonesia. Di jalanan orang berkata, kaum 
kreditur selalu berkepentingan menjerat korbannya untuk diperas 
sampai tuntas; di lembaga-lembaga kritis, orang meyakini Paris Club 
sangat memahami budaya keteladanan dan justru memanfaatkannya secara 
terbalik yaitu, penanganan korupsi di hilir (pemberantasan). Padahal, 
kata orang di sanggar-sanggar budaya, pemberantasan itu artinya ya
memberantas terus-menerus. Korupsi harus tetap ada agar petugas tetap
bisa memberantas...

Entahlah. Boleh saja cara penanganan korupsi seperti itu (memberantas 
terus-menerus) memang cocok untuk negara-negara cukong. Tapi jelas 
menggelikan untuk Indonesia karena hanya berputar-putar di lingkaran 
setan. Terus menangkapi koruptor, terus mengadili, terus memenjarai 
(dan sedang diusulkan untuk mulai di-dor), tapi toh korupsi terus 
saja terjadi dengan penguasa-penguasa korup yang baru. Jangan 
salahkan siapa-siapa kalau 'pemberantasan korupsi' justru terlihat 
sebagai merawat korupsi melalui peremajaan pelaku-pelakunya. 

Indonesia, dengan kecerdasan yang dimilikinya, sudah menetapkan 
cara penanganan korupsi yang tepat bagi dirinya. Yakni, melalui 
pendekatan budaya keteladanan tadi. Memang ini cara yang di luar 
kebiasaan dalam tradisi penanganan korupsi. Namun cukup alamiah 
dalam menjauhkan para pemimpin dari sifat-sifat buruk kekuasaan. 

Efektivitasnya tak perlu diragukan karena jelas-jelas mengarah pada 
pencegahan. Selain bisa mencegah kerugian negara secara finansial, 
pengawasan rakyat atas kekayaan pejabat juga memberi dampak yang 
sangat berarti bagi kehidupan berbangsa & bernegara di Indonesia.

Inilah pilihan cerdas khas masyarakat Indonesia. Masyarakat yang amat 
meneladani para pemimpin tapi selalu dikadali para sontoloyo lingkar 
kekuasaan. Sebagai pihak yang selalu dijual untuk mendapatkan utang 
luarnegeri, Rakyat Indonesia sudah bosan dengan segala bentuk 
penanganan korupsi yang laris di mana-mana tapi hanya membuat korupsi 
patah-tumbuh hilang-berganti.

Kalau ditanyakan kepada jajaran pimpinan KPK tentang tugas utama KPK, 
maka jawaban segenap pimpinan KPK sejak formasi pertama pasti bukan 
'pemberantasan korupsi', melainkan 'pencegahan korupsi'. 

Namun apa lacur, kita harus tidak percaya jawaban itu karena sampai 
detik ini KPK yang tampak di mata rakyat adalah KPK yang kalangkabut 
menangkapi ikan teri satu-persatu. 

Padahal, ikan teri sebanyak satu ton pun tak bakal sanggup menandingi
bobot seekor paus.


--- From: 
>
> Selama paradigma materialisme masih menjadi panglima, budaya
> korupsi di masyarakat akan tetap tinggi. Karena itu, tanpa ada
> penanganan yang luar biasa, negeri ini tak akan bebas dari korupsi.
> Hukuman yang berat harus diberikan pada para koruptor, bahkan bila
> perlu hukuman mati bergantung kadar kesalahannya. Indonesia bisa
> mencontoh China bagaimana pemerintah di sana mengeksekusi mati para
> koruptornya agar memberikan efek ketakutan bagi yang lain. 






------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke