thanks ajeg sangat membuka wawasan
mengingatkan kita pada kebudayan dan kepribadian yg asli, jadi yg terlihat saat 
ini adalah kebudayaan yg telah tercemar.

jadi ingat teori pareto yg penah saya dengar di salah satu stasiun tv beberapa 
thn yg lalu.  diantara 10 orang ada 1 org yg baik  nya yg konstruktif, ada 2 
org jahatnya yg sangat destruktif, sisanya 7 org adalah follower. kalau yg 
konstuktif yg sedang berpengaruh, yg 7 org otomatis ikut konstruktif. begitu 
sebaliknya.

saya rasa saat ini yg 2 org destruktif ini yg sedang berkuasa di negara ini...

adakah solusi n ya untuk menggeser yg 2 org ini? 
kalau benar sudah berlangsung sejak thn 1974, berarti sudah ada 1 generasi baru 
yg tercemar menteladani yg salah.

Saya bermimpi insan2 perfilman  dan para seniman akan menjadi ujung tombak 
untuk mengembalikan kebudayaan asli bangsa ini dengan berlomba lomba membuat 
sinetron dan film yg jalan ceritanya memuat missi ` all for nation…'  Yg 
membuat kita bangga untuk kembali kepada budaya kita yg asli….   Kenapa mesti 
lewat film dan sinetron? Karena setengah masyarakat kita demen nonton sinetron….
hanya diperlukan 1 orang nasionalis yg kaya raya yg merelakan dana nya untuk 
membuat film dan sinetron2 dg nilai jual tinggi kalau perlu recrut sutradara 
dari holywood...  

all for nation






--- In proletar@yahoogroups.com, "ajeg" <ajegilelu@...> wrote:
>
> 
> Kalau korupsi diakui sebagai masalah kebudayaan maka penanganannya 
> haruslah berkebudayaan juga. Menghukum mati koruptor (kendati 
> "bergantung kadar kesalahannya") bukanlah langkah kebudayaan yang 
> beradab - entah apa pula maksudnya "hukuman mati bergantung kadar 
> kesalahan", apakah koruptor dengan kadar kesalahan berat harus 
> dihukum mati secara perlahan-lahan?
> 
> Boleh jadi sebagian dari bangsa ini sudah lupa atau malah asing 
> dengan kepribadian bangsa-bangsa di nusantara yang sangat menjunjung 
> keteladanan pemimpin. Wajar kalau lupa, karena selama lebih dari 
> seperempat abad tirani Orde Baru memelintir nilai-nilai budaya dengan 
> menggeser pola pikir masyakarat ke sana ke mari.
> 
> Pelan tapi pasti, gotong-royong digeser menjadi ketakutan untuk 
> berbeda; berdikari digeser menjadi berenang-renang dalam utang; 
> keteladanan menjadi sekedar kelatahan dan masih banyak lagi 
> nilai-nilai kepribadian yang diacak sehingga bangsa ini nyaris tak 
> bisa lagi membedakan yang benar dari yang salah. Sekurangnya, 
> setelah 1974 orang tidak bisa lagi membedakan mana pembangunan yang 
> dari khazanah pusaka bangsa dan mana yang dari utang luarnegeri. 
> Masyarakat menjadi apatis karena lagi-lagi disuguhi tumpukan utang 
> yang terus berbunga sementara para pejabat malah asyik berlomba 
> memamerkan kekayaan yang tidak masuk akal bila diperoleh hanya dari 
> gajinya.
> 
> Sebagian orang menganggap mempertanyakan kekayaan orang lain apalagi 
> kekayaan pejabat adalah hal yang tabu. Sebagian lagi merasa yakin 
> bahwa kita sudah tiba di zaman edan sehingga jika tidak ikut edan 
> tidak kebagian. Kelatahan untuk menjadi edan bertemu dengan 
> keengganan bertanya soal kekayaan pejabat, maka sempurnalah dunia 
> korupsi di tanahair.
> 
> Bersyukur masih ada sebagian orang lagi yang melihat suburnya korupsi 
> di tanahair sebagai bencana. Ya, bencana buatan sebagai hasil 
> persenyawaan antara problem kekuasaan (yang cenderung korup) dan 
> kepribadian bangsa yang "melatahi" kelakuan pemimpin. Sebagian orang 
> ini percaya bahwa bencana yang dibuat 'begitu' tentu bisa juga 
> dibuat sebaliknya, 'begini'. Korupsi bisa dihentikan. Setidaknya bisa 
> dikurangi.
> 
> Dan, ketika Orde Baru terjungkal, kita pun meyakini bahwa langkah 
> awal yang harus diambil untuk menyetop bencana buatan ini adalah 
> mempertahankan kewarasan serta menghapus segala tabu soal kekayaan 
> pejabat.
> 
> Tanpa ragu lagi Rakyat Indonesia lantas membentuk komisi pemeriksa 
> kekayaan penyelenggara negara (KPKPN), yang dalam ukuran budaya saat 
> itu terbilang langkah yang amat di luar kebiasaan. Revolusioner! 
> Bayangkan, kekayaan pejabat yang lebih dari seperempat abad merupakan 
> rahasia pribadi pejabat tiba-tiba wajib diketahui umum. 
> 
> Hasilnya, rakyat memang terbelalak melihat kekayaan para pejabat. 
> Tapi seiring dengan itu rakyat juga merasa lega karena tak ada lagi 
> rahasia antara pejabat dan rakyat. Kita semua jadi merasa dekat 
> dengan para pemimpin dan, lebih dari itu, rakyat sekaligus 
> mendapatkan kembali tempatnya yang bermartabat dalam peta bernegara! 
> 
> Itu dampak budaya yang langsung dirasakan masyarakat. Pada jangka 
> menengahnya, penerapan sistem pelaporan kekayaan pejabat ini 
> diharapkan menjadi instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan 
> (yang cenderung korup). Dan sasaran akhirnya adalah terbentuknya 
> iklim birokrasi yang bersih di Republik Indonesia. Dalam konteks 
> budaya keteladanan, tentu saja kepemimpinan yang bersih menjadi 
> teladan bagi masyarakat untuk ikut bersih. Sesial-sialnya, pemimpin 
> yang bersih tak akan ragu menyeret menterinya yang korup ke meja 
> hijau tanpa harus tersandera perbuatan korupnya sendiri. 
> 
> Cilakanya, pemerintahan reformasi selanjutnya terlalu mudah ditekan 
> Paris Club. Kumpulan negara cukong yang direkomendasikan IMF itu 
> mensyaratkan adanya lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia 
> sebelum mereka mengucurkan utang. Didukung wakil-wakil rakyat yang 
> sontoloyo, pemerintahan RI waktu itu tunduk pada keinginan the 
> cukongs demi kucuran utang.
> 
> Serta-merta dibentuklah lembaga ad-hoc pemberantasan korupsi; Komisi 
> Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun KPKPN sebagai lembaga yang amat 
> menggairahkan kehidupan berbangsa & bernegara, dilumat begitu saja 
> lalu dilebur menjadi bagian kecil dari pekerjaan KPK - yang tenggelam 
> dalam kesibukan mengejar-ngejar koruptor cap ikan teri tapi gugup 
> dalam mengusut berbagai kasus korupsi yang melibatkan partai berkuasa.
> 
> Soal ada apa di balik persyaratan Paris Club itu, masih bisa 
> diperdebatkan. Tetapi mari kita berpositif saja bahwa para penguasa 
> dari negara-negara perkumpulan cukong tersebut ngertinya ya cuma 
> 'korupsi harus diberantas'. Mereka tidak memahami budaya & 
> kepribadian bangsa Indonesia (dan masyarakat Timur pada umumnya) yang 
> senantiasa meneladani pemimpin. Terlalu pelik bagi otak modern mereka 
> memahami manfaat budaya lokal untuk menangani korupsi.
> 
> Yang pasti, memang ada perbedaan kepentingan antara kumpulan negara
> cukong itu dan rakyat Indonesia. Di jalanan orang berkata, kaum 
> kreditur selalu berkepentingan menjerat korbannya untuk diperas 
> sampai tuntas; di lembaga-lembaga kritis, orang meyakini Paris Club 
> sangat memahami budaya keteladanan dan justru memanfaatkannya secara 
> terbalik yaitu, penanganan korupsi di hilir (pemberantasan). Padahal, 
> kata orang di sanggar-sanggar budaya, pemberantasan itu artinya ya
> memberantas terus-menerus. Korupsi harus tetap ada agar petugas tetap
> bisa memberantas...
> 
> Entahlah. Boleh saja cara penanganan korupsi seperti itu (memberantas 
> terus-menerus) memang cocok untuk negara-negara cukong. Tapi jelas 
> menggelikan untuk Indonesia karena hanya berputar-putar di lingkaran 
> setan. Terus menangkapi koruptor, terus mengadili, terus memenjarai 
> (dan sedang diusulkan untuk mulai di-dor), tapi toh korupsi terus 
> saja terjadi dengan penguasa-penguasa korup yang baru. Jangan 
> salahkan siapa-siapa kalau 'pemberantasan korupsi' justru terlihat 
> sebagai merawat korupsi melalui peremajaan pelaku-pelakunya. 
> 
> Indonesia, dengan kecerdasan yang dimilikinya, sudah menetapkan 
> cara penanganan korupsi yang tepat bagi dirinya. Yakni, melalui 
> pendekatan budaya keteladanan tadi. Memang ini cara yang di luar 
> kebiasaan dalam tradisi penanganan korupsi. Namun cukup alamiah 
> dalam menjauhkan para pemimpin dari sifat-sifat buruk kekuasaan. 
> 
> Efektivitasnya tak perlu diragukan karena jelas-jelas mengarah pada 
> pencegahan. Selain bisa mencegah kerugian negara secara finansial, 
> pengawasan rakyat atas kekayaan pejabat juga memberi dampak yang 
> sangat berarti bagi kehidupan berbangsa & bernegara di Indonesia.
> 
> Inilah pilihan cerdas khas masyarakat Indonesia. Masyarakat yang amat 
> meneladani para pemimpin tapi selalu dikadali para sontoloyo lingkar 
> kekuasaan. Sebagai pihak yang selalu dijual untuk mendapatkan utang 
> luarnegeri, Rakyat Indonesia sudah bosan dengan segala bentuk 
> penanganan korupsi yang laris di mana-mana tapi hanya membuat korupsi 
> patah-tumbuh hilang-berganti.
> 
> Kalau ditanyakan kepada jajaran pimpinan KPK tentang tugas utama KPK, 
> maka jawaban segenap pimpinan KPK sejak formasi pertama pasti bukan 
> 'pemberantasan korupsi', melainkan 'pencegahan korupsi'. 
> 
> Namun apa lacur, kita harus tidak percaya jawaban itu karena sampai 
> detik ini KPK yang tampak di mata rakyat adalah KPK yang kalangkabut 
> menangkapi ikan teri satu-persatu. 
> 
> Padahal, ikan teri sebanyak satu ton pun tak bakal sanggup menandingi
> bobot seekor paus.
> 
> 
> --- From: 
> >
> > Selama paradigma materialisme masih menjadi panglima, budaya
> > korupsi di masyarakat akan tetap tinggi. Karena itu, tanpa ada
> > penanganan yang luar biasa, negeri ini tak akan bebas dari korupsi.
> > Hukuman yang berat harus diberikan pada para koruptor, bahkan bila
> > perlu hukuman mati bergantung kadar kesalahannya. Indonesia bisa
> > mencontoh China bagaimana pemerintah di sana mengeksekusi mati para
> > koruptornya agar memberikan efek ketakutan bagi yang lain.
>




------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke