http://www.indomedia.com/bpost/072005/20/opini/opini2.htm


Catatan Dari Departemen 'Tuhan'
Oleh : Ahmad Juhaidi

Kasus korupsi di Departemen Agama yang "konon" melibatkan Said Agil Husein, 
mantan Menteri Agama, seorang yang hapal Alquran. Hal itu cukup mengejutkan 
publik dan komentar mereka pun memerahkan telinga. "Huh ulama gin korupsi". 
Komentar semacam itu sering terdengar dan membuat saya agak "tersinggung". 
Itulah risiko terbesar jika ulama bermain di lingkaran politik. 

Terlepas dari hal tersebut, kasus korupsi itu juga mengingatkan saya kepada 
seorang kolega saya. Bapa Fani kami memanggilnya. Seperti pada umumnya lulusan 
Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGAN) dia bekerja sebagai guru honorer sambil 
menunggu saat pendaftaran pegawai negeri. Akhirnya pucuk dicinta ulampun tiba, 
dia dinyatakan lulus di Departemen Agama Kalsel. Anehnya meskipun telah 
dinyatakan lulus menunggu tahunan lebih dia tak kunjung menerima SK 
pengangkatan. Untungnya berselang beberapa tahun, dia berhasil lulus di 
Departemen Pendidikan Kebudayaan (sekarang Dinas Pendidikan) sebagai guru agama 
SD dan ditempatkan di Kabupaten Banjar. Proses pengangkatan itu berjalan normal 
dan cepat, tanpa direcoki dan dipersulit seperti ketika menunggu SK di 
Departemen Agama.

Apa artinya itu semua. Departemen Agama semestinya dipandang sebagai sebuah 
tempat yang tidak sakral dan tidak dapat dijadikan sakral. Departemen ini sama 
dengan departemen lain, semua tergantung kepada orang-orang di dalamnya. 
Bedanya hanya embel-embel agama yang melekat. Celakanya, agama (baca Islam) 
telah dijadikan simbol kesucian oleh masyarakat. Semua yang ada embel-embel 
agama menjadi sorotan. Sekolah agama, guru agama, partai agama dianggap tempat 
suci dan disalahkan bila ada penyimpangan.

Karena itulah, mungkin, kita perlu kembali menempatkan agama di wilayah privat. 
Dengan kata lain, agama (Islam) merupakan urusan pribadi dan tidak dapat 
dikaitkan dengan, apalagi dijadikan simbol, sebuah lembaga atau intitusi. 
Karena ketika terjadi penyimpangan atau carut-marut di dalamnya, justru yang 
muncul dipikiran publik, seolah-olah agama lah yang tidak beres mengatur. 
Padahal, seperti telah ditulis terdahulu, kekeliruan justru pada orangnya. 

Dengan paradigma agama sebagai urusan privat itu pula ada pendapat bahwa agama 
sebenarnya tidak perlu diurus negara karena soal agama adalah persoalan antara 
pribadi dengan Tuhannya. Negara hanya mengurus persoalan-persoalan how to nya 
bukan "Tuhan". 

Saya ingin melihat departemen ini secara lebih realistis. Tak bisa dipungkiri, 
Departemen Agama selalu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dilihat 
dari segi finansial. Bayangkan saja, konon, pegawai dituntut untuk bekerja 
keras sementara penghasilan tidak kunjung bertambah.

Padahal menurut Maslow, manusia dimotivasi oleh kebutuhan yang belum dipenuhi. 
Pada level terendah adalah kebutuhan dasar fisiologi. Setelah itu kebutuhan 
akan rasa aman, rasa dikasihi, rasa diakui dan puncaknya adalah aktualisasi 
diri. Orang akan berupaya memenuhi kebutuhan dasar hidup sehari-hari seperti 
sandang, pangan, dan papan sebelum mementingkan keselamatan dan kebutuhan 
tingkat atasnya. Oleh karenanya, ada individu yang rela mempertaruhkan 
keselamatan dirinya untuk mencari sesuap nasi.

Terkait dengan itulah, seorang pegawai yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya 
akan punya andil mendorong turunnya efektivitas birokrasi, munculnya ekonomi 
biaya tinggi, maraknya korupsi, lambannya pembangunan Departemen Agama (3 
Januari 1946) pada awalnya merupakan kelanjutan dari kebijakan pemerintahan 
kolonial. Pada masa Belanda kantor agama diberi nama Kantoor voor Inlandsche 
Zaken sedangkan pada zaman Jepang bernama Shumuka yang berfungsi sebagai 
penasihat umum dalam masalah agama antara lain bertugas mengangkat pegawai di 
bidang agama, penghulu, dan mengawasi buku-buku agama. Kemudian belakangan, 
Departemen Agama juga mengurus pendidikan agama. Keterlibatan dan campur tangan 
Departemen Agama dalam bidang pendidikan itu, tampaknya, tidak begitu disukai 
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 

Tokoh besar yang sangat mempengaruhi sikap Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 
itu adalah Ki Hadjar Dewantara. Dia memandang pendidikan agama terutama hanya 
sebagai pendidikan budi pekerti dan tidak setuju dengan pendidikan agama 
sebagai pengantar fiqh secara umum.

Pertentangan-pertentangan itu mungkin saja terjadi sampai sekarang. Jika 
dilihat, ada beberapa hal yang dicampuri oleh Departemen Diknas, misalnya 
penilaian angka kredit dosen. Dampak langsung dari proses yang panjang itu 
adalah panjangnya waktu yang harus ditunggu dosen yang bersangkutan. Persoalan 
itu sebenarnya mudah diatasi. Ada dua alternatif pemecahan: serahkan ke 
Departemen Agama atau urusan itu sepenuhnya ditangani Depdiknas.

Dalam konteks Kalsel, gesekan-gesekan semacam itu sebenarnya tidak terjadi. 
Paling-paling yang terjadi adalah kesenjangan kesejahteraan antara pegawai 
Departemen Agama dengan pegawai Pemerintah Propinsi Kalsel, seperti yang 
disebutkan di awal tulisan ini. Ke depan, partisipasi pemerintah propinsi dalam 
hal pendidikan agama sebenarnya masih sangat diperlukan. Misalnya, pengembangan 
IAIN menjadi universitas Islam. 

Partisipasi itu semestinya jangan diiringi dengan kekuatiran merasa 
tersainginya perguruan tinggi negeri lain karena apapun namanya pendidikan pada 
prinsipnya untuk kemajuan banua ini. 

Ahmad Juhaidi Pendiri Yayasan Dangsanak


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke