http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/03/opini/2093333.htm
Saudagar dan Kebijakan Publik Oleh TATA MUSTASYA Saudagar adalah binatang ekonomi (economic animals). Aktivitasnya mengakumulasi modal dengan tujuan utama mencari keuntungan. Apa jadinya jika saudagar menjadi pengambil kebijakan? Berkaitan dengan karakteristik saudagar tersebut, Makmur Keliat menuliskan kerisauan terhadap maraknya saudagar yang berperan ganda sebagai pengambil kebijakan (Kompas, 16/9/2005). Saudagar, menurut Makmur, sebaiknya tidak diberi ruang menduduki jabatan dalam pemerintahan, terutama yang berhubungan dengan kementerian ekonomi. Walaupun terkesan menarik, argumen tersebut lemah. Pertama, ditinjau dari konsep ekonomi-politik pengambilan kebijakan. Kedua, argumen tersebut miskin data dan fakta. Akhirnya, identifikasi masalah yang keliru akan melahirkan rekomendasi tidak tepat bagi reformasi kebijakan. Ekonomi-politik kebijakan Dalam paper berjudul In Quest of The Political: The Political Economy of Development Policymaking, Guru Besar Universitas Harvard Merilee S Grindle menjelaskan salah satu teori ekonomi-politik pengambilan kebijakan. Dari sini kita bisa tahu: soal mengambil rente bukan melulu monopoli saudagar. Dengan kata lain, pengambil kebijakan dengan ragam latar belakangâ?"saudagar, teknokrat, atau politisiâ?"cenderung memanipulasi dan mengorup kekuasaan jika mekanisme politik mengalami disfungsi. Menurut Grindle, pengambil kebijakanâ?"apa pun latar belakangnyaâ?"merupakan produsen di pasar politik. Mereka menawarkan produk kebijakan kepada publik sebagai konsumen. Hal ini telah dan sedang berlangsung dalam tahap awal demokratisasi Indonesia, antara lain, terlihat dalam pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Agar produknya laku, pengambil kebijakan melakukan pemasaran politik (political marketing) ketika menjadi kandidat. Ketika menjabat, mereka melakukan pemasaran kebijakan (policy marketing). Hal ini, terutama, gencar dilakukan pemerintah untuk mendukung kebijakan yang tidak populer seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tujuan pokoknya agar publik memilih mereka dalam pemilu. Titik krusialnya, dengan demikian, terletak pada pertukaran legal antara produk kebijakan publik dengan suara pemilih. Politisi dengan berbagai latar belakang dipaksa menawarkan kebijakan yang diharapkan pemilih. Kompetisi untuk merancang dan menawarkan kebijakan terbaik antarpara kandidat merupakan kata kunci. Pada Pemilu 2004 lalu, sedikit banyak, mekanisme ini telah bekerja. Perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, meningkat tajam karena mereka menawarkan produk yang didambakan publik: pemerintah yang bersih dan peduli. Sebaliknya, pemilih telah menghukum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) karena produk yang dijual ternyata tidak sesuai dengan yang diiklankan. Jika pasar politik berfungsi dengan baik, tak perlu ada kekhawatiran terhadap terjunnya saudagar sebagai pengambil kebijakan. Para saudagar dengan naluri cari untung mungkin tergoda mencari rente ekonomi. Namun, tipe pengambil kebijakan seperti ini akan segera tersingkir dari perebutan kursi kekuasaan. Sering kali, pasar politik jauh dari sempurna. Sebabnya bisa beraneka ragam, seperti kepemilikan informasi yang tidak simetris dan monopoli kekuatan politik. Di sinilah pengambil kebijakan mampu tetap eksis dalam pasar politik meskipun menerapkan produk kebijakan yang buruk. Dalam kondisi tersebut, pengambil kebijakan memiliki ruang untuk mencari rente ekonomi dan korup. Pertanyaannya, apakah ini perilaku khas pengambil kebijakan berlatar belakang saudagar? Sangat keliru jika menjawab ya. Melihat Realitas Sulit menemukan fakta bahwa penyalahgunaan jabatan untuk mencari rente ekonomi hanya mampu dilakukan pengambil kebijakan berlatar belakang saudagar. Faktanya, hal tersebut niscaya bakal terjadi dalam pasar politik yang terdistorsi. Caranyalah yang berbeda. Pengambil kebijakan dengan latar belakang non-saudagar, misalnya politisi dan teknokrat, mungkin akan terpaksa berkongsi dengan saudagar dalam mencari rente. Hal tersebut dilakukan karena politisi dan teknokrat tidak terampil mengakumulasi modal. Dalam kasus ini, tercipta pasar gelap politik (black political market) antara pengambil kebijakan dengan saudagar berupa kesepakatan yang menguntungkan kepentingan pribadi. Rezim Soeharto merupakan contoh tepat fenomena tersebut. Kita tahu, pasar politik sangat tidak kompetitif dalam demokrasi semu di era Orde Baru. Model kongsi pengambil kebijakan yang berlatar belakang politisi dan teknokrat engan para saudagar ini telah mendominasi sejarah korupsi dan kolusi di Indonesia. Sementara jika saudagar menjadi pengambil kebijakan, mereka dapat mencari rente ekonomi secara langsung. Bagaimanapun, kedua model tersebut sama jahatnya dan sama-sama merugikan publik. Layanan umum buruk, keuangan negara morat-marit, dan perekonomian terdistorsi. Jadi, solusi carut-marut reformasi kebijakan di Indonesia bukan dengan mempersoalkan adanya pengambil kebijakan dan politisi yang berlatar belakang saudagar. Bukan juga dengan melarang pengambil kebijakan berdekat-dekat dengan saudagar. Solusinya, bagaimana pasar politik Indonesia bisa menjadi sarana pertukaran yang layak bagi pengambil kebijakan dengan publik sebagai pemilih. TATA MUSTASYA Peneliti Ekonomi-Politik The Indonesian Institute [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/