http://www.indomedia.com/bpost/102005/19/opini/opini1.htm

Mengapa Kita Hanya Pandai Dalam Logika?

Oleh: Pribakti B

Pernah mendengar cerita katak Kalimantan yang menyeberangi Sungai Barito? Jika 
belum, cerita yang disampaikan Zaim Uchrowi dalam tulisannya di harian 
Republika (4/Jan/02), layak untuk disimak. Dalam cerita itu, seorang gila 
bertemu seorang profesor. Keduanya berbincang tentang katak, yakni katak 
Kalimantan yang mampu melompat sejauh 50 sentimeter. "Berapa lompatan yang 
diperlukan katak Kalimantan itu untuk sampai ke seberang Sungai Barito?" tanya 
si gila. Sedangkan lebar Sungai Barito adalah 1.250 meter.

Dengan cepat, profesor itu menjawab: "2.500 lompatan. Menghitungnya sangat 
mudah. Jika katak itu dapat melompat setengah meter, maka jumlah lompatan yang 
diperlukan adalah dua kali jarak dalam satu meter." Orang gila itu pun 
terkekeh-kekeh mendengar jawaban profesor. Yang diperlukan katak itu untuk 
sampai ke seberang , hanya dua lompatan, katanya. Pertama adalah melompat ke 
air. Setelah itu katak akan berenang. Sampai di ujung, katak baru akan melompat 
lagi ke darat.

Saya, Anda dan pemimpin kita semua bisa seperti profesor itu. Pandai dalam 
logika, namun dungu terhadap realita. Dengan logika, kita merasa mampu menjawab 
segalanya. Dengan logika pula, kita percaya dapat memecahkan seluruh masalah. 
Apalagi bila kita merasa tak cuma logika namun hafal di luar kepala berbagai 
teori yang disebut buku-buku teks dan memiliki segudang pengalaman. Jujur saja, 
bangsa ini sekarang adalah produk cara berpikir gaya profesor itu. Perancang 
pembangunan kita sangat percaya pada logika, penguasaan teori dan pengalamannya 
sendiri. Itulah kebenaran menurut mereka. Mereka memaksa bangsa ini menerima 
'kebenaran' itu. "Kalau enggak kuat beli gas, ya pakai minyak tanah aja. Kalau 
enggak kuat beli minyak tanah, pakai kayu bakar aja. Beres kan? Bersama Kita 
Bisa (Menderita)!" kata mereka. Lalu persoalan apa yang tidak dapat diatasi 
dengan logika? 

Tempe

Persoalannya percaya pada cerdik pandai seperti itu, seluruh bangsa ini lalu 
menelan bulat semua resep yang disodorkan. Hasilnya apa? Nilai rupiah terkapar 
lewat Rp10 ribu per dolar Amerika. Hasilnya pula, rakyat harus memikul beban 
hidup akibat tidak berharganya rupiah tersebut. Baik melalui penaikan harga 
BBM, tarif daya listrik, telepon, tarif angkot dan akhirnya seluruh harga 
barang.

Harus diakui, ibarat perusahaan, bangsa ini sudah berada di tepi jurang 
kebangkrutan. Utang luar negeri semakin menumpuk, pengangguran bertambah, 
korupsi adalah kebanggaan dan seterusnya, yang sudah menjadi pengetahuan umum. 
Jika suatu perusahaan, mungkin sudah lama harus dinyatakan pailit. Di bawah 
kondisi perusahaan yang bobrok, posisi direktur utama atau apa pun namanya 
adalah kursi panas. Orang waras dan normal akan tahu, bahwa tantangan untuk 
mengatasi ancaman kebangkrutan membawa risiko jabatan yang luar biasa.

Tapi, anehnya di perusahaan yang hampir bangkrut ini masih diminati banyak 
orang. Jumlah orang yang merasa mampu dan pantas menjadi pemimpin semakin hari 
bukannya semakin berkurang, malah justru bertambah. Mengapa demikian? Ini 
karena alasan untuk menduduki suatu posisi atau jabatan publik tidak dianggap 
sebagai pengabdian, melainkan pencapaian status dan perolehan hak, tanpa 
diiringi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab publik. Sudah barang tentu, 
pejabat publik pasti akan menolak argumen ini. Tapi, jika dipikir adalah benar 
kata teman saya bahwa sebenarnya pembusukan berketerusan yang dialami bangsa 
ini, bukan karena azab. 

Proses itu semata-mata karena kebodohan kita yang selalu mengandalkan logika 
dan karena ketidakkonsistenan pemimpin negeri ini. Pepatah Jawa: Esuk tempe 
sore kedele (pagi tempe, sore kedelai atau berubah-ubah sikap) tidak sekadar 
pepatah, tetapi sudah menjadi realitas sosial. "Cobalah cermati, hampir semua 
pemimpin tidak lagi bisa dipegang omongannya. Setingkat Mahkamah Agung yang 
dijagokan sebagai penjaga hukum tertinggi di negeri ini aja doyan disogok," 
kata tukang ojek depan rumah saya. Tampaknya kejujuran dan komitmen hanya 
sebatas wacana. Tidak lebih dan tidak kurang. Katanya ingin memberantas KKN, 
tapi malah semuanya menumbuhsuburkan praktik demikian. Katanya ingin 
menciptakan pemerintahan yang bersih, tapi rekrutmen pemimpin selalu diwarnai 
money politics. 

Saya menjadi teringat ucapan antropolog Prof Koentjaraningrat (almarhum) 
tentang mentalitas bangsa ini dengan 'bangsa tempe'. Salah satu kelemahan 
mentalitas orang Indonesia adalah suka menerabas, mau cepat enak, tidak 
bersedia bekerja keras dan lebih berorientasi ke masa lampau ketimbang masa 
depan. Menerjang apa saja untuk meraih sukses, dengan cara yang sama sekali 
tidak bermartabat dan dengan kerendahan hati nol. Hidup hanya untuk mengelabui 
diri.

Lihat pula sinetron di TV yang menjual mimpi itu. Tokohnya kaya raya, setiap 
hari berjas dan berdasi, tetapi pekerjaannya tak jelas. Bukan etos kerja yang 
disampaikan ke publik, melainkan mental tempe, yang tampak enak meskipun 
sesungguhnya busuk. 

Tempe busuk memang enak, tapi menyesatkan. Kalau busuk betul, jadi racun. Kalau 
'busuk-busukan' malah enak disambel jadi tempe penyet. Konyolnya, kaum pemalas 
itu melanda semua sektor dan lapisan masyarakat kita. Kerja di kantor hanya 
ongkang-ongkang baca koran, Sabtu minta libur dan gaji naik. Edan man! 

Pelupa

Begitulah. Tapi, maaf karena saya bukan profesor dan bukan pula si gila. Bisa 
saja saya salah melihat kenyataan ini. Bisa saja saya terlalu awam untuk 
memahami realitas inkonsistensi pemimpin kita sekarang. Barangkali benar kata 
teman saya: Berpolitik memang tidak sekadar bersiasat, tapi butuh sejumlah 
kepalsuan. Dan standar ganda adalah senjatanya, meski sebenarnya begitu gampang 
menjalankan amanat kekuasaan.

Orang bijak bilang. Jika Anda pintar maka akan menjadi pemenang. Jika Anda 
jujur maka Anda akan dipercaya. Dan, jika Anda banyak memberi maka Anda akan 
dicintai. Seorang penguasa yang pintar akan selalu menjadi pemenang. Tetapi, 
mereka belum tentu dipercaya jika tidak jujur dalam menjalankan amanatnya. 
Lebih dari itu, penguasa yang hanya menuntut kewenangan tanpa pernah memberi, 
tidak akan dicintai.

Kini memang kita menghadapi situasi yang amat sulit soal kepemimpinan. Bisa 
saja berpuluh orang merasa mampu memimpin, namun masih sangat sedikit yang 
menunjukkan kapasitas sebagai pemimpin yang selalu bisa menjadi pemenang, 
dipercaya dan dicintai. Ataukah memang begitu tradisi sebuah negeri yang baru 
mencari jatidiri. Saya tidak tahu persis. Maklum, saya hanya manusia biasa.

Tapi, yang pasti sudah jamak di negeri ini kebanyakan pemimpin lebih memilih 
untuk menikmati ketimbang memberi. Mereka lebih memilih terus berjanji 
ketimbang menepati. Untungnya kita tergolong bangsa yang gampang pelupa. Belum 
ada setahun kita memuja-mujanya karena mimpi suatu perubahan, kini kita mulai 
menghujatnya. Baru sejenak kita melengserkannya, kini mulai merindukannya. 
Sungguh enak menjadi pemimpin yang setiap saat bisa berbuat seolah-olah.

Jadi, mari kita ganyang mentalitas tempe seperti kata Prof Koen: Belajarlah 
dari si gila! Ia sepertinya tidak punya apa-apa. Namun ia memiliki wisdom, yang 
membuatnya selalu mampu mencermati realita. Karena realitalah, bukan kata-kata, 
yang merupakan kebenaran.

* Dokter RSUD Ulin, tinggal di Banjarmasin 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Kirim email ke