MEDIA INDONESIA Kamis, 20 Oktober 2005
Kemiskinan, Perempuan, dan BBM Siti Haiyinah Wijaya, Aktivis perempuan, mahasiswi UI, Depok. BEBERAPA minggu ini kita disibukkan dengan berita orang miskin. Masalahnya adalah pemerintah memberikan dana kompensasi BBM pada penduduk yang dikategorikan miskin yang besarnya Rp300.000 untuk 3 bulan. Artinya penduduk miskin disubsidi oleh pemerintah sebesar Rp100.000 setiap bulannya. Sebenarnya apa yang dimaksud miskin itu? Badan Pusat Statistik yang melakukan pendataan penduduk miskin menggunakan pendekatan basic needs. Dengan pendekatan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun nonmakanan yang bersifat mendasar. Berdasarkan pendekatan basic needs, indikator yang dipakai adalah Head Count Index (HCI) yaitu jumlah dan%tase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan (GK). GK dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan nonmakanan per kapita pada kelompok referensi (reference population) yang telah ditetapkan. Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marginal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas perkiraan awal GK. GK ditentukan dengan melihat batas kecukupan makanan dan nonmakanan. Batas kecukupan makanan (pangan) dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi 2.100 kalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Batas kecukupan nonmakanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk nonmakanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain. Penghitungan angka kemiskinan tahun 2004 didasarkan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 yaitu Susenas Modul Konsumsi tahun 2004 (panel) untuk penghitungan kemiskinan tingkat nasional yang dipisahkan menurut daerah perkotaan dan pedesaan, serta Susenas Kor tahun 2004 untuk penghitungan kemiskinan tingkat provinsi. Pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin absolut tercatat sebesar 36,1 juta jiwa atau 16,66% dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut jika dipisahkan menurut jenis kelamin ternyata lebih banyak penduduk perempuan miskin (16,72%) dibanding laki-laki (16,61%). Jika dirinci menurut rumah tangga, ternyata rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan jumlahnya makin bertambah dari tahun ke tahun. Hasil Susenas 1996 dan 1999 menunjukkan rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan bertambah sebesar 45,9%, dari 0,71 juta menjadi 1,03 juta. Angka ini meningkat menjadi 3,03 juta pada tahun 2004. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemiskinan sangat dekat dengan perempuan. Penerima dana kompensasi untuk keluarga miskin adalah laki-laki, karena definisi kepala keluarga di Indonesia masih menempatkan laki-laki sebagai subjeknya. Dampak dari kemiskinan tersebut dapat ditebak, prioritas akses akan diberikan pada laki-laki. Tidak mengherankan jika perempuan identik dengan kemiskinan. Budaya patriarkat yang masih melekat di Indonesia menyebabkan perempuan tertinggal di setiap sektor. Di sektor pendidikan misalnya, data Susenas 1996 dan 1999 menunjukkan persentase rumah tangga miskin yang dikepalai perempuan yang berpendidikan SD dan SLTP meningkat lebih tinggi dibandingkan rumah tangga miskin yang dikepalai laki-laki. Sebaliknya, persentase rumah tangga miskin yang dikepalai laki-laki dengan pendidikan sekolah menengah ke atas meningkat lebih tinggi. Dengan kondisi pendidikan perempuan yang rendah tersebut, tidak mengherankan jika posisi tawar perempuan akan rendah. Lihat saja dari sektor ketenagakerjaan, rata-rata upah/gaji perempuan selalu lebih rendah dari laki-laki. Data BPS menunjukkan di subsektor pertanian tanaman padi palawija, upah buruh per ha perempuan pekerja lebih rendah (sekitar Rp56 ribu) dibandingkan laki-laki pekerja (sekitar 65 ribu rupiah). Upah perempuan pekerja di subsektor industri kecil dan kerajinan rakyat jauh lebih rendah daripada upah laki-laki pekerja. Perempuan pekerja rata-rata dibayar 54,0% lebih rendah daripada laki-laki pekerja. Di sektor perdagangan rata-rata upah perempuan pekerja sekitar 78,0% dari upah laki-laki pekerja. Upah perempuan pekerja tahun 1999 rata-rata Rp193.000/bulan dan laki-laki Rp247.000/bulan. Sekali lagi telah kita lihat dari data yang ada, proses marginalisasi terjadi pada perempuan. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2004 BPS menunjukkan bahwa perempuan banyak yang berstatus sebagai ibu rumah tangga. Dari seluruh penduduk Indonesia yang mengurus rumah tangga 97,9% adalah perempuan. Dengan banyaknya perempuan yang berstatus sebagai ibu rumah tangga dapat dipastikan perempuan sangat dekat dengan BBM. Dari mulai keperluan di dapur seperti gas, beras, gula, juga keperluan kesehatan seperti sabun, obat, dan keperluan rumah tangga lainnya seperti sapu dan lainnya sangat dekat dengan perempuan. Belum lagi transportasi, bila si ibu mengantar anaknya ke sekolah. Dapat dibayangkan jika BBM naik harganya (dan ini sudah terjadi 1 Oktober 2005 yang lalu) akan berdampak pada kepanikan ibu rumah tangga dalam mengelola keuangan rumah tangganya. Dipastikan semua harga kebutuhan akan naik. Soal gaji suami? Naik? Nanti dulu!! Indonesia yang angka penganggurannya cukup tinggi. Data Sakernas 2004 menunjukkan jumlah laki-laki yang termasuk pengangguran terbuka sebesar 8,1% dan perempuan yang termasuk kategori pengangguran terbuka sebesar 12,9%. Angka yang ada membuat kita harus berpikir jernih. Dengan kenaikan BBM dipastikan ongkos produksi akan naik dan ini akan berdampak pada banyaknya penghematan yang akan dilakukan oleh produsen. Salah satu bentuk penghematan adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika PHK terjadi dipastikan angka pengangguran akan makin meningkat. Dengan demikian tingkat kriminalitas juga akan meningkat dan berdampak pada rendahnya tingkat kenyamanan. Bagaimana dengan perempuan? Jangan terkejut jika akan banyak perempuan yang terpaksa harus membantu suaminya guna mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan kualitas yang terbatas dan persaingan yang kompetitif, mustahil perempuan akan masuk pada lingkungan kerja formal. Jangan terkejut kalau akan banyak perempuan yang bekerja sebagai PSK. Mengapa harus PSK? PSK tidak membutuhkan pendidikan formal yang tinggi dan tidak perlu modal yang besar. Sampai kapan pun yang namanya prostitusi tetap menjadi komoditas yang menggiurkan. Ada demand yaitu laki-laki dan ada supply yaitu perempuan. Masih belum yakin? Mari kita renungkan dengan menjawab pertanyaan benarkah kita sudah menempatkan perempuan pada sisi yang layak? Sudah benarkah kebijakan yang dilaksanakan pemerintah dengan menaikkan BBM? Apakah perempuan harus selalu sebagai objek yang termarginalisasi? Apakah pemberian dana kompensasi untuk rakyat miskin bisa dimanfaatkan dengan baik oleh perempuan?***. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/