http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1105/21/02.htm
Hasil Pertemuan APEC --Karena itu, baik APEC atau WTO bagi kita sama saja. Sebab diakui atau tidak, Indonesia adalah negara yang paling tidak siap dalam perdagangan bebas. PERTEMUAN para pemimpin Forum Kerja Sama Asia Pasifik (APEC) di Busan Korea Selatan berakhir Sabtu (19/11). Mereka bertekad terus mendorong perdagangan dunia yang lebih bebas dan transparan serta memperkuat jaminan keamanan manusia di kawasan Asi Pasifik. Tidak ada hal baru yang dihasilkan dari forum APEC kali ini, meskipun para pemimpin telah menghasilkan Peta Jalan Busan (Busan Roadmap). Peta Jalan Busan pun bukan merupakan hal yang baru sama sekali. Isinya bagaimana mempercepat tujuan liberalisasi perdagangan seperti yang disepakati dalam Bogor Goals. APEC tetap mendukung peningkatan Perjanjian Dagang Regional (RTA) dan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA). Tentu saja yang paling gandrung dengan perdagangan bebas adalah Amerika Serikat (AS). Kendati kesepakatan di APEC ini tidak mengikat (non-binding), pada kenyataannya tekanan-tekanan negara besar terhadap negara sedang berkembang untuk meliberalkan pasar cukup besar sehingga prinsip tidak mengikat pun akhirnya dalam pelaksanaannya menjadi mengikat. Amerika sangat berkepentingan dengan suksenya APEC, karena duapertiga ekspor AS masuk ke wilayah ini. Asia Pasifik juga menyumbang setengah dari volume perdagangan dunia. Bagi Amerika, berkawan dengan APEC sangat perlu karena sekarang ini semakin banyak forum-forum Asia yang tidak melibatkan Washington. Busan Roadmap juga menghendaki negara-negara APEC untuk "melipatkgandakan" upayanya dalam menghadapi pertemuan para menteri 148 negara yang tergabung dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Hong Kong 13-18 Desember mendatang. Tentu saja kepentingan Amerika dan Eropa sangat kental di sini. Jadi sebetulnya, Forum APEC kemarin merupakan arena konsolidasi Amerika dan Jepang menghadapi sidang WTO ini. Negara-negara maju memang berharap agar pertemuan WTO mendatang bisa sukses. Sejak 2001, perundingan liberalisasi yang mengikat (binding) yang disebut dengan Putaran Doha ini mengalami kemacetan. Yang paling membuat negara maju gusar adalah kegagalan WTO di Cancun, Meksiko pada September 2003. Saat itu, negara-negara berkembang berani menolak keinginan Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa untuk menurunkan tarif. Keberanian ini baru muncul setelah tiga raksasa ekonomi yaitu Cina, India dan Brazil menjadi pemimpin G-21. Keberanian muncul karena India, Cina dan Brazil sekarang ini memiliki daya tawar tinggi di dunia. Mereka bisa memprotes perlakuan negara maju yang kurang adil. Salah satu ketidakadilan adalah sikap asimetris yang ditunjukkan Amerika dan Eropa. Di satu pihak mereka menghendaki negara berkembang membuka pasar seluas-luasnya dan menurunkan tarif, kalau perlu sampai 0%, tetapi mereka sendiri enggan mencabut subsidi pertanian. Subsidi pertanian inilah yang menjadi hambatan sejak WTO belum ada dan sedang digagas dalam Uruguay Round. Dalam pertemuan APEC ini memang ada desakan agar Eropa menurunkan subsidi pertanian. Tetapi kita ragu apakah sidang WTO juga akan berhasil menekan Eropa. Sebab, Eropa pun akan menuntut hal yang sama kepada Amerika, dan pasti negara Paman Sam ini tidak akan pernah mau menurunkan subsidi pertanian. Sebab dengan subsidi ini, hasil pertanian AS melimpah dan bisa membanjiri pasar internasional, termasuk ke Indonesia. Walaupun Amerika merasa berhasil menyelaraskan pandangan negara-negara APEC menjelang pertemuan WTO di Hong Kong, toh belum tentu pertemuan WTO akan mulus. Kita belum tahu jurus apa yang akan dikeluarkan Cina dan India dalam tawar menawar di arena WTO ini. Apakah pertemuan WTO akan berhasil atau gagal? Ini sangat relatif. Sebab, jika negara-negara maju masih bersikap asimetris, maka kegagalan perundingan WTO adalah keberhasilan bagi negara-negara sedang berkembang dan keberhasilan WTO adalah kegagalan bagi negara-negara berkembang. Tetapi gagal atau berhasil, negara-negara besar akan terus mendesakkan liberalisasi, apa pun caranya. Amerika, meski gagal dalam perjanjian liberalisasi multilateral, kini berusaha melakukan perjanjian perdagangan bebas secara bilateral. Begitu juga Jepang, Eropa, dan lain-lain. Karena itu, baik APEC atau WTO bagi kita sama saja. Sebab diakui atau tidak, Indonesia adalah negara yang paling tidak siap dalam perdagangan bebas. Selama kebijakan ekonomi hanya melahirkan pedagang dan bukan produsen, kita menjadi pasar lemparan barang dagangan dan jasa luar negeri.*** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/