http://www.kompas.com/kompas-cetak/0511/26/opini/2238081.htm
Korupsi dan Keadilan Budiarto Danujaya Pembicaraan sangkut paut korupsi dan politik kerap mentok pada persoalan "tangan-tangan kotor". Robert Fullinwider, misalnya, kerap dikutip mengatakan bahwa kita butuh politikus seperti kita butuh tukang sampah, jadi seharusnya kita sudah menduga kalau bakal bau (Peter Singer, ed.: 1993). Di sini kita bukan hanya bicara "power tends to corrupt'", tetapi bahwa tatanan nilai yang tergelar merupakan produk lingkungan dan jejaring sosial yang sudah terdegradasi. Dengan demikian, korupsi lalu menjadi konsekuensi yang niscaya; bahkan justru solusi bagi sebuah "keterpaksaan" sosial. Paradigma berpikir semacam inilah yang memungkinkan koruptor juga bisa dilihat sebagai korban. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) lalu bahkan dianggap bagian naluri dasar setiap manusia, dan karena itu lantas bisa dianggap "kewajaran sosial yang dapat diterima". Yang penting lalu lebih cara membuat koruptor "berprestasi", membuat korupsi menjadi produktif bagi kemajuan bangsa dan negara, dan katanya sih... bisa kalau mau (Radhar Panca Dahana, "Berani Korupsi, Berani Prestasi", Kompas, 28/10/2005) Betapa pun banyak penelitian disebut-sebut melihat korelasi positif korupsi, termasuk di Indonesia, tetap saja pernyataan seperti ini lebih terasa provokatif ketimbang argumentatif. Kiranya, pernyataan ini lebih semacam pancingan. Semacam ajakan berdebat, apakah konsekuensi pragmatik dapat dijadikan legitimasi politik bagi korupsi. Penyalahgunaan dan keadilan Setidaknya, ada persoalan paradigmatik yang tak utuh digelar di sini sehingga menerbitkan kekisruhan pragmatis semacam ini. Korupsi memang pertama-tama adalah masalah penyalahgunaan wewenang. Kalau kita terus menyangka bahwa korupsi sekadar masalah penyelewengan nilai-nilai moral dan agama, kita takkan pernah berjumpa dengan Indonesia nirkorupsi dalam hidup kita. Bahwasanya kita sudah menghabiskan bertriliun rupiah untuk penataran P4, dan bahkan satu dari sedikit negara modern yang punya pelajaran agama dari SD sampai universitas, tetapi tetap terus jawara dalam peringkat korupsi antarnegara, semestinya membeliakkan mata kita. Akan tetapi, korupsi juga jelas lebih merupakan masalah keadilan dibandingkan sekadar masalah moral. Penyalahgunaan wewenang berakibat pada disparitas perlakuan terhadap para korban di hadapan wujud-wujud pengejewantahan kekuasaan. Dalam konteks ini seharusnya kita mengingat, bahkan jauh sebelum John Rawls menuliskan A Theory of Justice (1971), perdebatan dalam pemikiran politik sudah tak dapat lagi mengabaikan topik keadilan distributif. Termasuk perdebatan mengenai besaran peran negara dalam pengejewantahan dan perwujudannya. Dalam pengertian inilah pancingan Radhar, misalnya, bahwa korupsi justru "berhasil mengubah wajah birokrasi opresif dan alienatif menjadi lebih ramah dan manusiawi", menjadi kehilangan pijakan. Mengingat tak semua "duli" di hadapan kuasa mampu dan mau menyuap, pertanyaannya lalu birokrasi tersebut ramah dan manusiawi kepada siapa? Sebagai misal, seperti banyak keluhan pada pengurusan KTP dan SIM, kiranya juga segala jenis perizinan di negeri ini, birokrasi justru menjadi ekstra jelimet, bertele-tele, dan menyulitkan bagi mereka yang tak bersedia menyuap atau melalui jalur khusus. Korupsi dengan demikian justru mengakibatkan- atau sekurangnya melestarikan- relasi kuasa yang tidak sehat karena membuka peluang disparitas perlakuan; menciptakan ketidaksetaraan. Bahkan, bisa menciptakan relasi kuasa "duli di hadapan tuanku" karena aturan main legal lalu disingkirkan aturan main baru yang lebih situasional, semau sang pemangku wewenang. Dalam hal ini, kiranya masuk akal kalau ditandaskan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi hanya bisa diterima jika menyangkut jabatan atau instansi yang lebih dahulu harus dikondisikan terbuka bagi segenap pihak dengan kesetaraan kesempatan yang adil. Seperti Prinsip Perbedaan (The Difference Principle) Rawls, kalaupun terjadi disparitas perlakuan, hanya dan baru adil jika justru menguntungkan mereka yang tercecer (John Rawls: 2000). Sebuah prinsip yang mendasari model kebijakan yang kita kenal sebagai affirmative action. Jelaslah, tindak KKN tidak pernah menguntungkan mereka yang tercecer, baik dalam arti nirkuasa maupun nirharta. Bahkan, sebaliknya justru menguntungkan mereka yang kuasa dan kaya karena lebih mampu menyuap atau memiliki akses pada jejaring kuasa. Dalam pengertian inilah, kalaupun korupsi lebih dianggap sebagai ekses sebuah wujud kegiatan politik yang memang disadari penuh kotoran- karena nangkring di atas ranah sosial-politik-tetaplah dengan sendirinya kehilangan legitimasi politiknya karena tidak mencerminkan keadilan distributif. Konsekuensi pragmatis tak pernah memadai untuk menjadi legitimasi politik bagi korupsi karena masih tetap menyisakan persoalan disparitas perlakuan. Korupsi bahkan tak pernah mungkin legitimit secara politik karena akan senantiasa bertabrakan dengan prinsip-prinsip keadilan distributif. Budaya korupsi Angan-angan untuk mengubah korupsi menjadi produktif dengan mendorong para koruptor untuk berprestasi memajukan bangsa dan negara kiranya setara dengan mengimbau para teroris untuk mengubah jalan jihadnya ke jalur politik perwakilan. Sebuah delusi yang barangkali datang dari keputusasaan. Banyak pakar yang tidak sepakat kalau korupsi disebut sebagai budaya. Akan tetapi, seperti halnya kemiskinan dianggap semacam budaya oleh Oscar Lewis karena mempunyai semacam tatanan nilai yang ikut melakukan determinasi terhadap perilaku para penyandangnya, kiranya demikian pulalah korupsi. Internalisasi nilai-nilai kemiskinan mengakibatkan semacam gerak kausal saling pengaruh sirkular antara nilai-nilai kemiskinan dengan para penyandangnya. Pengidap budaya kemiskinan seakan "menerima" kemiskinan sedemikian rupa sehingga "betah" di dalamnya, atau setidaknya menganggapnya sebagai kewajaran. Mereka lalu jadi cenderung miskin daya juang untuk keluar sehingga membuat kemiskinan bak tak berujung (AB Ala, ed.: 1980). Seperti digambarkan banyak kisah korupsi yang terbongkar di negeri ini, kecenderungan semacam ini juga terjadi. Sebuah tindak korupsi mendorong, bahkan memaksa, terjadinya tindak korupsi selanjutnya, baik atas nama ketamakan maupun keterpaksaan untuk menutupi tindak sebelumnya serta mempertahankan diri dalam jejaring kuasa tersebut. Sebuah tindak korupsi juga menghadirkan budaya korupsi-misal peningkatan pola konsumtif yang mendorong perilaku lanjut korupsi-maupun virus korupsi yang merangsang tindak korupsi lain di sekitar pengidapnya. Kita tentu ingat betapa para tersangka korupsi KPU sedang membangun rumah mewah, dan betapa korupsi di KPU menularkan rangkaian korupsi di BPK, Departemen Keuangan, dan bahkan DPR. Telah lama para pakar menggambarkan bagaimana kapital mempunyai logika preservasi-akumulasi tertutup yang sama untuk lebih terus merawat dan mengakumulasi dirinya sendiri belaka (Karl Marx {1844}: 1961). Dalam hal ini, kiranya korupsi merupakan penyakit yang lebih buruk karena memiliki logika secorak tapi tak mewarisi budaya entrepreneur serupa. Dalam logika preservasi-akumulasi tertutup semacam ini, seorang koruptor sejati kiranya sibuk mengurusi kepentingan dirinya sendiri belaka sehingga sukar dibayangkan akan berpikir untuk kemajuan dan kesejahteraan orang banyak. Jadi bukan saja konsekuensi pragmatis tak pernah memadai untuk menjadi legitimasi politik bagi korupsi, melainkan juga korupsi sulit dibayangkan bisa mempunyai konsekuensi pragmatis yang positif bagi kesejahteraan orang banyak sehingga layak untuk dipertimbangkan sebagai legitimasi politiknya. Semoga para koruptor kita bukan koruptor yang sejati. BUDIARTO DANUJAYA Pemerhati Sosial; Mengajar di Jurusan Filsafat FIB-UI [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Fair play? Video games influencing politics. Click and talk back! http://us.click.yahoo.com/u8TY5A/tzNLAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/