http://www.sinarharapan.co.id/berita/0512/20/opi02.html

Berita Kelaparan dari Yahukimo 
Oleh
Mochtar W Oetomo

Berita tentang kelaparan di Yahukimo, Papua, menjadi kontroversi. Sama halnya 
dengan berita tentang gaji Wapres yang dilansir media beberapa waktu lalu. 
Berita kelaparan inipun mendapat reaksi keras karena persoalan keakuratan data. 
Wapres Jusuf Kalla marah-marah kepada pers, karena apa yang diberitakan media 
tentang besar gajinya tidak di dasarkan pada data akurat sehingga berita 
tersebut keliru semua dan cenderung menyesatkan.

 
Sama persis dengan marahnya beberapa pejabat teras terhadap pemberitaan jumlah 
warga yang meninggal karena kelaparan di Yahukimo. Beberapa menteri mengatakan 
pers cenderung membesar-besarkan kabar dari Papua tersebut. Kembali fungsi 
kontrol pers dipertanyakan.


Jika pers selalu menyebut angka 55 (terakhir menjadi 80, SH, 17 Desember) 
korban mreninggal karena kelaparan, Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah 
Supari dan Menko Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakri membantah jika ke- 55 
penduduk yang meninggal itu karena kelaparan. Berdasar data yang lebih akurat, 
kata kedua menteri tersebut, bencana itu tidak benar karena kelaparan, tetapi 
karena faktor lainnya, seperti penyakit, usia tua dan stres karena gagal panen.


Faktanya, melalui media publik menyaksikan bagaimana kondisi alam dan kehidupan 
rakyat di Yahukimo. Bisa dilihat kondisi fisik mereka yang kurus, terlihat 
jelas tonjolan tulang-tulangnya. Kita juga bisa menyaksikan bagaimana tanaman 
ubi jalar yang dicabut warga tidak berisi, bahkan akarnya membusuk karena 
sedang musim penghujan. Jadi, apa gunanya dibantah. 

Buang Badan 
Sungguh sangat disayangkan kalau Menkes yang tidak berani datang ke Yahukimo 
mati-matian membantah bencana kelaparan tersebut. Ada apa dengan Menkes? 
Sedangkan Menko Kesra hanya menyaksikan satu-dua lokasi dari puluhan lokasi 
yang dilanda bencana kelaparan. Kesimpulan Aburizal Bakri, yang terjadi di 
Yahukimo baru ancaman kelaparan atau gejala awal saja, bukan bencana kelaparan, 
tampaknya juga tidak kuat. 


Sebagai Menkes dan Menko Kesra, juga menteri dan apatur pemerintahan lainnya, 
harusnya mengerti tugas dan tanggung jawabnya. Tidak etis menteri "buang badan" 
dalam masalah rakyatnya. 
Sebenarnya, bencana kelaparan tidak hanya melanda daerah-daerah terisolir di 
Papua. Bencana yang sama juga melanda beberapa daerah lainnya di Indonesia. 
Munculnya penyakit busung lapar, kekurangan gizi dan lain lain merupakan bukti 
pemerintah kurang memperhatikan rakyatnya. Bahkan di daerah perkotaan sudah 
banyak warga yang tidak mampu lagi makan nasi secara normal, sehingga 
menggantinya dengan ubi, jagung dll.

Sungguh memprihatinkan dan merupakan citra buruk bagi pemerintah kalau sampai 
bencana kelaparan terjadi melanda Indonesia yang dikenal subur tanahnya. 
Betul-betul di luar dugaan kalau faktanya seperti di Papua karena sebelumnya 
kita hanya menyaksikan "tengkorak hidup" di Ethopia, Kenya, dan negara-negara 
miskin di Afrika lainnya. Sekarang pemandangan mengenaskan itu sudah dialami 
sebagian rakyat Indonesia. 


Apalagi belakangan ini sejumlah wabah penyakit menyerang negara kita, seperti 
polio, demam berdarah, flu burung, antraks, cikungunya dll. Semuanya itu 
merupakan tantangan buat pemerintah untuk cepat tanggap guna menyelamatkan 
masyarakat dari serangan penyakit berbahaya. 



Daerah Terpencil 
Meskipun bencana-bencana itu umumnya terjadi di daerah terpencil, bukan berarti 
pemerintah bisa acuh atas bencana yang terjadi di berbagai daerah saat ini. 
Pemerintah harus tanggap dan cepat turun tangan, memberi bantuan kepada para 
korban dan mengupayakan solusi secepatnya sehingga jumlah korban tidak semakin 
banyak. 


Tidak sepatutnya pemerintah dalam hal ini Menkes dan Menko Kesra membantah 
fakta yang terjadi di Yahukimo. Kalaupun tidak seluruhnya korban di Yahukimo 
meninggal karena kelaparan, namun informasinya merupakan peringatan buat 
pemerintah. Ini pelajaran berharga buat pemerintah dan jajarannya mulai 
gubernur, bupati, wali kota, camat hingga lurah. 


Bukan malah marah-marah karena dikritik media massa. Sangat disayangkan kalau 
liputan sosial kontrol dari pers dianggap mengada-ada, bahkan dinilai 
mempermalukan citra pemerintah. Apalagi kalau wartawannya menjadi korban 
penganiayaan. 


Sangat naif dan harus dikecam bila ada pihak-pihak yang melakukan tindakan 
semena-mena terhadap wartawan di lapangan. Wartawan tidak akan memberitakan 
bencana kelaparan jika informasinya tidak benar. Untuk itulah wartawan yang 
diawasi kode etik jurnalistik wajib terjun ke lapangan dan melakukan konfirmasi 
sebelum memberitakan.

Kita patut curiga dengan sikap Menkes dan Menko Kesra yang membantah bencana 
kelaparan di Yahukimo. Itu pola Orde Baru untuk memuaskan atasan, menindas 
rakyat. Sudah bukan masanya memberikan laporan "ABS" kepada pimpinan di era 
keterbukaan saat ini. 

Penulis adalah Staf Pengajar Fikom Unitomo Surabaya


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Know an art & music fan? Make a donation in their honor this holiday season!
http://us.click.yahoo.com/.6dcNC/.VHMAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to