Refleksi: Sebagai "Master of Ceremony" tak perlu ada kemauan politik [political 
will] dan tindakan politik  [political action]. Si Cebol pun bisa menjadi 
master of ceremony,  karena pekerjaaannya  hanya tampil sana sini sebagai figur 
bermuka bunglon yang menghembuskan sepatah dua kata sesuai protokol penghibur 
penonton. Jadi  berbeda dengan   seorangn jenderal utama yang memiliki 
determinasi dan seni keharusan  untuk keluar dari medan peperangan sebagai 
pemenang yang mendiktekan kapitulasi tanpa syarat kepada pihak lawan. 

Banyak orang bisa berpangkat jenderal, tetapi jarang ada jenderal yang beridiri 
digaris depan  sebagai pembela aspirasi kepentingan rakyat tertindas nan miskin 
melarat.


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=130885

             ANALISIS POLITIK
            Menuntut Keberanian Seorang Pemimpin
            Oleh Sudjati Djiwandono
            Pengamat Politik Nasional 


            Senin, 26 Desember 2005
            Sulit mengharapkan adanya perbaikan-perbaikan signifikan memasuki 
tahun 2006 selama gaya kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 
tetap lemah. Pada dasarnya leadership yang lemah akan berpengaruh kepada 
efektivitas kinerja pemerintahan. Ini akan berdampak pada hasil yang akan 
dicapai dalam mengatasi berbagai permasalahan bangsa yang semakin kompleks di 
masa-masa mendatang. 

            Gaya kepemimpinan SBY yang lemah bisa dilihat dari langkah dan 
sikapnya ketika menghadapi berita-berita miring tentang sejumlah anggota 
kabinetnya yang mendapat sorotan masyarakat. Presiden SBY terkesan diam, tidak 
bereaksi, apalagi mau menindaklanjuti laporan yang muncul. Kemudian juga bisa 
dilihat dari hasil reshuffle kabinet yang dilakukannya. Selain pelaksanaannya 
terkesan lambat, hasilnya menunjukkan sikapnya yang setengah hati dan 
ragu-ragu. Fokus reshuffle hanya tertuju pada tim ekonomi, padahal sebenarnya 
ada beberapa menteri yang tidak sesuai prinsip the right man in the right 
place, dan mendesak perlu dilakukan pergantian. Belum lagi, kalau melihat 
kinerja sejumlah menteri yang seharusnya pantas diganti namun ternyata tidak 
diganti. 

            Presiden Republik Indonesia memiliki kekuasaan yang besar. Sebagai 
pemimpin hasil pilihan rakyat lewat pemilu langsung yang demokratis, Presiden 
RI juga memiliki legitimasi yang kuat. Sayang, kekuasaan yang besar tidak 
diimbangi dengan keberanian untuk melakukan langkah-langkah atau 
gebrakan-gebrakan yang signifikan. Kekuasaan yang besar tidak akan berarti 
apa-apa bila tidak digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan dan 
langkah-langkah jeli ke arah perbaikan yang sangat diharap-harapkan. 

            Hasil reshuffle kabinet terbatas tetap menunjukkan betapa kuatnya 
dominasi partai ikut mengendalikan pemerintahan SBY-Kalla (Susilo Bambang 
Yudhoyono - Jusuf Kalla). Kabinet Indonesia Bersatu masih terkesan sarat dengan 
nuansa bersatunya partai, bukan terbentuk atas pertimbangan profesionalisme. 
Kabinet profesional mengacu pada susunan anggota kabinet sesuai latar belakang 
dan bidang yang digelutinya. Sementara masih ada di antara anggota KIB tidak 
sesuai spesialisasi bidang-bidang pekerjaan yang ditanganinya. Akibatnya, 
kinerja menteri-menteri tersebut menjadi kurang fokus, tidak mampu menyentuh 
akar permasalahan yang ada. 

            Satu hal yang cukup menyolok mengapa kinerja pemerintahan SBY tidak 
efektif, terletak pada dualisme kepemimpinan yang masih kental. Dalam politik, 
adanya penyangkalan di media massa bahwa "tidak ada dualisme", hal itu justru 
membenarkan "telah ada dualisme". Kalau memang tidak ada dualisme dalam 
pemerintahan, tuduhan-tuduhan negatif macam itu, tak perlu ditanggapi. 

            Sistem pemerintahan yang berlaku sejak era reformasi memang 
terkesan amburadul. Mekanisme kontrol terkesan tidak efektif. Citra DPR 
merosot, khususnya terkait dengan kinerja anggota dewan, tuntutan kenaikan 
gaji, perilaku sejumlah anggota bersikeras "melancong" ke luar negeri, dan 
lain-lain, yang mengesankan hanya mengutamakan keuntungan pribadi atau 
kelompok, tanpa memperhatikan nasib rakkyat. Sistem check and balances tak 
berjalan dengan baik. Yang terkesan, masing-masing berjalan sendiri-sendiri 
demi keuntungan sisi materi semata. 

            Masalah penegakan hukum (law enforcement) juga terkesan masih 
lemah. Sejumlah kasus korupsi memang telah ditangani KPK (Komisi Pemberantasan 
Korupsi) dengan kemajuan cukup berati, namun banyak kasus lainnya tidak jelas 
follow up-nya. Vonis hukuman kasus-kasus penyelundupan, malah kontroversial. 
Hukuman yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukan 
tersangka. Malah sejumlah vonis hukuman yang sudah final pun tampaknya sengaja 
diambangkan, tidak ditindaklanjuti lebih jauh. Di lain pihak, praktik korupsi 
pun telah merambah ke tiga lini kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif, 
baik di pusat maupun di daerah. 

            Terkait dengan masalah penegakan HAM (hak asasi manusia), boleh 
dikatakan, tidak ada kemajuan berarti. Sejauh ini kasus pelanggaran HAM 
langsung memang relatif tidak ada. Namun, kasus-kasus pembiaran pelanggaran HAM 
tetap berlangsung. Sebut saja, kasus perusakan-perusakan rumah ibadah, dan 
lain-lain terkesan masih dibiarkan. Padahal pembiaran pelanggaran HAM 
sebenarnya sama buruknya dengan pelanggaran HAM itu sendiri. 

            Fenomena menarik terjadi belakangan ini manakala banyak di antara 
elite politik justru lebih suka membicarakan masalah gaji para pejabat negara. 
Yang mencuat di media massa, bagaimana para pejabat berlomba-lomba 
memerjuangkan kenaikan gaji mereka, baik di tataran eksekutif, legislatif 
maupun yudikatif. Sebaliknya, mereka justru lupa memikirkan rakyat miskin yang 
nasibnya kian terpuruk. Yang terkesan, kalangan elite justru lebih memanjakan 
kalangan atas, dan tidak peduli pada kalangan bawah. Yang sudah mapan terus 
diperhatikan, sementara yang miskin kurang mendapatkan sentuhan hingga semakin 
menderita. 

            Padahal permasalahan krusial bangsa ini terutama adalah kemiskinan 
menyusul fenomena PHK (pemutusan hubungan kerja) yang terus mencuat ke 
permukaan. Kondisi PHK massal diperkirakan akan terjadi sepanjang tahun 2006 
klau kondisi ekonomi tak kunjung membaik. Padahal kalau masalah PHK tidak dapat 
diatasi dengan baik maka dapat dipastikan jumlah pengangguran akan terus 
membengkak, yang berarti akan menambah jumlah angka kemiskinan di Tanah Air. 

            Kemiskinan adalah dimensi ketidakadilan. Kalau perhatian para elite 
dan pejabat negara hanya bertumpu pada kalangan atas, dan lupa memperhatikan 
kalangan bawah, kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin, akan 
semakin tajam. Ini berpotensi menimbulkan gejolak soasial yang cukup serius di 
tahun 2006.***  
     
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Know an art & music fan? Make a donation in their honor this holiday season!
http://us.click.yahoo.com/.6dcNC/.VHMAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke