SUARA KARYA Politik Selera Rendah, Berlanjut? Oleh Mochtar W Oetomo
Senin, 26 Desember 2005 Jika kita selami seluruh kenyataan politik di orbit politik Indonesia, sesungguhnya kita akan sulit menemukan sebuah logika, proses, realitas dan laku politik yang rasional dan komunikatif. Apa yang lebih banyak kita temukan adalah fenomena-fenomena kitsch politik. Kitsch dalam terminologi post-modernisme menyiratkan sebuah karya (dan) seni yang murahan, miskin orisinalitas, keotentikan dan kreativitas. Kitsch politik dengan demikian adalah sebuah karya (atau) seni politik selera rendah, sebuah tontonan politik murahan, miskin kreativitas dan hampa daya intelektualitas. Apakah fenomena kitsch politik juga akan mewarnai perpolitikan nasional 2006? Drama pemberantasan korupsi melalui eksplorasi berbagai kasus korupsi di berbagai daerah yang melibatkan gubernur, bupati, walikota atau anggota DPRD, mencerminkan sebuah laku politik murahan dan tidak orisinal. Seluruh kekuatan politik seolah bergerak membombardir pelaku korupsi di berbagai daerah dengan tanpa menyentuh sedikit pun pelaku-pelaku korupsi kelas kakap di ibu kota negara. Meski telah begitu banyak bukti dibentangkan, tidak satu pun kekuatan politik berusaha fokus atau bahkan sekedar menyentilnya. Kecuali untuk kasus Probosutedjo, yang justru dimulai oleh keterusterangan Probo sendiri. Upaya penambahan pendapatan negara dan penyaluran bantuan kepada rakyat miskin dengan menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak), mencerminkan sebuah laku politik yang miskin kriativitas, temporer dan tidak menambah kredit point bagi konstruktivitas perkembangan ekonomi makro di kemudian hari. Dengan menaikkan harga BBM tanpa mekanisme transparan dalam distribusi subsidi adalah sebuah kebijakan jalan pintas. Peluncuran kebijakan seperti itu pernah dilakukan pemimpin-pemimpin sebelumnya, tidak pernah membawa hasil yang secara nyata bisa dilihat dan dirasakan oleh rakyat. Ini merupakan duplikasi kebijakan ala masa lalu, yang menunjukkan tidak adanya intelegensia bagi upaya penyelesaian krisis ekonomi yang kian hari kian membelit pikiran, emosi, jiwa dan tubuh rakyat. Duplikasi adalah salah satu karakter utama dari kitsch. Dengan menaikkan harga BBM, diharapkan kemudahan penggalian dana pun akan terjadi seperti masa lalu. Sebuah kebijakan yang miskin kreativitas, tanpa memperhitungkan efek yang sama yang mungkin terjadi. Yang paling dramatik adalah kebijakan tentang penanganan ratusan ribu warga negara di Malaysia (TKI) yang terpedaya dan teraniaya serta kebijakan tentang perlindungan kawasan Celah Timor (dan sebelumnya Ambalat) yang secara sepihak dieksplorasi oleh Australia. Semua dilakukan tanpa alternatif-alternatif dan prediksi yang rasional, tanpa jiwa dan keteguhan sikap sebagai pelindung rakyat dan warga negara. Ini khususnya terkait dengan lemahnya sikap dalam kasus Papua, Celah Timor dan Ambalat). Dari semua ilustrasi di atas menunjukkan, hampir setiap kebijakan penting yang diambil bukannya menyelesaiakan masalah, sebaliknya malah menambah masalah dengan problem-problem baru tentang keadilan, hukum, orang yang kehilangan rumah dan mata pencaharian dan ancaman kehilangan sebuah wilayah. Sebuah kebijakan yang tidak didasari oleh sebuah argumen, prediksi dan alternatif adalah sebuah kebijakan kitsch, kebijakan murahan, yang siapa pun bisa melakukannya. Sebuah upaya penyelesaian masalah dengan menambah masalah adalah sebuah kitsch, sebuah laku politik yang masygul dan buta. Apakah politik macam ini masih akan berlangsung sepanjang 2006? Seperti ungkapan Gillo Dorfles, kitsch politik adalah sebuah politik yang kaya intensitas, tetapi miskin kreativitas, yang sarat eksekusi namun miskin jawaban, yang penuh keteguhan, ketegaan dan ketegasan namun hampa kearifan, yang penuh gebyar popularitas namun dangkal spiritualitas. Intensitas itu tinggal menjadi simulasi politik, berhamburan namun tak satu pun berkaitan dengan realitas publik. Sebuah kebijakan penuh keteguhan dan ketegasan, seperti kebijakan kenaikan harga BBM, namun miskin jawaban dan tidak ada kearifan terhadap problem susulan yang muncul, dan pertanyaan tentang kemungkinan penyelewengan dana subsidi. Penuh gebyar popularitas karena skala persoalan (seperti kasus Azahari dan Probosutedjo) namun miskin spiritualitas, semangat konstruktivisme, keadilan, kesetaraan hukum, kebersamaan dan kedamaian. Penuh kegagahan karena perfomance, seperti aksi patroli kapal dan pesawat tempur di kawasan Celah Timor dan Ambalat, tetapi miskin jiwa dan kecerdasan. Kitsch politik adalah sebuah bentuk politik komunikasi, yang menurut Umberto Eco bertujuan untuk menghasilkan "efek segera". Segera tampak ada program (baca: pemberantasan KKN), segera ada putusan, segera mendapatkan uang (baca: kenaikan harga BBM), segera tampak peduli (baca: Aceh, kasus Azahari, Reshuffle, Probosutedjo). Karena 'efek segera' ini amat diperlukan dalam peradaban dan kebudayaan massa seperti sekarang ini. Kitsch politik tidak terlalu memandang penting logika dan rasionalisme politik, karena yang penting adalah gebyar dan popularitas politik. Apa yang utama bukan diskursus, akan tetapi figurasi dan tontonan. Dan, apa yang harus bukanlah penyelesaian atau alternatif, melainkan tindakan. Bukan pula kebenaran dan jawaban akan tetapi konsumsi dan dukungan. Bukan kedalaman akan tetapi keartifisialan kehadiran. Untuk itu sebuh kitcsh politik memerlukan sebuah kekuatan lain di luar dirinya. Eksistensi kitsch politik yang bergantung pada keberadaan objek, konsep atau kriteria bersifat eksternal. Politik tinggi (kasus, Azahari dan Probosutedjo), objek sehari-hari (kenaikan harga BBM), tokoh (Azahari, Munir, Abdullah Puteh) dan yang lebih penting dari semua itu adalah media massa. Karena, kitsch memerlukan kekuatan eksposur dan representasi dan kekuatan citra media untuk menghadirkan sebuah objek politik ke hadapan khalayak, memberinya gaya, menghadirkan efek segera, gebyar dan popularitas. Kitsch politik memang menyegarkan, namun sesungguhnya tidak mencerdaskan. Memang indah, seperti keindahan terhukumnya banyak koruptor di daerah, namun tidak berisi. Megah, seperti sigapnya pasukan Polri dalam menggerebek dan menewaskan Dr Azahari, dan enak ditonton (seperti penangkapan-penangkapan anggota jaringan Azahari-Noordin M Top) di berbagai kota yang berlaku setiap hari, namun tidak memiliki spirit dan kearifan. Dramatis dan variatif, namun dangkal, dungu dan tidak bermakna apa-apa. Meriah, seperti meriahnya berbagai peristiwa dan berita dramatik yang kita nikmati akhir-akhir ini dalam lautan informasi dan jagad media, namun tidak berkaitan apa-apa dengan realitas dan kepentingan publik. Kitsch politik, seperti ujar Baudrillard, hanyalah akan memusnahkan tradisi diskursi publik. Musnahnya tradisi diskursi hanya akan menyuburkan masyarakat mengambang (floating mass). Floating mass hanya melahirkan silent majorities, masyarakat yang diam. Dan, akhir atau puncak dari silent majorities adalah explosion majorities, mayoritas yang eksplosif, mayoritas yang meledak. Peristiwa Mei 1998 hanyalah salah satu contoh.*** Penulis staf pengajar Fikom Unitomo Surabaya, Direktur Eksekutif Cultural and Communication Partner Consulting, Malang. Oleh Mochtar W Oetomo Senin, 26 Desember 2005 Jika kita selami seluruh kenyataan politik di orbit politik Indonesia, sesungguhnya kita akan sulit menemukan sebuah logika, proses, realitas dan laku politik yang rasional dan komunikatif. Apa yang lebih banyak kita temukan adalah fenomena-fenomena kitsch politik. Kitsch dalam terminologi post-modernisme menyiratkan sebuah karya (dan) seni yang murahan, miskin orisinalitas, keotentikan dan kreativitas. Kitsch politik dengan demikian adalah sebuah karya (atau) seni politik selera rendah, sebuah tontonan politik murahan, miskin kreativitas dan hampa daya intelektualitas. Apakah fenomena kitsch politik juga akan mewarnai perpolitikan nasional 2006? Drama pemberantasan korupsi melalui eksplorasi berbagai kasus korupsi di berbagai daerah yang melibatkan gubernur, bupati, walikota atau anggota DPRD, mencerminkan sebuah laku politik murahan dan tidak orisinal. Seluruh kekuatan politik seolah bergerak membombardir pelaku korupsi di berbagai daerah dengan tanpa menyentuh sedikit pun pelaku-pelaku korupsi kelas kakap di ibu kota negara. Meski telah begitu banyak bukti dibentangkan, tidak satu pun kekuatan politik berusaha fokus atau bahkan sekedar menyentilnya. Kecuali untuk kasus Probosutedjo, yang justru dimulai oleh keterusterangan Probo sendiri. Upaya penambahan pendapatan negara dan penyaluran bantuan kepada rakyat miskin dengan menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak), mencerminkan sebuah laku politik yang miskin kriativitas, temporer dan tidak menambah kredit point bagi konstruktivitas perkembangan ekonomi makro di kemudian hari. Dengan menaikkan harga BBM tanpa mekanisme transparan dalam distribusi subsidi adalah sebuah kebijakan jalan pintas. Peluncuran kebijakan seperti itu pernah dilakukan pemimpin-pemimpin sebelumnya, tidak pernah membawa hasil yang secara nyata bisa dilihat dan dirasakan oleh rakyat. Ini merupakan duplikasi kebijakan ala masa lalu, yang menunjukkan tidak adanya intelegensia bagi upaya penyelesaian krisis ekonomi yang kian hari kian membelit pikiran, emosi, jiwa dan tubuh rakyat. Duplikasi adalah salah satu karakter utama dari kitsch. Dengan menaikkan harga BBM, diharapkan kemudahan penggalian dana pun akan terjadi seperti masa lalu. Sebuah kebijakan yang miskin kreativitas, tanpa memperhitungkan efek yang sama yang mungkin terjadi. Yang paling dramatik adalah kebijakan tentang penanganan ratusan ribu warga negara di Malaysia (TKI) yang terpedaya dan teraniaya serta kebijakan tentang perlindungan kawasan Celah Timor (dan sebelumnya Ambalat) yang secara sepihak dieksplorasi oleh Australia. Semua dilakukan tanpa alternatif-alternatif dan prediksi yang rasional, tanpa jiwa dan keteguhan sikap sebagai pelindung rakyat dan warga negara. Ini khususnya terkait dengan lemahnya sikap dalam kasus Papua, Celah Timor dan Ambalat). Dari semua ilustrasi di atas menunjukkan, hampir setiap kebijakan penting yang diambil bukannya menyelesaiakan masalah, sebaliknya malah menambah masalah dengan problem-problem baru tentang keadilan, hukum, orang yang kehilangan rumah dan mata pencaharian dan ancaman kehilangan sebuah wilayah. Sebuah kebijakan yang tidak didasari oleh sebuah argumen, prediksi dan alternatif adalah sebuah kebijakan kitsch, kebijakan murahan, yang siapa pun bisa melakukannya. Sebuah upaya penyelesaian masalah dengan menambah masalah adalah sebuah kitsch, sebuah laku politik yang masygul dan buta. Apakah politik macam ini masih akan berlangsung sepanjang 2006? Seperti ungkapan Gillo Dorfles, kitsch politik adalah sebuah politik yang kaya intensitas, tetapi miskin kreativitas, yang sarat eksekusi namun miskin jawaban, yang penuh keteguhan, ketegaan dan ketegasan namun hampa kearifan, yang penuh gebyar popularitas namun dangkal spiritualitas. Intensitas itu tinggal menjadi simulasi politik, berhamburan namun tak satu pun berkaitan dengan realitas publik. Sebuah kebijakan penuh keteguhan dan ketegasan, seperti kebijakan kenaikan harga BBM, namun miskin jawaban dan tidak ada kearifan terhadap problem susulan yang muncul, dan pertanyaan tentang kemungkinan penyelewengan dana subsidi. Penuh gebyar popularitas karena skala persoalan (seperti kasus Azahari dan Probosutedjo) namun miskin spiritualitas, semangat konstruktivisme, keadilan, kesetaraan hukum, kebersamaan dan kedamaian. Penuh kegagahan karena perfomance, seperti aksi patroli kapal dan pesawat tempur di kawasan Celah Timor dan Ambalat, tetapi miskin jiwa dan kecerdasan. Kitsch politik adalah sebuah bentuk politik komunikasi, yang menurut Umberto Eco bertujuan untuk menghasilkan "efek segera". Segera tampak ada program (baca: pemberantasan KKN), segera ada putusan, segera mendapatkan uang (baca: kenaikan harga BBM), segera tampak peduli (baca: Aceh, kasus Azahari, Reshuffle, Probosutedjo). Karena 'efek segera' ini amat diperlukan dalam peradaban dan kebudayaan massa seperti sekarang ini. Kitsch politik tidak terlalu memandang penting logika dan rasionalisme politik, karena yang penting adalah gebyar dan popularitas politik. Apa yang utama bukan diskursus, akan tetapi figurasi dan tontonan. Dan, apa yang harus bukanlah penyelesaian atau alternatif, melainkan tindakan. Bukan pula kebenaran dan jawaban akan tetapi konsumsi dan dukungan. Bukan kedalaman akan tetapi keartifisialan kehadiran. Untuk itu sebuh kitcsh politik memerlukan sebuah kekuatan lain di luar dirinya. Eksistensi kitsch politik yang bergantung pada keberadaan objek, konsep atau kriteria bersifat eksternal. Politik tinggi (kasus, Azahari dan Probosutedjo), objek sehari-hari (kenaikan harga BBM), tokoh (Azahari, Munir, Abdullah Puteh) dan yang lebih penting dari semua itu adalah media massa. Karena, kitsch memerlukan kekuatan eksposur dan representasi dan kekuatan citra media untuk menghadirkan sebuah objek politik ke hadapan khalayak, memberinya gaya, menghadirkan efek segera, gebyar dan popularitas. Kitsch politik memang menyegarkan, namun sesungguhnya tidak mencerdaskan. Memang indah, seperti keindahan terhukumnya banyak koruptor di daerah, namun tidak berisi. Megah, seperti sigapnya pasukan Polri dalam menggerebek dan menewaskan Dr Azahari, dan enak ditonton (seperti penangkapan-penangkapan anggota jaringan Azahari-Noordin M Top) di berbagai kota yang berlaku setiap hari, namun tidak memiliki spirit dan kearifan. Dramatis dan variatif, namun dangkal, dungu dan tidak bermakna apa-apa. Meriah, seperti meriahnya berbagai peristiwa dan berita dramatik yang kita nikmati akhir-akhir ini dalam lautan informasi dan jagad media, namun tidak berkaitan apa-apa dengan realitas dan kepentingan publik. Kitsch politik, seperti ujar Baudrillard, hanyalah akan memusnahkan tradisi diskursi publik. Musnahnya tradisi diskursi hanya akan menyuburkan masyarakat mengambang (floating mass). Floating mass hanya melahirkan silent majorities, masyarakat yang diam. Dan, akhir atau puncak dari silent majorities adalah explosion majorities, mayoritas yang eksplosif, mayoritas yang meledak. Peristiwa Mei 1998 hanyalah salah satu contoh.*** Penulis staf pengajar Fikom Unitomo Surabaya, Direktur Eksekutif Cultural and Communication Partner Consulting, Malang. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Know an art & music fan? Make a donation in their honor this holiday season! http://us.click.yahoo.com/.6dcNC/.VHMAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/