http://www.kompas.com/kompas-cetak/0512/27/opini/2303256.htm
Wajah Narcistis Pemerintahan Kita Sri Palupi Apabila pemerintah bisa diidentikkan dengan person, respons para pejabat terhadap berbagai tragedi kemanusiaan menunjukkan, pemerintahan negeri ini kian menegaskan identitasnya sebagai pribadi berwajah narcistis. Pribadi narcistis memandang tubuh sendiri sebagai cermin dan sumber identitas. Kaget dan bingung adalah dua kata yang kian akrab di telinga rakyat sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla berkuasa. Masyarakat kaget dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang keterlaluan. Masyarakat bingung mendengar presiden kaget dengan kenaikan anggaran kepresidenan, padahal kenaikan itu sudah dibahas dalam rapat kabinet. Masyarakat kaget dengan keputusan pemerintah menaikkan tunjangan DPR di saat rakyat dipaksa berkorban. Masyarakat kaget ketika Gubernur DKI Sutiyoso menghias kota dengan patung, sementara rakyatnya bingung bagaimana hidup bisa disambung. Di berbagai daerah, masyarakat dibuat tidak mengerti dengan merebaknya busung lapar di tengah kemewahan elite politik yang busung uang. Malah ada belasan wakil rakyat yang pelesir ke Mesir atas nama studi banding. Pendek kata, masyarakat kaget dan bingung dengan beragam kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang tak berorientasi kepada mayoritas rakyat. Menolak realitas Bukan hanya kebijakan pemerintah yang bikin kaget, tapi juga sikap pejabat dalam merespons kritik dan ketersingkapan berbagai skandal yang dinilai tak masuk akal. Kasus busung lapar di berbagai provinsi yang menewaskan puluhan anak-anak pun dinilai hanya sebagai kecelakaan atau kejadian luar biasa. Padahal, assessment terhadap kasus busung lapar yang dilakukan Jaringan Solidaritas Penanggulangan Busung Lapar di NTT menunjukkan, busung lapar adalah realitas keseharian masyarakat miskin, khususnya masyarakat miskin di NTT. Hingga kini kematian akibat busung lapar di NTT masih terus berlangsung, sementara pemerintah sudah menganggapnya selesai. Kini, tragedi kelaparan di Yakuhimo yang menewaskan 80-an warga, dinilai Menko Kesra Aburizal Bakrie, hanya sebagai gejala awal kelaparan dan bukan tragedi kelaparan besar-besaran. Menteri Kesehatan Siti Fadilah menilai, kelaparan itu bukan kelaparan hebat karena korban yang tewas kebanyakan orang dewasa dan bukan anak-anak. Kalau kelaparan itu wabah hebat, menurut dia, korbannya kebanyakan adalah anak-anak. Jika demikian, mengapa kasus busung lapar yang menimpa anak-anak di berbagai provinsi hanya disebut kejadian luar biasa dan bukan wabah kelaparan hebat? Mengapa pemerintah cenderung menghindar dari tatapan realitas kemiskinan dan kelaparan, bukannya menatap realitas dengan kedalaman agar masalah bisa dituntaskan? Wajah narcistis Modernitas yang dipicu oleh kapitalisme global tidak hanya menghasilkan budaya massa dan masyarakat konsumeris, tetapi juga melahirkan pribadi-pribadi narcistis. Pribadi narcistis membangun identitasnya dengan berorientasi pada tubuh sendiri. Pada tubuh itulah makna diri ditanamkan, sambil berilusi akan keabadian badan. Keterbatasan tubuh diingkari dan diperangi dengan membangun dan menjaga citra diri, lebih menghargai masa depan dan cenderung memutus ikatan dengan yang lampau. Sosok narcistis pada akhirnya tak pernah mampu membangun relasi sosial dengan yang lain. Sosok berwajah narcistis bisa ditemukan bukan hanya pada individu-individu modern, tetapi juga tergores pada wajah pemerintahan kita. Betapa tidak. Pemerintahan negeri ini, di pusat dan daerah, cenderung memandang penting image atau pencitraan diri, alergi terhadap kritik, dan keputusan-keputusannya lebih banyak ditentukan oleh kepentingan parsial orang-orang di tubuh pemerintahan dan partai. Dalam memandang waktu, pemerintah lebih berorientasi pada masa depan. Konsekuensinya, berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi, termasuk pembunuhan Munir, dianggap bagian dari masa lampau dan karenanya tidak relevan untuk dituntaskan. Dalam konteks wajah narcistis pemerintahan, bisa dimengerti jika para pejabat cenderung menolak realitas kemiskinan dan kelaparan. Realitas kemiskinan dan fakta kelaparan mengancam citra diri pemerintah dan tak relevan dengan masa depan. Sebab, masa depan dimaknai hanya sebagai janji untuk memikat suara rakyat tanpa disertai kewajiban untuk memenuhinya. Bisa dipahami, walau sudah merdeka selama 60 tahun, masih banyak wilayah negeri ini yang terisolasi dan warganya mati tanpa diketahui. Bisa dimengerti juga kalau gaji bersih presiden yang sebesar Rp 62.497.800 per bulan itu dinilai Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra masih terlalu kecil. Dianggap rasional kalau Mendagri Moh Maruf menetapkan pungutan Rp 50 per liter minyak tanah meski kenaikan harga BBM sudah keterlaluan. Pemerintah berwajah narcistis hanya berjumpa dengan diri sendiri. Dengan hanya menatap diri sendiri, tak ada lagi referensi eksternal (suara rakyat) yang secara nyata memberikan justifikasi atas realitas persoalan dalam konteksnya. Dengan menyandang wajah narcistis, pemerintah akan selalu miskin empati terhadap yang miskin dan kelaparan sebab wajah seperti itu tak akan mampu merasakan apa artinya miskin dan lapar. Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights, Peserta Program Pascasarjana STF Driyarkara [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Fair play? Video games influencing politics. Click and talk back! http://us.click.yahoo.com/u8TY5A/tzNLAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/