Bahkan, Tibo bukan tersangka pembunuhan untuk kali pertama. Dia pernah dihukum 6 tahun karena kasus pembunuhan dengan korban empat orang. ''Itu termuat dalam putusan PN Palu pada April 2001,'' beber Arman. (agm)
Sabtu, 8 April 2006 Kejagung Siapkan Eksekusi Amrozi dkk Jakarta,- Kejagung, rupanya, tidak ingin dituding tebang pilih dalam mengeksekusi para terpidana mati. Buktinya, di tengah kontroversi pelaksanaan hukuman mati tiga terpidana kerusuhan Poso Fabianus Tibo dkk, Kejagung diam-diam telah memproses persiapan eksekusi tiga terpidana mati bom Bali. Mereka adalah Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron alias Mukhlas. ''Siang ini (kemarin) jaksa dari Kejari Denpasar mengunjungi rumah keluarga para terpidana mati tersebut di Lamongan dan Serang. Mereka perlu berkonsultasi dengan keluarga yang bersangkutan (sebelum pelaksanaan hukuman mati),'' kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh kemarin. Menurut Arman -sapaan Abdul Rahman Saleh-, materi konsultasi adalah minta kepastian para keluarga terpidana apakah mengajukan grasi atau tidak. Itu diperlukan untuk melaksanakan prosedur yang tertuang dalam UU No 22/2002 tentang Grasi. Yaitu, permohonan grasi bisa diajukan keluarga jika terpidana tidak mengajukan. ''Sekali lagi, kita tanya apakah keluarga akan mengajukan grasi atau tidak,'' jelas Arman. Arman mengakui, eksekusi Amrozi dkk selama ini belum bisa dilaksanakan karena mereka tidak mengajukan grasi. Kejaksaan memastikan segera mengeksekusi Amrozi dkk jika keluarga para terpidana menyepakati tidak ada permohonan grasi terkait kasus bom Bali. ''Kita tidak mau ulur-ulur waktu. Kalau semua (permohonan grasi) tidak ada, Imam Samudra dkk akan langsung diproses,'' tegas Arman. Menurut dia, teknis eksekusi akan mengacu UU No 2/Pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati. Secara terpisah, Wirawan Adnan, pengacara Amrozi, mengatakan bahwa sikap kliennya tidak berubah. Amrozi tetap tidak mengajukan grasi dan PK. Keluarganya juga bersikap sama dan menyerahkan sepenuhnya kepada Amrozi. ''Amrozi tidak mengakui bersalah dan tidak minta pengampunan dalam kasus bom Bali. Soal PK, bagaimana saya akan mengajukan karena klien saya memang tidak mau,'' jelas Wirawan yang juga anggota TPM (Tim Pembela Muslim). Apakah sikap ''bertahan'' tersebut merupakan strategi mengulur pelaksanaan eksekusi? Wirawan membantah. Yang pasti, ketidakjelasan prosedur eksekusi terpidana mati dalam sistem hukum di tanah air merupakan blunder bagi penegak hukum. ''Bagaimana mereka bisa membatasinya (waktu eksekusi). Sebab, bisa saja novum (bukti baru) baru ada 30 tahun kemudian,'' tandasnya. Dia tidak menghalangi kejaksaan mengeksekusi kliennya. Namun, tindakan kejaksaan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, mengingat eksekusi baru bisa dilalui usai penolakan grasi. ''Statistiknya seperti itu. Kalau tetap mengeksekusi, itu niatnya sejak dahulu memang ingin membunuh (Amrozi dkk),'' jelasnya. Jaksa agung menegaskan, kejaksaan tidak menggunakan standar berbeda dalam menyikapi eksekusi Amrozi dkk dan Fabianus Tibo cs. Menurut dia, eksekusi Tibo tinggal dilaksanakan, mengingat sudah tidak ada upaya hukum lagi menyusul sikap Presiden SBY yang menolak permohonan grasi terpidana. Namun, sebaliknya, dalam kasus Amrozi dkk, eksekusi belum bisa dilaksanakan karena para terpidana belum mengajukan permohonan grasi. Yang membedakan lagi, jelas dia, eksekusi Tibo cs perlu didahulukan karena proses hukumnya dua tahun lebih awal dibandingkan Amrozi dkk. Putusan Tibo cs dijatuhkan pada 5 April 2001. Amrozi dan Imam Samudra masing-masing diputus MA (Mahkamah Agung) pada 6 Januari 2004 dan 23 Maret 2004. Dan, Ali Ghufron dihukum pada 30 Januari 2004. ''Mereka sama-sama terpidana mati. Kejaksaan tidak mengistimewakan yang lain. Jadi, kalau ada yang menyebut, mengapa Tibo dkk segera dieksekusi, sementara terhadap Imam Samudra dkk tidak, ini sama sekali tidak terkait masalah SARA,'' papar Arman. JAM Pidum Prasetyo mengatakan, kejaksaan hanya menjalankan prosedur perundang-undangan sekaligus putusan hakim terkait eksekusi Tibo. Arman juga mengomentari pernyataan pengacara Tibo cs, Alamsyah Hanafiah, yang menyebutkan bahwa kliennya mengajukan PK setelah menemukan 16 nama tokoh di balik kerusuhan Poso sebagai novum. Menurut dia, penyebutan ke-16 nama tersebut bukan novum. ''Itu bukan novum. Ke-16 nama itu (sudah) ada di putusan PN pada 5 April 2001,'' kata Arman. Di antara 16 nama tersebut memang ada yang masih diproses di kepolisian dan sebagian lagi tidak terlibat. Arman juga membantah adanya sangkaan kejaksaan dan polisi menutupi pelaku sebenarnya. Menurut dia, kejaksaan dan kepolisian melakukan tahap eksekusi karena semua prosedur hukum sudah dilalui. Bahkan, Tibo bukan tersangka pembunuhan untuk kali pertama. Dia pernah dihukum 6 tahun karena kasus pembunuhan dengan korban empat orang. ''Itu termuat dalam putusan PN Palu pada April 2001,'' beber Arman. (agm) --------------------------------- Apakah Anda Yahoo!? Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru! [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/