Date: Tue, 25 Jul 2006 12:53:14 -0700 (PDT) From: Jokoedy Abdurrahman <[EMAIL PROTECTED]> Subject: Prosesi Yuridis Pencopotan Kekuatan Presiden
Prosesi Yuridis Pencopotan Kekuatan Presiden Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman[1] Popularitas RUU Kementerian Negara kian anteng di silent corner. Sebaliknya, mulai menyiratkan kekhawatiran serius: publik tidak begitu care atas isu RUU strategis itu. Saya menggarisbawahi, cukup canggih penyutradaraan RUU ini, sehingga kian hari, ia kian tak populer, kian luput dari koreksi. Dan, jangan kaget, in last minute, baru publik sadar sesuatu telah dilakukan secara keliru ketika sudah terlambat. Padahal, RUU ini merupakan prosesi juridis pencopotan kekuatan barganining position Presiden terhadap Parpol dan pencopotan kekuatan Parpol terhadap menterinya. Analoginya, gonjang ganjing usulan reshuffle kabinet yang giat dilancarkan Golkar belakangan, akan lain kisahnya jika RUU ini sudah diberlakukan: Parpol maupun Presiden tak berhak mereshuffle para menteri. Dari uji petik terakhir di Kalimantan Barat, pekan terakhir Juli 2006, RUU itu butuh kritisi publik secara substansial. 1. Paradigma RUU ini membatasi hak prerogatif presiden menggunakan jargon demokrasi. Paradigma sebelumnya, hak prerogratif tidak dapat dikurangi. Minimal ada dua mazhab di situ: (i) mazhab Prof Harun Al Rasyid: hak prerogatif presiden tidak dapat dikurangi, apalagi hanya itu satu-satunya yang diwariskan oleh sistem pemilihan langsung presiden (Pilpres 2003), dan (ii) mazhab Prof Ismail Suny: hak prerogatif berhenti ketika muncul UU yang mengatur. RUU ini memang amanat Amandemen UUD 45. Hipotesis lanjut: sejauhmana kekuatan presiden itu boleh dipreteli? 2. Karena RUU itu mengatur pengangkatan dan pemberhentian menteri, maka isu reshuffle yang selalu digunakan presiden untuk membalas manuver parpol di parlemen sejak rezim Gus Dur, Megawati, hingga SBY -- yaitu ancaman mencopot menteri yang berasal dari parpol bersangkutan -- tidak dapat lagi digunakan oleh presiden maupun parpol untuk dagang sapi. Hal itu karena secara yuridis formal, menteri dalam RUU, diangkat dan diberhentikan oleh UU bukan lagi oleh presiden. Secara yuridis formal pula, automaticly para menteri itu lebih bertanggungjawab kepada UU -- bukan lagi kepada presiden, termasuk melapor kepada UU. 3. Anggapan RUU, menteri bukan saja pejabat publik, melainkan juga public figure yang perilakunya langsung berpengaruh kepada publik. Jadi, RUU ini mengenal apa yang disebut Senaat Confirmation yang terminologinya diambil dari Senat Amerika Serikat, diusulkan oleh Prof Riyas Rasyid ke dalam Pansus. Senaat Confirmation belum pernah dikenal dalam ruang tata negara kita. Yang ada dalam tata tertib DPR jo UUD Amandemen, adalah fit and profer test dalam proses pengangkatan pejabat publik, tetapi menteri tidak termasuk pejabat yang harus menjalani fit and profer test karena proses itu berada di wilayah hak prerogatif presiden dengan akibat munculnya menteri yang tidak legitimet, tersangkut perkara korupsi, dan under capacity. Senaat Confirmation sendiri adalah instrumen hampir serupa, tujuannya untuk memverifikasi sejauh mana seorang kandidat menteri sebagai pejabat publik dapat dilegitimasi oleh publik. 4. Dalam perspektif RUU itu, para menteri akan menjadi independen. Sedangkan presiden, hanya sekedar struktur manajerial. Sebaliknya, mestinya presiden juga tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas kesalahan menteri. Dengan demikian keberadaan Dewan Penasehat Presiden menjadi sangat strategis dalam menentukan pembagian kerja: mana yang seharusnya tanggung jawab presiden dan mana tanggung jawab menteri. Dari berbagai paradigma tadi, saya kira Mahkamah Konstitusi beroleh pekerjaan baru, yaitu menangani friksi antara menteri versus presiden dalam sistem ketatanegaraan presidensil yang tak jelas itu. 5. Saya kira subtansi RUU itu adalah objek kerja Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun demikian, saya khawatir pada paripurna paripurna mendatang, DPD dibubarkan karena perannya yang kian absurd secara eksistensi yuridis maupun operasional. Usul saya, DPD mengambil UU itu sebagai lahan khusus yang memungkinkan peran DPD menonjol di masa depan untuk mengusir isu likuidasi. 6. Terhadap Otonomi Daerah, jika tidak ada koreksi cukup subtansial, RUU itu sangat berbahaya. Sebab, UU itu malah akan lebih mengokohkan kooptasi Pusat atas Daerah, sehingga ketimpangan Daerah versus Pusat tambah lebar. Secara anggaran saja, kini ketimpangan Daerah versus Pusat tercermin dari proporsi APBN = 70 persen untuk Pusat, 30 persen untuk Daerah. Kondisi itu, adalah penyimpangan terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah yang menghendaki perimbangan. Jadi, harus dimasukkan, bagaimana caranya agar UU ini kelak mendorong atau memaksakan proporsi APBN minimal berimbang (50-50). Idealnya, 40 persen Pusat 60 persen Daerah. Tanpa itu, RUU ini malah mendorong ketimpangan yang lebih luas lagi, apalagi setelah menterinya beroleh kekuasaan mandiri dari UU ini, mau tak mau kian besar pula penyimpangan pelaksanaan Otonomi Daerah. Sekarang akibat logis dari penyimpangan itu, membengkaknya manajemen Pusat yang merambah ke Daerah hingga detail, digarap oleh Dirjen. Akibat lanjut, jumlah Dirjen terpaksa ditambah, bahkan ada kementerian yang memiliki 11 Dirjen. Padahal, kemampuan ideal seorang menteri maksimal mengkordinir 5 Dirjen. Dari uji petik tadi, Daerah mengeluh karena pekerjaan yang normalnya digarap Daerah, kini digarap Dirjen. 7. Klasifikasi RUU itu adalah keluarga induk. Yaitu tadi, ia langsung menyentuh hak-hak utama ketatanegaraan, seperti hak prerogatif. Jadi, RUU ini sebenarnya adalah RUU yang sulit dibahas: diajukan 2002, gagal dibahas sepanjang 2004, 2005, dan baru dibahas kembali tahun 2006. Itu pun tanpa Naskah Akademik. 8. RUU itu memerlukan pencermatan publik, sejauh mana eksistensinya mempengaruhi demokrasi, kekuasaan, dan bahaya-bahaya yuridis di belakangnya. Misalnya saja, untuk mem-breakdown terminologi Senaat Confirmation dan hak prerogatif saja, paling tidak butuh penelitian ilmiah dalam bentuk Naskah Akademik. Nyatanya RUU ini tanpa Naskah Akademik. 9. Mestinya DPR jangan mau dibujuki oleh Menkumham yang sudah bermasalah serius di KPK. Sebab, saya lihat RUU itu hanya ajang perang antara menteri Kabinet SBY JK versus parpol, dan parpol versus SBY yang, pada hakekatnya hanya didukung oleh 54 kursi Partai Demokrat plus PBB dan PKS. Toh, posisi presiden tetap pheriferal dan gonjang-ganjing. Selama ini, isu reshuffle merupakan alat presiden untuk meredam manuver parpol. Tapi, di hari hari ini, manuver Golkar yang menghendaki reshuffle kabinet untuk menambah menterinya di kabinet, tetap menunjukkan presiden tak berdaya. 10.Kecurigaan saya terhadap content, RUU ini hanya untuk kepentingan para menteri Kabinet SBY JK. Sebab, dengan UU ini, parpol tidak bisa lagi merongrong dan memeras menteri yang diusulkannya. Di sisi lain, presiden juga tidak bisa lagi mengancam-ancam menterinya. 11. Saya lebih tertarik jika RUU ini dibaptis menjadi UU Kekuasan Pemerintahan daripada UU Kementerian Negara. Dengan demikian UU, ini masih bisa diperluas menjadi pengaturan kekuasaan eksekutif yang sekaligus memasukkan struktur kekuasaan eksekutif dalam aturan main manajemen negara. Jadi, UU ini akan memberikan difinisi paradigmatik, adagium praktikum, aksiologi terapan struktural, bukan saja tata negara, tetapi juga kekuasaan manajerial sejak tahap presiden, menteri, sekjen, dirjen, dan seterusnya -- termasuk struktur Otonomi Daerah. Masalahnya, UU Otomi Daerah, mengenal pemisahan Kekuasaan Pusat dan Kekuasaan Daerah. Mestinya Kekuasan Daerah dan Kekuasan Pusat itu cukup satu kekuasaan saja -- termasuk di dalamnya Otonomi Daerah. Kalau itu tidak bisa dicapai, dan Kekuasaan Pusat versus Kekuasaan Daerah masih seperti saat ini, yang terjadi adalah Otoritas Pusat melawan Otoritas Otonomi. Sistem terakhir ini, justru mengarah Federalisme. Harus dipilih, mau Federalisme atau Otonomi? Semangat Amandemen UUD sendiri, memilih Otonomi, bukan Federalisme. Dalam rangka pembuatan UU di masa depan, harus ada kelompok assesment yang menangani ke mana arah politik hukum kita agar UU tersebut mampu membentuk perilaku pembangunan. *** --------------------------------- [1] Penulis adalah Direktur LP3HI (Lembaga Pengkajian Penelitian Politik Hukum Indonesia). Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ --------------------------------- Want to be your own boss? Learn how on Yahoo! Small Business. [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/