RIAU POS

Fatamorgana Kemerdekaan Indonesia    


Rabu, 16 Agustus 2006 
Cita-cita negeri yang sudah merdeka 61 tahun ini patut dihargai. Hanya saja 
dalam usia yang cukup tua untuk ukuran manusia, negeri ratna mutu manikam ini 
harus segera berkaca, sudah terwujudkah cita-cita kemerdekaan tersebut? 
Seberapa jauh Indonesia benar-benar terbebas dari penjajah? Atau yang terjadi 
justru hanya peralihan bentuk penjajahan, dari penjajahan militer kepada 
penjajahan non-militer yang akibatnya sama; sama-sama membuat rakyat kecil 
tetap termarjinalkan? 

Penjajahan (isti'mbr) adalah dominasi militer, politik, ekonomi, dan budaya 
terhadap bangsa yang dijajah untuk dieksploitasi. Penjajahan militer sudah 
tidak populer dan banyak mendapat kecaman dunia. Sebaliknya, penjajahan 
non-militer seperti tekanan ideologi dan politik, dominasi ekonomi, intervensi 
undang-undang dan pemaksaan budaya dirasa lebih efektif. Inilah yang sedang 
dialami Indonesia.

Baru Mimpi
Dalam UUD 1945, tertuang tujuan kemerdekaan Indonesia, salah satunya adalah 
terwujudnya masyarakat adil, makmur, sejahtera. Namun faktanya, jumlah penduduk 
miskin di Indonesia semakin bertambah besar. Berdasarkan laporan The Imperative 
for Reform yang dikeluarkan oleh World Bank, dengan standar garis kemiskinan 
adalah pendapatan 2 dolar (sekitar Rp17.000) per hari, pada tahun 2002 terdapat 
55,1 persen penduduk Indonesia yang terkategori miskin. 

Pelayanan kesehatan juga masih rendah. Kasus busung lapar yang menyerang 
anak-anak balita sudah mencapai angka 8 persen. Sekitar 1,67 juta jiwa anak 
balita menderita busung lapar (Kompas, 28 Mei 2006). Belum lagi kasus flu 
burung yang sampai saat ini belum menemukan jawaban, dari mana datangnya virus 
flu yang mematikan tersebut (Tempo, 31 Juli 2005). 

Dari sisi kualitas SDM, Indonesia juga mengalami kemunduran, paling tidak ini 
mencerminkan gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Berdasarkan hasil 
penelitian The Political and Ecomonic Risk Consultancy (PERC) pertengahan 
September 2001, SDM Indonesia paling rendah diantara 12 negara Asia; bahkan 
lebih rendah dari Vietnam yang baru lepas dari konflik perang. 

Rasa aman bagi setiap warga juga sudah mulai menjadi barang langka. Kelemahan 
aparat menyebabkan rakyat main hakim sendiri. Data dari Bappenas menunjukan 
bahwa angka kejahatan (pencurian, pembunuhan, penggelapan dan lain-lain) tahun 
1995/96 mencapai 146.008 kasus, sedangkan tahun 1996/1997 berjumlah 149.038 
kasus, dan tahun 1997/1998 ada 130.452 kasus. 

Hukum  di negara ini  juga sudah menjadi komoditas yang  diperjualbelikan. 
Keadilan telah lama tergadaikan. Mafia peradilan bukan lagi isapan jempol.

Mengapa Terjadi Kegagalan?
Mengapa ''kemerdekaan'' gagal mengantarkan Indonesia pada tujuannya? Padahal 
sudah 61 tahun Indonesia merdeka. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan 
bahwa, penyebab kegagalan negeri-negeri Muslim untuk bangkit adalah, sebagian 
besar negeri-negeri Islam kini tunduk kepada kepemimpinan berpikir 
kapitalis-demokratis. Ekonomi tunduk pada sistem kapitalis; demikian juga dalam 
militer yang masih bergantung ke Barat. Dalam politik luar negeri, 
negeri-negeri Islam sekadar mengikuti arahan politik dari negeri-negeri Barat.

Islam Wujudkan Cita-Cita
Bangsa Indonesia telah memulai UUD-nya pada bagian pembuka dengan kalimat, 
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu 
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan." Namun, sesungguhnya hingga 
kini Indonesia masih terjajah.

Islam sebagai dien yang syumul, memiliki aturan yang jelas dan rinci bagi 
seluruh pemecahan kehidupan manusia, karena aturan ini dibuat dan diturunkan 
dari al-khaliq.

Syariat Islam sesungguhnya mampu membebaskan negeri ini dari penjajahan, baik 
secara ideologi, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, maupun militer. Islam 
akan menolak seluruh ideologi yang akan menghancurkan kemuliaan hukum-hukum 
Allah SWT, merendahkan martabat manusia, menjadikan hubungan manusia dijalin 
karena kepentingan materi semata, serta seluruh ideologi yang menjadikan 
manusia penguasa mutlak dalam mengatur kehidupannya, dan menghilangkan 
eksistensi Illahi dalam kehidupan publik.

Syariat Islam juga akan mampu menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan 
sejahtera, karena dalam pandangan Islam, adil berarti semuanya dalam kedudukan 
yang sama, dengan memperlakukan warga negara yang terdiri dari kaum Muslim dan 
non-Muslim (ahlul dzimmah) dengan hak dan kewajiban yang sama, kecuali dalam 
urusan akidah dan ibadah (yang dibebaskan bagi mereka). 

Ditetapkan pada kaum dzimmah kewajiban membayar jizyah sebagai jaminan keamanan 
(Al-Islam wa Nizham al-Hukm, Mutawalli hal.339). Jizyah inipun tidak dipungut 
dari orang-orang miskin, lemah, dan membutuhkan sedekah. 

Syariat Islam akan menjamin seluruh kemashlahatan individu dan juga urusan 
jamaah, baik Muslim maupun non Muslim. Kebutuhan pokok setiap individu rakyat 
dijamin oleh negara, sehingga semua individu dalam masyarakat harus memperoleh 
jaminan atas kehidupan yang layak, dengan strategi pemenuhan kebutuhan pokok 
yang dilaksanakan individu dan negara, yang sesuai tuntunan syariah. 

Dalam pandangan Islam setiap kepala keluarga diperintahkan untuk bekerja 
mencari nafkah, negara akan menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai 
fasilitas pekerjaan, agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memeperoleh 
pekerjaan, guna terpenuhi kebutuhan pokoknya. 

Disamping itu, kepala negara pun bertanggung jawab atas jaminan distribusi 
kekayaan untuk menciptakan keseimbangan ekonomi dalam masyarakat, sehingga 
tidak terjadi kesenjangan dan kemiskinan (Pengantar Ekonomi Islam Muhammad 
Al-Fatih, hal.172).

Adapun cara-cara Islam dalam menjaga dan menjamin persatuan wilayah-wilayah 
adalah dengan: Pertama, larangan melakukan separatis atau upaya memisahkan diri 
(bughat). Hal ini diharamkan Rasulullah. ''Siapa saja yang datang kepada 
kalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seseorang (khalifah), kemudian 
ia hendak memecah-belah kesatuan jamaah (khilafah) kalian, maka bunuhlah ia''. 
(HR Muslim). 

Kedua, aktivitas peleburan umat/rakyat dengan ideologi Islam. Syariat Islam 
juga berhasil menghilangkan ikatan kesukuan, sekat kebangsaan dalam satu ikatan 
aqidah yang sama yaitu aqidah Islam yang melebur dalam jiwa setiap Muslim 
sebagai sebuah ideologi yang diterapkan sebagai hasil pancaran ketaqwaan dalam 
individu-individu Muslim, adanya kontrol dalam masyarakat untuk melakukan 
proses amar ma'ruf nahi mungkar, dan adanya institusi negara untuk menerapkan 
dan melaksanakan syariah Islam. 

Ketiga, tidak membuat dikotomi mayoritas-minoritas, penakluk-yang ditaklukan. 
Dalam pandangan Islam, semua warga negara sama. Hal ini membuktikan, bahwa 
gambaran karakter syariat Islam rahmatan lil 'alamin. Rahmat ini diperuntukkan, 
baik bagi kaum Muslim maupun non Muslim. Keadaan ini tercatat dengan tinta emas 
dalam sejarah sepanjang 800 tahun, misalnya, ketika Spanyol hidup dalam naungan 
Islam, tiga agama besar; Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan. 
Masing-masing pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya dan negara 
menjaminnya.***


Anni Mhd, anak jati Riau, mahasiswi Jurnalistik Universitas Padjajaran, Bandung.



[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke