http://www.indomedia.com/poskup/2006/09/26/edisi26/opini.htm


Wajah pers, wajah pengelola

Oleh Tony Kleden *

PADA Selasa, 15 Agustus 2006 lalu, Harian Umum Pos Kupang -- bersama dengan 
sembilan media lain di Indonesia -- mendapat penghargaan sebagai koran terbaik 
2005. Beberapa saat sebelum piagam itu diserahkan dan beberapa hari sesudahnya, 
banyak pesan singkat (SMS/short message service) mampir di handphone saya. 
Semuanya satu nada: selamat dan proficiat untuk prestasi ini!

Tak tega rasanya kalau mesti menghapus pesan-pesan itu dari handphone. Karena 
itu, tulisan ini boleh dibilang sebagai bentuk terima kasih untuk para pembaca, 
simpatisan dan siapa saja yang peduli terhadap Pos Kupang dan pers secara 
umumnya.

Sekilas perkembangan pers

Harus diakui bahwa kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 sekaligus juga merupakan 
sebuah blessing in disguise, berkat dan karunia tersendiri bagi dunia pers. 
Tumbangnya rezim Orde Baru itu membawa sebuah pengaruh yang luar biasa, yakni 
bahwa kesadaran masyarakat terhadap pers semakin kritis. Masyarakat yang 
berdiri selaku konsumen media akan menentukan nasib sebuah media. Mati atau 
gugurnya sejumlah banyak koran dan tabloid adalah juga indikasi betapa 
masyarakat kita sudah sangat kritis menjatuhkan pilihan. Jika pada rezim lalu, 
pilihan media sangat terbatas, maka sekarang masyarakat seolah bingung sendiri 
di tengah bursa media. Pers mendapat tempat secara penuh. Wartawan dan pekerja 
pers pun menemukan tempatnya berekspresi lewat karya dan kerja jurnalistiknya.

Lembaga Kementerian Penerangan yang ketika itu lebih banyak berperan sebagai 
'satpam' bagi pers, dihapus. Tetapi hal yang paling penting adalah 
digantikannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok-Pokok 
Pers dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang Nomor 
40 tahun 1999 itu ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 23 September 1999. 
Perangkat undang-undang baru ini memberi aksentuasi yang jauh lebih banyak bagi 
iklim kebebasan pers. Meskipun di sana sini masih terdapat sejumlah pasal yang 
dilihat sebagai senjata membelenggu pers, toh undang-undang ini telah 
membongkar paradigma lama tentang pers dan menggantikannya dengan paradigma 
baru. Jika dalam undang-undang lama kredonya adalah kebebasan pers yang 
bertanggung jawab, maka dalam undang-undang baru ini kredonya adalah kebebasan 
pers yang profesional. Profesionalisme mendapat penekanan di dalam 
undang-undang ini.

Paradigma baru ini terutama dimaksudkan untuk mencegah pembenaran 
terhadapkebebasan pers yang sudah salah kaprah semasa rezim lama. Paradigma 
kemerdekaan pers yang profesional juga memberikan makna yang lebih hakiki dan 
mendorong pers untuk meningkatkan bobot kualitatif berdasarkan nilai-nilai 
profesional yang sangat diperlukan pada era globalisasi informasi saat ini. 
Lebih jauh, kemerdekaan pers yang profesional menuntut segenap insan pers untuk 
membangun kualitas sumber daya manusia, manejemen perusahaan yang profesional, 
kualitas pemberitaan yang mengacu pada prinsip cover both side (jika perlu 
cover all side), serta kinerja yang didasarkan pada tanggung jawab moral 
terhadap nilai-nilai etika profesi.

Inilah tuntutan normatif dan kualitatif yang memberikan landasan pijak bagi 
titian pers. Tetapi respons terhadap iklim kebebasan pers itu muncul sebelum 
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 ditetapkan. Itu berarti kerinduan (pegiat) 
pers untuk melepaskan diri dari kuk yang membebani dan ikatan yang membelenggu 
merupakan kerinduan yang sungguh menghentak dan mendesak. Tak ayal, sebelum 
perangkat hukum ini disahkan, telah lahir ribuan media di tanah air. Hingga 
kejatuhan Soeharto, di Indonesia cuma terdapat 289 media yang ber-SIUPP (Surat 
Izin Usaha Penerbitan Pers). Belum setahun usia reformasi, jumlah media yang 
terbit menjadi 582, dua kali lipat semasa 30 tahun sebelumnya. Sekarang, sudah 
lebih dari seribu media yang hadir di tanah air. Ketika bangsa ini memasuki era 
pencerahan yang disebut sebagai zaman reformasi, pers pun seolah memasuki pintu 
gerbangnya guna mereguk susu dan madunya. Bagai pengantin baru, pers Indonesia 
mengalami masa bulan madunya di awal reformasi.

Di NTT, dampak kebebasan pers itu juga cukup menyata. Disemangati eforia yang 
dialami secara nasional, sejumlah orang coba ikut mereguk manisnya madu dengan 
mencoba mendirikan koran dan tabloid. Setelah Pos Kupang sendirian hadir selama 
tujuh tahun sebagai koran harian, muncul banyak pendatang baru. Terbit Surya 
Timor, Suara Timor, NTT Ekspres, Sasando Pos, Flores Pos, Radar Timor, NTT 
Xpress, Timor Express, Kursor. Semuanya merupakan koran harian. Selain media 
harian, muncul beberapa tabloid mingguan. Kompak, Metro Kupang, Suara 
Flobamora, Duta Flobamora, Saksi, Udik, Cermin, Alor Pos, Rote Pos, dan 
beberapa lain yang hanya untuk kalangan terbatas dan bersifat intern.

Apa yang dapat kita katakan tentang kenyataan ini? Di satu sisi harus diterima 
bahwa inilah sebentuk kepedulian pegiat media terhadap fakta sosial yang ada di 
masyarakat. Keprihatinan atas sejumlah banyak praktek abnormal dan ikhtiar 
membuka wacana bagi masyarakat melalui informasi, kemudian dirumuskan menjadi 
asumsi dan premis mendirikan institusi pers.

Itu di satu sisi. Tetapi di sisi yang lain, eforia itu disambut secara 
berlebihan dan karena itu cenderung salah kaprah. Akibatnya, kita menyaksikan 
sendiri di daerah ini betapa berwarna tampilan dan sajian koran dan tabloid. 
Yang lucu dan kemudian melahirkan pertanyaan besar adalah bahwa meski telah 
begitu banyakmedia hadir dan terbit, toh apa yang disebut sebagai information 
deficiency tetap saja terjadi. Media begitu banyak, tetapi informasi tidak cuma 
telah terdistorsi dan terkontaminasi oleh kepentingan tertentu, tetapi juga 
terasakan sangat kurang. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa asumsi dan 
premis awal yang memanggil orang mendirikan media, belum terbukti 
(sekurang-kurangnya sampai saat ini).

Framing dalam pers

Pada tanggal 1 September 1983, pesawat pembom Uni Soviet menembak jatuh pesawat 
penumpang Korea 007. Akibatnya, 269 penumpang, termasuk awak pesawat tewas. 
Pada tanggal 3 Juli 1988, pesawat penjelajah Amerika Serikat, Vincenes, 
menembak jatuh pesawat penumpang Iran 655 yang melintas di atas kawasan Teluk. 
Sebanyak 290 penumpang termasuk awak pesawat tewas.

Kedua peristiwa ini sama. Yang berbeda pelakunya: yang pertama Soviet, 
sedangkan yang kedua Amerika. Ternyata peristiwa yang sama tersebut digambarkan 
secara berbeda dalam liputan pers Amerika. Peristiwa tertembaknya pesawat 
penumpang Korea oleh Soviet digambarkan sebagai suatu pembunuhan, atau serangan 
udara. Liputan pers memakai banyak label dan kata-kata untuk mengutuk peristiwa 
itu sebagai pembunuhan. Kekejaman Uni Soviet diulas dengan liputan yang 
bergairah.

Tetapi ketika memberitakan jatuhnya pesawat Iran akibat ditembak pesawat 
Amerika, liputan pers Amerika mempunyai gambaran yang berbeda. Penembakan itu 
tidak digambarkan sebagai pembunuhan, tetapi sebuah kecelakaan, atau lebih 
tepatnya suatu tragedi. Liputan sama sekali tidak memberitakan mengenai 
kekejaman Amerika. Justru yang ditampilkan adalah kemajuan teknologi radar 
Amerika -- saat itu Amerika sedang mencoba radar yang dapat menembak secara 
otomatis pesawat dalam radius yang ditentukan. Penembakan itu, dengan demikian, 
dimaknai sebagai akibat kemajuan teknologi daripada suatu pembunuhan yang kejam 
atau sadis.

Ilustrasi ini menunjukkan apa yang disebut dalam jurnalistik dengan framing. 
Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan 
menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang 
sebagai penempatan informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu 
mendapat alokasi lebih besar daripada isu yang lain.

Robert M Entman mendefinisikan framing sebagai 'seleksi dari berbagai aspek 
realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu 
teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi 
terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran 
penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan. Dari definisi ini, framing 
pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi 
danrekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu 
terhadap peristiwa yang diwacanakan.

Dalam bekerja dan bertugas setiap hari, wartawan -- juga media -- berhadapan 
dengan framing. Wartawan memutuskan apa yang akan ia beritakan, apa yang 
diliput dan apa yang harus dibuang, mana yang ditonjolkan dan apa yang harus 
disembunyikan bagi khalayak.

Bagaimana di NTT?

Dalam jagat pers di NTT, framing itu sangat kasat mata. Dalam banyak berita, 
media di NTT tidak satu nada. Setiap wartawan/media akan berbeda frame-nya 
ketika melihat suatu realitas atau fakta. Koran A akan melihat masalah 
kemiskinan, kelaparan sebagai suatu laknat yang harus diperangi. Koran B 
melihat kemiskinan dan kelaparan sebagai suatu kesempatan emas untuk 
memproyekkannya guna meraup keuntungan. Koran A melihat pembangunan suatu 
gedung besar dan megah sarat KKN dan penuh kepentingan. Sementara koran B sibuk 
membelanya sambil mengharapkan 'tumpahan' dari kuali proyek itu. Perbedaan itu 
seterusnya akan menyebabkan perbedaan dalam angle berita, dalam teknik 
pengemasan dan bahkan dalam penggunaan kata-kata (diksi).

Tak ayal di NTT terhadap suatu obyek berita bisa muncul begitu banyak 
'informasi'. Jika banyaknya informasi itu adalah akibat perbedaan sudut pandang 
(angle), maka hal itu harus dapat diterima sebagai variasi dan kekayaan sudut 
pandang berita. Tetapi jika itu melahirkan makna dan tafsiran baru, maka itu 
merupakan suatu 'dosa pers'. Yang dirugikan adalah masyarakat selaku konsumen 
media. Pernah misalnya, terhadap kasus korupsi, ada media yang habis-habisan 
membongkarnya. Sementara media lain sibuk dan mati-matian membela dan terus 
membelanya. Kenyataan seperti ini tidak cuma memperlihatkan kegagalan media 
menegaskan corak independensinya, tetapi sekaligus juga tidak mampu 
menyembunyikan corak partisannya.

Keadaan ini turut diperparah oleh fakta bahwa masing-masing media memilih 
jalannya sendiri-sendiri dalan mengejawantahkan apa yang sebelumnya diklaim 
sebagai asumsi yang coba dibuktikan. Perbedaan itu sangat kentara dalam model, 
gaya dan format berita. Setiap media berbeda dalam 'laras' pemberitaannya. 
Normalnya, perbedaan laras itu mengekspresikan perbedaan visi dasar masing-

masing media. Sebab masing-masing media memiliki visi dasar yang kemudian 
menentukan editorial policy (kebijakan editorial). Visi dan editorial policy 
seterusnya menjadi pedoman dan kriteria dalam proses menyeleksi kejadian dan 
permasalahan untuk diliput dan dijadikan bahan pemberitaan. Tetapi untuk kasus 
pers NTT, perbedaan itu secara tegas bukan mengeskpresikan perbedaan visi 
dasar, tetapi lebih menunjukkan perbedaan kepentingan yang hendak dibela. 
Karena itu boleh dibilang, bagi pers di NTT fakta bukanlah suatu 
kejadiansebagaimana sudah terjadi, meminjam formulasi sejarawan Jerman, Leopold 
Ranke, tetapi suatu kejadian sebagaimana telah dikonstruksikan oleh seseorang 
atau sekelompok orang.

Pengaruhnya bagi masyarakat selaku konsumen media ialah bahwa informasi tentang 
suatu obyek masalah yang diserapnya adalah informasi yang selalu jamak, tidak 
pernah tunggal atau utuh. Dia (berita itu) selalu mengandung peluang untuk 
dipertanyakan kembali, berpotensi sangat besar untuk ditafsir ulang guna 
menemukan saripatinya. Yang menyedihkan ialah masyarakat sendiri masih cukup 
kuat mengkotak-kotakkan (atau dikotak-kotakkan?) diri secara sempit dalam 
kelompok-kelompok kepentingan tertentu baik karena suku, etnik, suku maupun 
agama. Bagi pers, hal ini membawa dampak yang sangat buruk. Kacamata memandang 
pers yang dipakai masyarakat adalah kacamata suku, golongan, etnis, atau agama. 
Meski begitu, pada hemat saya, masyarakat NTT semakin hari semakin kritis. Dia 
semakin paham dan mengerti, mana media yang dapat dipercaya, mana media yang 
kurang dapat dipercaya. Berita di media mana yang perlu dibaca, berita di media 
mana yang tak perlu dibaca. Sebab, dalam jurnalistik berlaku hukum tak 
tertulis: wajah media adalah wajah pengelolanya. Medianya baik, tentu 
pengelolanya profesional. Medianya setengah-setengah, pengelolanya juga pasti 
setengah-setengah. Medianya amburadul, seperti itulah pengelolanya.

Mitra masyarakat

Telah lama diterima bahwa institusi pers merupakan pilar keempat dari rancang 
bangun demokrasi, selain eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tetapi revolusi 
dan perkembangan pesat dari dunia pers sendiri memaksa pers berperan lebih dari 
empat fungsinya.

Dalam masyarakat yang bertumbuh sangat pesat, cepat, kompleks dengan begitu 
banyak arah perubahannya, apa peran media massa, khususnya surat kabar? Berita 
dan informasi sekarang datang dan hadir seperti air bah, sementara ruangan atau 
space koran terbatas. Maka yang perlu dilakukan adalah seleksi, memilih mana 
yang dibutuhkan masyarakat, mana yang harus diberitakan, mana yang tidak perlu 
diberitakan. Lagi pula, waktu dan kesibukan membatasi keengganan orang untuk 
membaca. Semakin mendesak kebutuhan bari pers untuk tidak sekadar memberikan 
informasi, tetapi sekaligus menjelaskan duduknya perkara. Di sinilah peran 
media sebagai mitra pembacanya sangat diharapkan. Apa arti kejadian, 
perkembangan dan perubahan itu bagi masyarakat dan bagi dirinya? Apa maknanya 
jika misalnya ada berita harga minyak di pasar dunia naik atau turun? Apa arti 
suku bunga kredit menurun?

Informasi yang menjelaskan duduknya perkara tidak lagi sekadar pada 
kejadian-kejadian itu secara terpisah dan secara sendiri-sendiri. Perubahan 
yangberlangsung dalam masyarakat amat luas cakupannya. Perubahan besar atau 
menyeluruh itu minta dijelaskan. Jika ombak besar di kawasan perairan NTT, 
misalnya, masyarakat perlu dijelaskan apa dampaknya bagi dunia perekonomian 
masyarakat, apa artinya itu bagi para nelayan di pesisir pantai. Jika kelaparan 
mengancam Sikka, masyarakat Sikka perlu dijelaskan bagaimana cara-cara 
mengo-lah makanan alternatif se-hingga tidak mati bodoh ka-rena lapar. Jika 
tanah ulayat-nya dirampas, maka pers perlu juga memberi penje-lasan dampak 
psikologisnya bagi masyarakat sekitar. Jika hutan dibabat, bukit dirata-kan 
untuk eksplorasi mar-mer, pers perlu menjelaskan dampaknya seperti erosi kala 
hujan, mata air mengering di musim panas dan seterusnya dan seterusnya.

Melalui pers, masyarakat mencari penjelasan lebih lengkap. Pengemasan berita, 
misalnya, perlu melalui pendekatan multi angle, infografis, data-data 
pendukung, tabel-tabel, tips-tips. Para ahli komunikasi massa bahkan menyebut 
salah satu fungsi pers bagi masyarakat adalah alat untuk menjadi bekal hidup 
(tool of living). Peranan itu semakin besar. Ada yang menguraikan dengan 
kata-kata news that you can use, berita yang bisa dipakai untuk memperoleh 
manfaat, yakni manfaat prak-tisnya. Pers mesti peka dan tajam melihat apa yang 
paling dibutuhkan khalayak. Jepang maju ekonominya karena liputan ekonomi 
mendapat porsi yang besar oleh pers dalam negeri itu. Liputan/berita politik 
kalah jauh.

Pers juga mesti tetap berjalan pada jalurnya. Di tengah kondisi rakyat NTT yang 
masih serba sulit dan menderita, pers mesti berdiri di garda terdepan 
memberikan pencerahan, memberikan masukan, membuka wawasan mereka untuk 
bagaimana menantang kerasnya hidup agar bisa survive. Jangan cuma mengedepankan 
kasus-kasus korupsi, isu-isu politik, hiburan-hiburan.

Memang di jagad pers berlaku dogma: bad news is good news (berita buruk adalah 
berita bagus). Yang masuk dalam berita buruk itu misalnya: perkosaan, 
perselingkuhan, pembunuhan, demonstrasi. Dengan alasan mendongkrak tiras, 
berita-berita ini laris manis. Tidak salah. Tetapi juga tidak cuma sebatas itu. 
Untuk investasi jangka panjang, rakyat juga membutuhkan tulisan-tulisan 
pencerahan, pendidikan, kiat-kiat dan semacamnya. Maka yang dibutuhkan adalah 
keberanian melawan dogma itu.

* Penulis, wartawan Pos Kupamg


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke