Kota-Kota Kecil yang Terus Hidup di Kepalaku SEBUAH kota bisa lahir dan tumbuh dari apa pun. Mungkin dari perempatan, pasar, peta perjalanan, oase, dermaga, dan segala hal di luar dugaan. Di perbatasan tanah air, kau tahu, sebuah kota pernah lahir bagai satu malam, konon untuk menandingi sebuah negara-kota tetangga yang sudah dibangun sejak zaman kolonial. Meski didorong rasa cemburu yang sia-sia, toh kota itu tak lekang diharu-biru kaum urban dari segala asal. Sebuah kota lain tumbuh pesat di suatu tempat di mana sepasang kekasih yang tak direstui pernah jatuh dari kereta api. Berkat kisahnya yang ditulis tak putus di berbagai tabloid kuning ataupun biru, banyaklah peziarah datang ke tempat itu, mungkin penasaran, sekadar menabur bunga, introspeksi cinta-kasih, atau yang pada akhirnya jatuh cinta justru kepada tempat jatuh sepasang sejoli itu, lantaran alam dan udaranya bagus buat mata dan paru-paru. Muncullah warung-warung tenda, vila peristirahatan, lalu pasar dan swalayan dibuka, rumah-rumah tumbuh, tak sekadar tempat singgah. Di berita lain kubaca seorang nenek hendak menjual kota kenangannya, Sibley, di tepi Danau Ashatabula yang tenang. Kabarnya, Nenek Toots, beserta pasangannya, Eddie, sejak tahun 1954 mendirikan penginapan dan tempat dansa untuk para pemancing, yang lalu terpancing terus datang ke sana. Lahan itu pun berkembang jadi kota mungil yang kini hendak dilelang si empunya dengan linang air mata.1) Kota-kota di pantai utara Jawa konon muncul dari gardu peristirahatan kereta kuda yang berkisar antara 25-30 km jaraknya. Ya, banyak kota lahir dan tumbuh, di berbagai tempat dan waktu, di luar dugaan dan kemegahan, sebagaimana kota-kota kecil yang hidup ajaib di kepalaku⦠Benar, di kepalaku, sebuah kota kecil pernah lahir dari radio, dari suara penyiar RRI yang terasa terus bergema hingga kini. Kota lain muncul dari kertas buram soal ujian kelulusan sekolah; dari TV hitam-putih; dari kaca belakang sebuah bus tua; dari selembar karcis bus ekonomi; dan dari peta Pulau Jawa yang tergeletak sobek di tempat sampah. Rasanya penting menyebut detail sumber kelahiran kota-kota kecil yang terus hidup di kepalaku ini. Sebab, jika sebuah wadah berubah, taruhlah yang kudengar bukan siaran RRI, tapi siaran radio swasta, niscaya tak akan ada kota yang lahir; atau lahir ia, tapi belum tentu hidup di kepala. Lagi pula, radio swasta tak pernah bertandang ke ladang, mungkin karena itu tak punya "cabe merah" apalagi yang keriting, wortel tanpa daun, mars sapta marga, atau seriosa --kecuali cuap ala kota besar, gemuruh iklan, koor-nada "lu-gua" serentak bergema di dingin udara. Tentu juga tak ada acara Kotak Pos kegemaranku, asuhan seorang penyiar yang suaranya lebih mirip penyair; dan dengan itu ia membangun dua kota kecil sekaligus di kepalaku. Pun kalau soal ujianku dicetak di kertas HVS putih dan TV yang kutonton berwarna 24 inci; ia mungkin mencipta kota lain atau tidak sama sekali. Tak akan ada Kotanopan, Rimbobujang, Pelaihari, Bandanaira, Dapdap Putih, Bukateja, Ambulu, o, kota-kota kecil yang terus mengharuku! Menggoda dan membangkitkan ingatan tentang tempat dan alamat, tapi hanya bisa kujelang dalam angan! Di tengah ruang dan waktu yang gampang ditembus, semua bisa saja kujelang, satu per satu, apalagi semuanya tak lebih kota-kota kecil dalam negeri, tapi tidak, tapi tidak; mengingatnya, kemabukan tersendiri bagiku!2) Hanya dengan begitulah ia terus hidup sebagai kota imajiner, meskipun jika kelak aku datang ke salah satu kota itu, tetap tak mudah mempertukarkan kenyataan dan bayangan yang telah kubangun bertahun-tahun, susah-payah membuatnya ranum. Biarlah kenyataan dan bayangan menjadi dua dunia yang membangun ruang, jalan dan lorong-lorongnya sendiri. Labirin, peta dan arahnya sendiri. Kini, Anda pasti tahu, sedang merujuk ke manakah aku gerangan; ya, ya, ke Kota-kota Imajiner-nya Italo Calvino 3), dalam sebuah buku merah dadu yang sejak berapa waktu lalu menggangguku. Akhirnya, dengan gemetar, semalaman kujelajahi bab demi bab, berbarengan bangkitnya kota-kota kecil di kepalaku, berkelebat, meriap; biru, biru! Dekat, tapi jauhâ¦
*** BEGITULAH, ingatanku bangkit saat halaman pertama buku itu kusentuh. Kumasuki "Kota-kota & Kenangan" yang terdedah di sana, namun selalu campur-aduk dengan kota-kota dan kenanganku sendiri. "Ketika seseorang mengendarai kuda cukup lama melewati kawasan liar, ia segera merasakan hasrat akan sebuah kota," tulis Calvino, seperti dahaga. Tapi sebelum sampai ke sebuah kota, Isidora, ingatanku singgah di kawasan perladangan, tak kelewat liar, tempat aku dan keluarga petaniku yang merana pernah tinggal. Di sanalah sebuah kota kecil pernah lahir dari radio transistor yang mendesis lewat bukit-bukit. Malam hari, di antara nyaring suara uir-uir rimba, benda itu menjadi perantara satu-satunya bagiku dalam membayangkan suatu tempat --lebih sering sebuah kota-- sampai aku merasa bagian dari dunia. Kadang, di sela desis dan gemersik suaranya yang tak kunjung jernih, terselip siaran berlogat Melayu atau lagu-lagu Mandarin. Padahal yang kuharap hanyalah siaran RRI Padang menyiarkan acara kesukaanku, Kotak Pos, sekali sepekan. Acara tanya-jawab lewat surat pemirsa tentang berbagai hal itu, diselingi lagu-lagu pilihan; dan Kak Marni, pengasuhnya, membacakan surat, sekaligus menjawabnya. Suaranya jernih-jernih empuk, meski kubayangkan orangnya tak muda lagi. Acara dibuka-tutup dengan ilustrasi musik Aku Anak Desa, yang terus bergema di telinga kerangku. Nama pengirim surat yang dibacakan boleh saja hilang, alamatnya tak terbilang, tapi nama dua kota tetap tinggal di lorong ingatanku hingga sekarang, Kotanopan dan Rimbobujang. Aku tidak tahu bagaimana warga kedua kota itu bisa mendengar siaran RRI Padang, sebab terletak di lain provinsi, tapi boleh jadi karena letaknya di perbatasan, atau pengirimnya mahasiswa asal Kotanopan dan Rimbobujang yang kuliah di Kota Padang. Entahlah, aku tak ingat benar, kecuali bahwa kedua nama kota itu tinggal tak lekang dalam pikiran. Kotanopan, diam-diam membangun dirinya dalam pikiranku lewat bayangan rumah-rumah papan yang di bagian terpadat adalah pasar. Di sebuah tanah lapang, sore hari, anak-anak mudanya kompak bermain voli, tapi malamnya sebagian suka bergitar di atas pagar atau ujung jembatan. Seutas dari jalan itu adalah jalan lintas provinsi, di mana truk dan bus-bus malam lewat selalu di saat kota telah lelap, sehingga jika saja anak-anak muda yang bergitar hingga larut tak mengumbar cerita tentang kejadian semalam (misal, soal rokok dan pertengkaran dengan sopir dekat jembatan), maka penghuni kota hanya tahu bahwa kotanya tak pernah dilintasi oleh apa pun, kecuali kendaraan di siang hari yang sudah diakrabi. Tak tahu, manakah jiwa kota yang sebenarnya, anak-anak muda yang bergitar dan bertengkar dekat jembatan, atau para orang tua yang lekas tidur; sebab apalah bedanya pertengkaran dan dengkur. Sementara Rimbobujang tumbuh di kepalaku sebagai daerah transmigran yang terus berkembang, terutama berkat saluran-saluran airnya yang digali memanjang di tengah rawa-rawa, di mana air terus penuh, meski juga tak pernah melimpah. Air itu, baik dialirkan maupun ditimba, dipakai warga menyiram palawija, bahkan di musim hujan, sebab mengalirkan dan menimba telah menjadi siklus kerja yang tak terputus sekalipun oleh musim. Rawa yang mengering dijadikan tempat membangun rumah, menumbuhkan perkampungan, dan pematang-pematang menjelma jalanan lempang, meski jika musim hujan kembali becek sesuai kontur tanah. Orang-orang trans adalah mereka yang tabah. Ini terbukti dari lamanya jalan di Rimbobujang dibiarkan tak mengenal aspal. Barulah sehabis kunjungan seorang pejabat dari Jawa, aspal panas seperti berlomba menyiram jalanan, bahkan saking bersemangatnya, halaman pasar pun diaspal oleh orang-orang proyek yang secara ajaib bekerja siang-malam entah atas perintah siapa. Tapi terbukti kemudian, Rimbobujang tumbuh sebagai kota kecil pemasok sayur-mayur dengan warga cukup makmur, dan boleh dikata kota kecil pertama punya listrik di pedalaman Sumatera. Jadi, "ketika seseorang yang mengendarai kuda merasakan hasrat sebuah kota", seperti ditulis Calvino, maka sesungguhnya ia tak akan pernah sampai ke Isidora, kecuali berputar-putar di jalanan yang bersisian di Kotanopan; dan setengah putus asa ia akan melecut kudanya tanpa alasan, maka seketika itu juga ia terhantar ke tengah perkampungan bekas rawa-rawa di Rimbobujang, sampai ia sendiri ingin ke luar, tapi tak bisa-bisa. Lalu sambil bersorak, "Haiya!" lagi-lagi ia akan kembali ke sebuah lepo tuak di Kotanopan, dan bila ia mabuk dan mengigau dekat jembatan, menyeru, "Isidora! Isidora!" di saat yang sama para peronda di Rimbobujang, dengan lilitan kain sarung di leher, akan menemukan seseorang tergeletak di rerumputan ditunggui dengus kudanya. Dan ketika bangun, si penunggang kuda tak bisa mengelak: ia telah menyerah ke dalam pelukan dua kota kecil ini sekaligus, sebaik ia membayangkan Isidora entah di mana. Hasrat telah menjadi kenangan, tulis Calvino menutup bagian ini; sebaliknya aku, sebagai si penunggang kuda itu, akan menjadikan kenangan sebagai hasrat yang berlarat⦠*** KINI Calvino bercerita kepadaku --tentu lewat tokohnya Marco Polo, atau Marco Polo lewat Calvino?-- tentang Zenobia, kota yang menakjubkan: berdiri di atas tanah lapang kering, tegak pada tiang-tiang pancang, dan rumah-rumahnya terbuat dari bambu serta seng. Sebuah kota kecil yang dipenuhi gentong penyimpan air, katrol-katrol yang menonjol, galah ikan dan burung bangau. Seperti Kublai Khan --tapi tak hendak menundukkan--aku hanyut mendengarkan, namun pelan dan pasti, ingatanku mengalir ke kota kecilku sendiri yang tak pernah mati, Pelaihari. Aku mengenal Pelaihari saat ujian kelulusan sekolah menengah pertama, lewat pertanyaan sederhana, "Pelaihari adalah daerah penghasil a. Tebu b. Karet c. Kelapa sawit d. Cengkeh". Kusilang b, tapi selang sehari buku geografi menunjukkan jawaban yang benar adalah a. Alih-alih menyesal, nama Pelaihari justru sering kulafalkan dan bayangan kota kecil dengan rumah-rumah bercat kapur putih seketika jadi hablur. Ada dua utas jalan melintas, lalu menyilang menyerupai tangkai ketapel, diaspal tambal sulam; beberapa alat berat dibiarkan telantar di pinggir jalan, ditutup terpal hitam sehingga menyerupai makhluk asing yang masif. Tiang bendera. SD berdinding papan. Tali bandar. Rumah tua Banjar. Orang-orang bercaping lebar. Semuanya, silang-menyilang membentuk ruang dan bayangan imajinatif, bertahun-tahun, tanpa bosan. Jika bosan, kususuri jalan ke perkebunan --maaf, sampai kini masih rancu, kadang karet kadang tebu-- melewati tebaran kerikil-kerikil kecil. Membuat pick-up yang lewat melenting-lenting. Di beberapa bagian yang landai, sepeda roda dua membuat jalur sendiri di tepi-tepi. Debu membubung, tapi tidak lebih dulu hinggap di pagar. Angin yang kerap santer menerbangkan debu jauh ke balik pagar --melintasi keluasan halaman-- dan akhirnya hinggap di dinding rumah-rumah yang dicat putih-putih. Lama-kelamaan warnanya berubah kuning, dan kebanyakan orang menganggap ini setara benar dengan warna kuning pakaian kebesaran seorang pangeran sakti dalam legenda daerah mereka. Sebaliknya, deretan perkantoran dan pertokoan yang terlokalisir di titik koordinat tangkai ketapel, yang semula dicat kuning-kuning --sebagai simbol penghormatan pada kisah leluhur-- justru terlihat putih susu lantaran sinar matahari bagai jatuh di situ sepanjang hari, dan seperti matahari, semuanya dibiarkan, seolah memang begitulah pusat kota itu tercipta sejak awal, begitu juga nanti akhirnya --dan pangeran tak boleh marah, sebab dengan niat baik segala sesuatu cukuplah. Maka, seperti Zenobia, aku tak tahu apakah Pelaihari kota yang bahagia atau merana. Apakah kota yang meniadakan hasrat atau terhapuskan oleh hasrat. Aku setuju dengan Marco atau Calvino --entahlah kalau dengan Kublai-- untuk tak kelewat peduli pada soal bahagia atau merana, tapi aku juga tak merasa penting akan hasrat kali ini. Sambil mengerjapkan mataku yang seolah kemasukan debu jalanan Pelaihari atau silau cahaya putih susu matahari, aku tertarik memikirkan apakah Pelaihari kota yang memberi atau menerima --dengan memilih dan membiarkan warna-warnanya pudar sendiri⦠*** TAK terduga, setelah memikirkan warna yang pudar, seketika aku terhantar ke "Kota-kota & Kematian" yang diumbar Marco Polo: Adelma, tempat yang hidup dan yang mati berbaur dalam pandangan, selayaknya kota pembuangan. Tapi sayang, tak satu pun kota-kota imajiner Calvino lahir dari tempat pembuangan yang harfiah; atau maaf jika aku luput. Di kepalaku, itulah yang ada, Bandaneira, kota yang tertulis di buku sejarah --yang setengah hati-- terutama menyangkut tokoh revolusi. Akibatnya, perjumpaan de-javu-ku dengan Bandaneira bukan di buku atau sekolah, tapi pada tatapan tak sengaja di sebuah TV hitam-putih, yang sejak zaman revolusi baru tahun itu masuk ke daerahku. Sebenarnya, tak persis aku membayangkan yang tak terlihat, sebab Bandaneira pernah kulihat sekilas di TVRI --dengan berdesakan di rumah dinas PPL di kampungku itulah! Banyak tempat pembuangan dianggap liar dan menakutkan di dunia ini, tetapi pada akhirnya selalu dikenang penuh gairah dan eksotis. Banyak kota pembuangan di zaman revolusi di gugusan kepulauan ini, tak kalah inspiratif, seperti Tanah Merah, Digul, Ende, Prapat atau Manumbing, tapi anehnya Bandaneira yang terus-menerus menguntitku. Ia menguntitku bagai seorang lelaki berbadan tambun yang duduk sejuk di perahu, tapi matanya menyimpan kelam sejarah sekaligus keindahan masa kecil yang tak terlupa. Tak perlu nama menyebutnya, sebab bagiku siapa pun di sana, telah menjelma lelaki itu: mereka yang membangun kota dari kenangan sunyi hutan pala, pulau cantik, jernih air dermaga, kerang, penyu, dan dayung perahu. "Berbahagialah engkau yang punya sejengkal surga di bumi," kata seseorang, serupa nyanyi, tapi sadar hari ke hari semakin sulit dimasuki, dan di tengah perasaan asing seseorang itu melempar jala ke sembarang arah, maka terpukatlah aku menjadi bagian dari dirinya! Calvino, beta tak akan berpaling dari yang hidup atau yang mati, sekalipun di Adelma. Beta masih punya dermaga dan pelaut yang menangkap tali, di Bandaneira⦠O, sebelum pikiran hanyut diseret arus mabuk percakapan Marco Polo dan Kublai Khan, sebaiknya segera kita ke Dapdap Putih sekarang juga! Sebab, tempat ini tampak menyimpan harapan tersembunyi, meski ia tak layak dianggap kota kecil sekalipun. Tapi karena menjadi pangkalan atau tujuan akhir sebuah bus, maka tak terelakkan sebut saja kota kecil. Setahuku, lazim sebuah bus berpangkalan minimal di kota kecamatan, jadi Dapdap Putih kubayangkan demikian. Memang, nama ini kutemukan di trayek sebuah bus di Terminal Ubung, Denpasar, 10 tahun lalu. Sejak itu, ia lekat mengharuku. Tempat seperti apakah gerangan sehingga jadi trayek sebuah bus? Apa bedanya dengan kota-kota kecil lain di pelosok Bali? Aku sudah menyusuri banyak tempat di Bali, mulai Sukawati dan Ubud yang ramai di Gianyar, sampai Kubu, Tianyar, atau Gerokgak di pesisir timur dan utara yang sepi. Aku ingin menyusuri Dadap Putih, tapi terlambat sebab aku tak pernah bersua lagi dengan bus tua itu. Kubalik peta, sekali ada mencantumkan Dapdap saja di Bali Barat, tapi peta yang kumaksud hilang lenyap menyusul tak adanya nama Dapdap di peta yang lain. Aku sadar, Dapdap mungkin sama dengan Berangin Tangi, Marga, Penebel, Seraya, Plaga, Susut atau pelosok lainnya. Tapi, tak ada yang menjadi trayek sebuah bus cukup besar, meski cuma bus tua dan bongkok! Jadi, bus membawa harapan tersembunyi di kepalaku, sama seperti Raissa di ujung lidah Marco Polo, kota di mana orang-orang mengepalkan tangan ketika melangkah di jalan, dan di saat yang sama seorang bocah tertawa melihat anjing melompat ke gudang gandum. Cemas dan harapan berbaur, serupa bibir perawan pertama kali dicium. Karena bus pula, kota-kota berlanjut di kepalaku. Waktu dalam perjalanan mengunjungi seorang kawan di Kepanjen, kernet menyodorkan sobekan karcis kumal bertulisan nama-nama kota tujuan, dan Ambulu segera menggangguku. Kawanku bilang, itu kota kecamatan di Jember, apanya yang menarik? Namun bagiku Ambulu adalah tempat yang seketika di angan; dekat tapi berjauhan. Begitukah Marco Polo mengenang Procopia dalam rangkaian perjalanannya, selalu singgah, tapi merasa tak pernah tiba? Juga Bukateja, kota kecil lain yang sebenarnya bisa dengan gampang kujelang, tapi kubiarkan seolah jauh di seberang. Padahal aku tahu persis letak Bukateja baik di peta, maupun di tempat aslinya, tak jauh dari tempat tinggalku di Yogya. Aku bahkan pernah sampai di daerah sekitarnya seperti Purwokerto, Banjarnegara, dan Purbalingga, tapi berat hatiku untuk sekadar melabuhkan angan ke sana. Apakah aku takut kehilangan tikungan kecil di sudut pasar, lengking rumah pande besi, beringin rindang, lapangan kering, penjual dawet, dan klakson angkutan desa yang kadung berkecambah di kepala? *** MENGENANG kota-kota yang tak pernah dijelang, kecuali dalam angan, lalu takut kehilangan, pertanda apakah? Apakah sekadar ilusi, hilang orientasi, atau menciptakan orientasi baru dan de-javu? Kerap kukerjapkan mata, mengingat, apakah betul aku pernah melihat bus tua dengan dinding dari seng, bodinya agak bongkok, dan di kaca belakang bertulisan Dapdap Putih; apakah benar aku pernah menemukan peta Pulau Jawa di tempat sampah kantor BRI di mana aku pertama kali tertarik nama Bukateja? Begitu seterusnya. Aku tak habis pikir mengapa nama-nama ini yang tetap tinggal begitu lama, sementara nama-nama lain yang tak kalah imajinatifnya perlahan pudar bahkan sirna? Dulu aku dengungkan Kotamobagu, Muncar, Pangkalan Bun, Wakabubak, Larantuka, Ledalero, Seumolaki, dan entah apa lagi, tapi timbul-tenggelam dalam arus pikiran; barangkali soal momentum, perantara atau benda-benda tempat pertama kali kita bersua, menyergap, dan tinggal selamanya. Sebuah kota lahir dan tumbuh dari apa pun, bukan? Kini aku hanya merasa perlu merenungkan kata-kata Marco Polo atau Calvino, dengan gairah dan sedikit rasa cemas, "kota-kota layaknya mimpi, terbentuk oleh hasrat dan rasa takut, sekalipun perbincangan mereka dirahasiakan, peraturan mereka absurd, persfektif mereka palsu, dan segala sesuatunya menyembunyikan sesuatu yang lain...kota-kota juga percaya mereka terbentuk oleh pikiran atau secara kebetulan, tapi tak satu pun dari kedua hal tersebut mampu menopang dinding-dindingnyaâ¦" "Aku tidak memiliki hasrat atau pun rasa takut," seolah kudengar Kublai Khan menyahut, tapi kurasa, aku tak perlu mengikutinya. Aku masih ingin terus menyusuri kota-kota kecil yang kucintai, yang belum pernah kujumpai --kadang dengan hasrat besar dan rasa cemas-- sehingga terlalu ganjil untuk kumiliki sendiri. Maka, kubagi mereka kepada Anda semua, mana tahu Anda pun memikirkan hal yang sama. Mari, masuklah! Raudal Tanjung Banua Rumahlebah Yogyakarta, 2006-2007 Catatan kaki: 1 Lihat Jawa Pos Minggu, 6 Mei 2007 hal. 5. 2 Lihat sajak "Tarian" Acep Zamzam Noor, dalam Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004). 3 Cerita ini merupakan respon kreatif atas buku Italo Calvino, Kota-kota Imajiner (Fresh Book, Jakarta, 2006) terjemahan Erwin Salim. Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 1975. Mengasuh Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=295549 [EMAIL PROTECTED] milisgrup opini alternatif http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ penerbit buku sejarah alternatif http://progind.net/ kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan http://herilatief.wordpress.com/ --------------------------------- Luggage? GPS? Comic books? Check out fitting gifts for grads at Yahoo! Search. [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/