Kota-Kota Kecil yang Terus Hidup di Kepalaku
   
   
  SEBUAH kota bisa lahir dan tumbuh dari apa pun. Mungkin dari perempatan, 
pasar, peta perjalanan, oase, dermaga, dan segala hal di luar dugaan. Di 
perbatasan tanah air, kau tahu, sebuah kota pernah lahir bagai satu malam, 
konon untuk menandingi sebuah negara-kota tetangga yang sudah dibangun sejak 
zaman kolonial. Meski didorong rasa cemburu yang sia-sia, toh kota itu tak 
lekang diharu-biru kaum urban dari segala asal. Sebuah kota lain tumbuh pesat 
di suatu tempat di mana sepasang kekasih yang tak direstui pernah jatuh dari 
kereta api. Berkat kisahnya yang ditulis tak putus di berbagai tabloid kuning 
ataupun biru, banyaklah peziarah datang ke tempat itu, mungkin penasaran, 
sekadar menabur bunga, introspeksi cinta-kasih, atau yang pada akhirnya jatuh 
cinta justru kepada tempat jatuh sepasang sejoli itu, lantaran alam dan 
udaranya bagus buat mata dan paru-paru. Muncullah warung-warung tenda, vila 
peristirahatan, lalu pasar dan swalayan dibuka, rumah-rumah tumbuh, tak sekadar
 tempat singgah. 
   
  Di berita lain kubaca seorang nenek hendak menjual kota kenangannya, Sibley, 
di tepi Danau Ashatabula yang tenang. Kabarnya, Nenek Toots, beserta 
pasangannya, Eddie, sejak tahun 1954 mendirikan penginapan dan tempat dansa 
untuk para pemancing, yang lalu terpancing terus datang ke sana. Lahan itu pun 
berkembang jadi kota mungil yang kini hendak dilelang si empunya dengan linang 
air mata.1) 
   
  Kota-kota di pantai utara Jawa konon muncul dari gardu peristirahatan kereta 
kuda yang berkisar antara 25-30 km jaraknya. Ya, banyak kota lahir dan tumbuh, 
di berbagai tempat dan waktu, di luar dugaan dan kemegahan, sebagaimana 
kota-kota kecil yang hidup ajaib di kepalaku…
   
  Benar, di kepalaku, sebuah kota kecil pernah lahir dari radio, dari suara 
penyiar RRI yang terasa terus bergema hingga kini. Kota lain muncul dari kertas 
buram soal ujian kelulusan sekolah; dari TV hitam-putih; dari kaca belakang 
sebuah bus tua; dari selembar karcis bus ekonomi; dan dari peta Pulau Jawa yang 
tergeletak sobek di tempat sampah.
  Rasanya penting menyebut detail sumber kelahiran kota-kota kecil yang terus 
hidup di kepalaku ini. Sebab, jika sebuah wadah berubah, taruhlah yang kudengar 
bukan siaran RRI, tapi siaran radio swasta, niscaya tak akan ada kota yang 
lahir; atau lahir ia, tapi belum tentu hidup di kepala. Lagi pula, radio swasta 
tak pernah bertandang ke ladang, mungkin karena itu tak punya "cabe merah" 
apalagi yang keriting, wortel tanpa daun, mars sapta marga, atau seriosa 
--kecuali cuap ala kota besar, gemuruh iklan, koor-nada "lu-gua" serentak 
bergema di dingin udara. Tentu juga tak ada acara Kotak Pos kegemaranku, asuhan 
seorang penyiar yang suaranya lebih mirip penyair; dan dengan itu ia membangun 
dua kota kecil sekaligus di kepalaku. Pun kalau soal ujianku dicetak di kertas 
HVS putih dan TV yang kutonton berwarna 24 inci; ia mungkin mencipta kota lain 
atau tidak sama sekali. Tak akan ada Kotanopan, Rimbobujang, Pelaihari, 
Bandanaira, Dapdap Putih, Bukateja, Ambulu, o, kota-kota kecil
 yang terus mengharuku! Menggoda dan membangkitkan ingatan tentang tempat dan 
alamat, tapi hanya bisa kujelang dalam angan! Di tengah ruang dan waktu yang 
gampang ditembus, semua bisa saja kujelang, satu per satu, apalagi semuanya tak 
lebih kota-kota kecil dalam negeri, tapi tidak, tapi tidak; mengingatnya, 
kemabukan tersendiri bagiku!2)
   
  Hanya dengan begitulah ia terus hidup sebagai kota imajiner, meskipun jika 
kelak aku datang ke salah satu kota itu, tetap tak mudah mempertukarkan 
kenyataan dan bayangan yang telah kubangun bertahun-tahun, susah-payah 
membuatnya ranum. Biarlah kenyataan dan bayangan menjadi dua dunia yang 
membangun ruang, jalan dan lorong-lorongnya sendiri. Labirin, peta dan arahnya 
sendiri. Kini, Anda pasti tahu, sedang merujuk ke manakah aku gerangan; ya, ya, 
ke Kota-kota Imajiner-nya Italo Calvino 3), dalam sebuah buku merah dadu yang 
sejak berapa waktu lalu menggangguku. Akhirnya, dengan gemetar, semalaman 
kujelajahi bab demi bab, berbarengan bangkitnya kota-kota kecil di kepalaku, 
berkelebat, meriap; biru, biru! Dekat, tapi jauh…

  ***
   
  BEGITULAH, ingatanku bangkit saat halaman pertama buku itu kusentuh. Kumasuki 
"Kota-kota & Kenangan" yang terdedah di sana, namun selalu campur-aduk dengan 
kota-kota dan kenanganku sendiri. "Ketika seseorang mengendarai kuda cukup lama 
melewati kawasan liar, ia segera merasakan hasrat akan sebuah kota," tulis 
Calvino, seperti dahaga. Tapi sebelum sampai ke sebuah kota, Isidora, ingatanku 
singgah di kawasan perladangan, tak kelewat liar, tempat aku dan keluarga 
petaniku yang merana pernah tinggal. Di sanalah sebuah kota kecil pernah lahir 
dari radio transistor yang mendesis lewat bukit-bukit. Malam hari, di antara 
nyaring suara uir-uir rimba, benda itu menjadi perantara satu-satunya bagiku 
dalam membayangkan suatu tempat --lebih sering sebuah kota-- sampai aku merasa 
bagian dari dunia. 
   
  Kadang, di sela desis dan gemersik suaranya yang tak kunjung jernih, terselip 
siaran berlogat Melayu atau lagu-lagu Mandarin. Padahal yang kuharap hanyalah 
siaran RRI Padang menyiarkan acara kesukaanku, Kotak Pos, sekali sepekan. Acara 
tanya-jawab lewat surat pemirsa tentang berbagai hal itu, diselingi lagu-lagu 
pilihan; dan Kak Marni, pengasuhnya, membacakan surat, sekaligus menjawabnya. 
Suaranya jernih-jernih empuk, meski kubayangkan orangnya tak muda lagi. Acara 
dibuka-tutup dengan ilustrasi musik Aku Anak Desa, yang terus bergema di 
telinga kerangku. Nama pengirim surat yang dibacakan boleh saja hilang, 
alamatnya tak terbilang, tapi nama dua kota tetap tinggal di lorong ingatanku 
hingga sekarang, Kotanopan dan Rimbobujang. Aku tidak tahu bagaimana warga 
kedua kota itu bisa mendengar siaran RRI Padang, sebab terletak di lain 
provinsi, tapi boleh jadi karena letaknya di perbatasan, atau pengirimnya 
mahasiswa asal Kotanopan dan Rimbobujang yang kuliah di Kota Padang.
 Entahlah, aku tak ingat benar, kecuali bahwa kedua nama kota itu tinggal tak 
lekang dalam pikiran.
   
  Kotanopan, diam-diam membangun dirinya dalam pikiranku lewat bayangan 
rumah-rumah papan yang di bagian terpadat adalah pasar. Di sebuah tanah lapang, 
sore hari, anak-anak mudanya kompak bermain voli, tapi malamnya sebagian suka 
bergitar di atas pagar atau ujung jembatan. Seutas dari jalan itu adalah jalan 
lintas provinsi, di mana truk dan bus-bus malam lewat selalu di saat kota telah 
lelap, sehingga jika saja anak-anak muda yang bergitar hingga larut tak 
mengumbar cerita tentang kejadian semalam (misal, soal rokok dan pertengkaran 
dengan sopir dekat jembatan), maka penghuni kota hanya tahu bahwa kotanya tak 
pernah dilintasi oleh apa pun, kecuali kendaraan di siang hari yang sudah 
diakrabi. Tak tahu, manakah jiwa kota yang sebenarnya, anak-anak muda yang 
bergitar dan bertengkar dekat jembatan, atau para orang tua yang lekas tidur; 
sebab apalah bedanya pertengkaran dan dengkur. 
   
  Sementara Rimbobujang tumbuh di kepalaku sebagai daerah transmigran yang 
terus berkembang, terutama berkat saluran-saluran airnya yang digali memanjang 
di tengah rawa-rawa, di mana air terus penuh, meski juga tak pernah melimpah. 
Air itu, baik dialirkan maupun ditimba, dipakai warga menyiram palawija, bahkan 
di musim hujan, sebab mengalirkan dan menimba telah menjadi siklus kerja yang 
tak terputus sekalipun oleh musim. Rawa yang mengering dijadikan tempat 
membangun rumah, menumbuhkan perkampungan, dan pematang-pematang menjelma 
jalanan lempang, meski jika musim hujan kembali becek sesuai kontur tanah. 
Orang-orang trans adalah mereka yang tabah. Ini terbukti dari lamanya jalan di 
Rimbobujang dibiarkan tak mengenal aspal. Barulah sehabis kunjungan seorang 
pejabat dari Jawa, aspal panas seperti berlomba menyiram jalanan, bahkan saking 
bersemangatnya, halaman pasar pun diaspal oleh orang-orang proyek yang secara 
ajaib bekerja siang-malam entah atas perintah siapa. Tapi
 terbukti kemudian, Rimbobujang tumbuh sebagai kota kecil pemasok sayur-mayur 
dengan warga cukup makmur, dan boleh dikata kota kecil pertama punya listrik di 
pedalaman Sumatera. 
   
  Jadi, "ketika seseorang yang mengendarai kuda merasakan hasrat sebuah kota", 
seperti ditulis Calvino, maka sesungguhnya ia tak akan pernah sampai ke 
Isidora, kecuali berputar-putar di jalanan yang bersisian di Kotanopan; dan 
setengah putus asa ia akan melecut kudanya tanpa alasan, maka seketika itu juga 
ia terhantar ke tengah perkampungan bekas rawa-rawa di Rimbobujang, sampai ia 
sendiri ingin ke luar, tapi tak bisa-bisa. Lalu sambil bersorak, "Haiya!" 
lagi-lagi ia akan kembali ke sebuah lepo tuak di Kotanopan, dan bila ia mabuk 
dan mengigau dekat jembatan, menyeru, "Isidora! Isidora!" di saat yang sama 
para peronda di Rimbobujang, dengan lilitan kain sarung di leher, akan 
menemukan seseorang tergeletak di rerumputan ditunggui dengus kudanya. Dan 
ketika bangun, si penunggang kuda tak bisa mengelak: ia telah menyerah ke dalam 
pelukan dua kota kecil ini sekaligus, sebaik ia membayangkan Isidora entah di 
mana. Hasrat telah menjadi kenangan, tulis Calvino menutup bagian ini;
 sebaliknya aku, sebagai si penunggang kuda itu, akan menjadikan kenangan 
sebagai hasrat yang berlarat…

  ***

  KINI Calvino bercerita kepadaku --tentu lewat tokohnya Marco Polo, atau Marco 
Polo lewat Calvino?-- tentang Zenobia, kota yang menakjubkan: berdiri di atas 
tanah lapang kering, tegak pada tiang-tiang pancang, dan rumah-rumahnya terbuat 
dari bambu serta seng. Sebuah kota kecil yang dipenuhi gentong penyimpan air, 
katrol-katrol yang menonjol, galah ikan dan burung bangau. Seperti Kublai Khan 
--tapi tak hendak menundukkan--aku hanyut mendengarkan, namun pelan dan pasti, 
ingatanku mengalir ke kota kecilku sendiri yang tak pernah mati, Pelaihari. 
   
  Aku mengenal Pelaihari saat ujian kelulusan sekolah menengah pertama, lewat 
pertanyaan sederhana, "Pelaihari adalah daerah penghasil a. Tebu b. Karet c. 
Kelapa sawit d. Cengkeh". Kusilang b, tapi selang sehari buku geografi 
menunjukkan jawaban yang benar adalah a. Alih-alih menyesal, nama Pelaihari 
justru sering kulafalkan dan bayangan kota kecil dengan rumah-rumah bercat 
kapur putih seketika jadi hablur. Ada dua utas jalan melintas, lalu menyilang 
menyerupai tangkai ketapel, diaspal tambal sulam; beberapa alat berat dibiarkan 
telantar di pinggir jalan, ditutup terpal hitam sehingga menyerupai makhluk 
asing yang masif. Tiang bendera. SD berdinding papan. Tali bandar. Rumah tua 
Banjar. Orang-orang bercaping lebar. Semuanya, silang-menyilang membentuk ruang 
dan bayangan imajinatif, bertahun-tahun, tanpa bosan. 
   
  Jika bosan, kususuri jalan ke perkebunan --maaf, sampai kini masih rancu, 
kadang karet kadang tebu-- melewati tebaran kerikil-kerikil kecil. Membuat 
pick-up yang lewat melenting-lenting. Di beberapa bagian yang landai, sepeda 
roda dua membuat jalur sendiri di tepi-tepi. Debu membubung, tapi tidak lebih 
dulu hinggap di pagar. Angin yang kerap santer menerbangkan debu jauh ke balik 
pagar --melintasi keluasan halaman-- dan akhirnya hinggap di dinding 
rumah-rumah yang dicat putih-putih. Lama-kelamaan warnanya berubah kuning, dan 
kebanyakan orang menganggap ini setara benar dengan warna kuning pakaian 
kebesaran seorang pangeran sakti dalam legenda daerah mereka. Sebaliknya, 
deretan perkantoran dan pertokoan yang terlokalisir di titik koordinat tangkai 
ketapel, yang semula dicat kuning-kuning --sebagai simbol penghormatan pada 
kisah leluhur-- justru terlihat putih susu lantaran sinar matahari bagai jatuh 
di situ sepanjang hari, dan seperti matahari, semuanya dibiarkan, seolah
 memang begitulah pusat kota itu tercipta sejak awal, begitu juga nanti 
akhirnya --dan pangeran tak boleh marah, sebab dengan niat baik segala sesuatu 
cukuplah.
   
  Maka, seperti Zenobia, aku tak tahu apakah Pelaihari kota yang bahagia atau 
merana. Apakah kota yang meniadakan hasrat atau terhapuskan oleh hasrat. Aku 
setuju dengan Marco atau Calvino --entahlah kalau dengan Kublai-- untuk tak 
kelewat peduli pada soal bahagia atau merana, tapi aku juga tak merasa penting 
akan hasrat kali ini. Sambil mengerjapkan mataku yang seolah kemasukan debu 
jalanan Pelaihari atau silau cahaya putih susu matahari, aku tertarik 
memikirkan apakah Pelaihari kota yang memberi atau menerima --dengan memilih 
dan membiarkan warna-warnanya pudar sendiri…

  ***

  TAK terduga, setelah memikirkan warna yang pudar, seketika aku terhantar ke 
"Kota-kota & Kematian" yang diumbar Marco Polo: Adelma, tempat yang hidup dan 
yang mati berbaur dalam pandangan, selayaknya kota pembuangan. Tapi sayang, tak 
satu pun kota-kota imajiner Calvino lahir dari tempat pembuangan yang harfiah; 
atau maaf jika aku luput. Di kepalaku, itulah yang ada, Bandaneira, kota yang 
tertulis di buku sejarah --yang setengah hati-- terutama menyangkut tokoh 
revolusi. Akibatnya, perjumpaan de-javu-ku dengan Bandaneira bukan di buku atau 
sekolah, tapi pada tatapan tak sengaja di sebuah TV hitam-putih, yang sejak 
zaman revolusi baru tahun itu masuk ke daerahku. Sebenarnya, tak persis aku 
membayangkan yang tak terlihat, sebab Bandaneira pernah kulihat sekilas di TVRI 
--dengan berdesakan di rumah dinas PPL di kampungku itulah! 
   
  Banyak tempat pembuangan dianggap liar dan menakutkan di dunia ini, tetapi 
pada akhirnya selalu dikenang penuh gairah dan eksotis. Banyak kota pembuangan 
di zaman revolusi di gugusan kepulauan ini, tak kalah inspiratif, seperti Tanah 
Merah, Digul, Ende, Prapat atau Manumbing, tapi anehnya Bandaneira yang 
terus-menerus menguntitku. Ia menguntitku bagai seorang lelaki berbadan tambun 
yang duduk sejuk di perahu, tapi matanya menyimpan kelam sejarah sekaligus 
keindahan masa kecil yang tak terlupa. Tak perlu nama menyebutnya, sebab bagiku 
siapa pun di sana, telah menjelma lelaki itu: mereka yang membangun kota dari 
kenangan sunyi hutan pala, pulau cantik, jernih air dermaga, kerang, penyu, dan 
dayung perahu. "Berbahagialah engkau yang punya sejengkal surga di bumi," kata 
seseorang, serupa nyanyi, tapi sadar hari ke hari semakin sulit dimasuki, dan 
di tengah perasaan asing seseorang itu melempar jala ke sembarang arah, maka 
terpukatlah aku menjadi bagian dari dirinya!
   
  Calvino, beta tak akan berpaling dari yang hidup atau yang mati, sekalipun di 
Adelma. Beta masih punya dermaga dan pelaut yang menangkap tali, di 
Bandaneira…
   
  O, sebelum pikiran hanyut diseret arus mabuk percakapan Marco Polo dan Kublai 
Khan, sebaiknya segera kita ke Dapdap Putih sekarang juga! Sebab, tempat ini 
tampak menyimpan harapan tersembunyi, meski ia tak layak dianggap kota kecil 
sekalipun. Tapi karena menjadi pangkalan atau tujuan akhir sebuah bus, maka tak 
terelakkan sebut saja kota kecil. Setahuku, lazim sebuah bus berpangkalan 
minimal di kota kecamatan, jadi Dapdap Putih kubayangkan demikian. Memang, nama 
ini kutemukan di trayek sebuah bus di Terminal Ubung, Denpasar, 10 tahun lalu. 
Sejak itu, ia lekat mengharuku. 
   
  Tempat seperti apakah gerangan sehingga jadi trayek sebuah bus? Apa bedanya 
dengan kota-kota kecil lain di pelosok Bali? Aku sudah menyusuri banyak tempat 
di Bali, mulai Sukawati dan Ubud yang ramai di Gianyar, sampai Kubu, Tianyar, 
atau Gerokgak di pesisir timur dan utara yang sepi. Aku ingin menyusuri Dadap 
Putih, tapi terlambat sebab aku tak pernah bersua lagi dengan bus tua itu. 
Kubalik peta, sekali ada mencantumkan Dapdap saja di Bali Barat, tapi peta yang 
kumaksud hilang lenyap menyusul tak adanya nama Dapdap di peta yang lain. Aku 
sadar, Dapdap mungkin sama dengan Berangin Tangi, Marga, Penebel, Seraya, 
Plaga, Susut atau pelosok lainnya. Tapi, tak ada yang menjadi trayek sebuah bus 
cukup besar, meski cuma bus tua dan bongkok! Jadi, bus membawa harapan 
tersembunyi di kepalaku, sama seperti Raissa di ujung lidah Marco Polo, kota di 
mana orang-orang mengepalkan tangan ketika melangkah di jalan, dan di saat yang 
sama seorang bocah tertawa melihat anjing melompat ke
 gudang gandum. Cemas dan harapan berbaur, serupa bibir perawan pertama kali 
dicium.
   
  Karena bus pula, kota-kota berlanjut di kepalaku. Waktu dalam perjalanan 
mengunjungi seorang kawan di Kepanjen, kernet menyodorkan sobekan karcis kumal 
bertulisan nama-nama kota tujuan, dan Ambulu segera menggangguku. Kawanku 
bilang, itu kota kecamatan di Jember, apanya yang menarik? Namun bagiku Ambulu 
adalah tempat yang seketika di angan; dekat tapi berjauhan. Begitukah Marco 
Polo mengenang Procopia dalam rangkaian perjalanannya, selalu singgah, tapi 
merasa tak pernah tiba? Juga Bukateja, kota kecil lain yang sebenarnya bisa 
dengan gampang kujelang, tapi kubiarkan seolah jauh di seberang. Padahal aku 
tahu persis letak Bukateja baik di peta, maupun di tempat aslinya, tak jauh 
dari tempat tinggalku di Yogya. Aku bahkan pernah sampai di daerah sekitarnya 
seperti Purwokerto, Banjarnegara, dan Purbalingga, tapi berat hatiku untuk 
sekadar melabuhkan angan ke sana. Apakah aku takut kehilangan tikungan kecil di 
sudut pasar, lengking rumah pande besi, beringin rindang, lapangan
 kering, penjual dawet, dan klakson angkutan desa yang kadung berkecambah di 
kepala?

  ***

  MENGENANG kota-kota yang tak pernah dijelang, kecuali dalam angan, lalu takut 
kehilangan, pertanda apakah? Apakah sekadar ilusi, hilang orientasi, atau 
menciptakan orientasi baru dan de-javu? Kerap kukerjapkan mata, mengingat, 
apakah betul aku pernah melihat bus tua dengan dinding dari seng, bodinya agak 
bongkok, dan di kaca belakang bertulisan Dapdap Putih; apakah benar aku pernah 
menemukan peta Pulau Jawa di tempat sampah kantor BRI di mana aku pertama kali 
tertarik nama Bukateja? Begitu seterusnya. 
  Aku tak habis pikir mengapa nama-nama ini yang tetap tinggal begitu lama, 
sementara nama-nama lain yang tak kalah imajinatifnya perlahan pudar bahkan 
sirna? Dulu aku dengungkan Kotamobagu, Muncar, Pangkalan Bun, Wakabubak, 
Larantuka, Ledalero, Seumolaki, dan entah apa lagi, tapi timbul-tenggelam dalam 
arus pikiran; barangkali soal momentum, perantara atau benda-benda tempat 
pertama kali kita bersua, menyergap, dan tinggal selamanya. Sebuah kota lahir 
dan tumbuh dari apa pun, bukan?
   
  Kini aku hanya merasa perlu merenungkan kata-kata Marco Polo atau Calvino, 
dengan gairah dan sedikit rasa cemas, "kota-kota layaknya mimpi, terbentuk oleh 
hasrat dan rasa takut, sekalipun perbincangan mereka dirahasiakan, peraturan 
mereka absurd, persfektif mereka palsu, dan segala sesuatunya menyembunyikan 
sesuatu yang lain...kota-kota juga percaya mereka terbentuk oleh pikiran atau 
secara kebetulan, tapi tak satu pun dari kedua hal tersebut mampu menopang 
dinding-dindingnya…" 
   
  "Aku tidak memiliki hasrat atau pun rasa takut," seolah kudengar Kublai Khan 
menyahut, tapi kurasa, aku tak perlu mengikutinya. Aku masih ingin terus 
menyusuri kota-kota kecil yang kucintai, yang belum pernah kujumpai --kadang 
dengan hasrat besar dan rasa cemas-- sehingga terlalu ganjil untuk kumiliki 
sendiri. Maka, kubagi mereka kepada Anda semua, mana tahu Anda pun memikirkan 
hal yang sama. Mari, masuklah! 
   
  Raudal Tanjung Banua
  Rumahlebah Yogyakarta, 2006-2007
  
Catatan kaki:
   
  1 Lihat Jawa Pos Minggu, 6 Mei 2007 hal. 5.
2 Lihat sajak "Tarian" Acep Zamzam Noor, dalam Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 
2004).
3 Cerita ini merupakan respon kreatif atas buku Italo Calvino, Kota-kota 
Imajiner (Fresh Book, Jakarta, 2006) terjemahan Erwin Salim.
  
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, Sumbar, 19 Januari 
1975. Mengasuh Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakarta. 
   
  http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=295549
   
   


      
[EMAIL PROTECTED]
milisgrup opini alternatif

  
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/
penerbit buku sejarah alternatif

  
http://progind.net/
kolektif info coup d'etat 65: kebenaran untuk keadilan

  http://herilatief.wordpress.com/




       
---------------------------------
Luggage? GPS? Comic books? 
Check out fitting  gifts for grads at Yahoo! Search.

[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke