Refleksi : Jangan mencuri, tetapi korupsi! Sebab pencuri bisa berat dihukum 
masayarakat setempat dan juga hukuman negara pun demikian. Tetapi, koruptor 
nasibnya tidak seburuk pencuri, kalau koruptor dihukum bisa goyang kaki duit 
korupsi bermamak biak.  Makanan pun selalu bisa istimewa, kesehatan syawat 
terjamin tidurnya di kasur empuk. Weekend bisa plesiran ke rumah isteri dan 
gundik. pelayan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah. Hehehehe

http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/anak-di-mata-hukum-mencuri-sebatang-rokok-tujuh-tahun-penjara/

Selasa, 20 Juli 2010 13:03 
Anak di Mata Hukum Mencuri Sebatang Rokok, Tujuh Tahun Penjara
OLEH: GLORIA TAMBA SH



Malang nian nasib Ucok (nama samaran, 17 tahun), pemuda putus sekolah asal Kota 
Medan. 

     
Maksud hati merantau ke Ibu Kota Negara Republik Indonesia, Jakarta, untuk 
bekerja. Tetapi, apa daya langkahnya terpaksa terhenti hanya karena "ulah 
isengnya" mencuri sebatang rokok di sebuah warung rokok di se­putaran daerah 
Museum Fatahillah, kawasan Kota, Jakarta Barat. 


Peristiwa yang terjadi di malam hari, pada awal bulan Juni 2010 lalu, itu pun 
me­ngantarkan Ucok mendekam di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Pondok Bambu, 
Jakarta Timur, bersama tahanan-tahanan lainnya, yang kebanyakan adalah orang 
dewasa, sambil menantikan proses hukum yang harus dihadapinya.


Entah apa yang ada di pikiran Ucok saat melakukan tindakan tersebut. Sewaktu 
tim pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron datang menemui Ucok 
di Rutan Pondok Bambu, pemuda kurus ini bercerita bahwa pada awalnya dia hanya 
berniat mengambil makanan di dalam warung tersebut karena rasa lapar yang 
mendera. 


Ucok, yang ternyata adalah seorang anak jalanan, sudah dua hari tidak makan. 
Namun, di warung tersebut ternyata tidak ada makanan yang bisa diambilnya, 
sehingga Ucok pun "iseng" mengambil sebatang rokok, dan pada saat itu juga 
mengisapnya di situ. Namun sial baginya, ulahnya tersebut dipergoki oleh 
seorang satpam yang kebetulan lewat dan melihat tindakan Ucok.
Sadar ulahnya diketahui, Ucok pun berniat kabur. Namun, ternyata dirinya telah 
diteriaki sehingga massa beramai-ramai mengejar Ucok. Takut menjadi 
bulan-bulanan massa, Ucok pun terus berlari dan kebetulan melihat ada Pos RW di 
sekitar situ. Akhirnya Ucok masuk ke dalam Pos RW tersebut dengan maksud 
meminta perlindungan agar tidak dihakimi massa. Setelah itu, Ucok diserahkan 
(ditangkap) oleh anggota kepolisian dari Polsek Tambora, Jakarta Barat, dengan 
sangkaan telah melanggar Pasal 363 KUHP, yang diancam dengan pidana penjara 
selama 7 tujuh tahun.

Potret Ibu Kota
Cerita Ucok di atas hanyalah sebuah titik kecil dari akumulasi lembar cerita 
kehidupan warga yang ter­pinggirkan oleh arus pemba­ngunan di Ibu Kota. 
Beribu-ribu warga pinggiran lainnya, termasuk anak-anak yang jumlahnya tidak 
sedikit, mungkin pernah mengalami hal yang sama dengan Ucok, atau bahkan lebih 
tragis lagi. Mereka melakukan tindak kejahatan karena tekanan keadaan atau 
keadaan terpaksa, demi kelangsungan hidup.


Bagi Ucok, anak jalanan yang minim pendidikan dan perhatian dari orang-orang di 
sekitarnya, mengambil sebatang rokok mungkin tidaklah dipahami sebagai 
kejahatan yang berakibat fatal dan diancam dengan hukuman pidana yang tinggi. 
Sebagaimana penuturan polosnya, dia melakukan tindakan tersebut hanya karena 
iseng, karena tujuan awalnya untuk mencuri makanan tidak tercapai. 
Ketidaktahuan, ketidakpahaman, perbuatan iseng, dan kepolosan pada akhirnyalah 
yang membawa Ucok ke balik jeruji besi.


Dalam konteks ini, rasanya tidaklah begitu salah untuk mengatakan bahwa Ucok 
sebenarnya bukanlah murni "pelaku" kejahatan, melainkan justru telah menjadi 
"korban". Korban dari lingkungan yang tidak mendidiknya, yang membentuknya 
menjadi anak nakal dan harus berhadapan dengan hukum.

Upaya Terbaik 
Dalam setiap kasus hukum, penegakan hukum memang harus selalu diutamakan. Akan 
tetapi, dalam kasus Ucok ini, karena "kenakalannya" mencuri sebatang rokok, 
pantaskah ia dikenakan hukuman berupa penahanan, ancaman pidana yang tinggi, 
dan proses persidangan yang panjang?


Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) telah mengamanatkan pemerintah dan 
lembaga negara lainnya untuk wajib dan bertanggung jawab memberikan 
perlindungan khusus terhadap anak, apalagi anak yang berhadapan dengan hukum. 
Salah satu bentuk perlindungan khusus tersebut adalah berupa penjatuhan sanksi 
yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak. Hal ini tidak lain karena anak 
merupakan tunas bangsa yang masih mempunyai harapan masa depan, masih dapat 
tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, mental, spiritual dan sosial.


UU PA menjamin agar anak terlindung dari penjatuhan hukuman yang tidak 
manusiawi. Dalam proses hukum, hak anak pun harus tetap terlindungi. Tindakan 
penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara terhadap anak hanya 
dilakukan sebagai upaya terakhir, setelah upaya lainnya seperti dikembalikan 
kepada orang tua atau diserahkan kepada Kementerian Sosial, tidak dapat 
dilakukan.


Dapat dibayangkan bagaimana terganggunya perkembangan psikologis anak yang 
melakukan kejahatan, ketika dihadapkan dengan proses hukum, bahkan langsung 
dikenakan penahanan. Di titik ini penderitaan anak bermula. Anak dimasukkan ke 
dalam sel tahanan. Lalu, ia tidak bisa melanjutkan pendidikan, terputus 
komunikasi dengan orang tua, keluarga dan teman, sehingga tidak ada tempat 
baginya mengadu dan meminta perlindungan terhadap hal yang dirasakan dan 
dialaminya.


Semestinya, penahanan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana tidak 
mutlak harus diberlakukan, bahkan seharusnya tidak dilakukan. Dera dan 
goncangan yang begitu kuat pada mental dan psikis sangat mungkin tercipta di 
dalam tahanan, karena anak sangat rentan terhadap semua kondisi perubahan, 
terutama perubahan lingkungan. Anak tidaklah sama dengan orang dewasa, baik 
secara rasional, emosio­nal, sosial maupun moral untuk dapat memahami 
tindakannya.


Penegak hukumlah yang semestinya mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak 
dalam proses penegakan hukum. Salah satunya dengan menggunakan alternatif 
"hukuman" lain selain pidana formal. Misalnya, dengan mengembalikan anak kepada 
orang tuanya atau menempatkan anak di pusat-pusat pembinaan, pendidikan, atau 
latihan kerja. 
Dengan demikian, anak yang melakukan kejahatan tidak langsung ditangkap, 
ditahan dan diajukan ke pe­ngadilan, melainkan "di­pulihkan" melalui pendidikan 
yang bermanfaat baginya. Bila langkah ini bisa diterapkan, tidakkah sebaiknya 
segera di­terapkan saja pada Ucok atau anak-anak nakal lainnya?

Penulis adalah Kepala Divisi Non-litigasi LBH Mawar Saron.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke