http://www.marxist.com/piala-dunia-dan-kediktaturan.htm

Piala Dunia sudah berakhir. Ketika debu perayaan telah hilang, ketika 
botol-botol anggur telah kering dan orang-orang bangun dari mabuk mereka, wajah 
buruk krisis kapitalis akan kembali menatap rakyat. Ini cerita mengenai dilema 
rakyat Argentina dan kecintaannya pada sepakbola, ketika mereka memenangkan 
Piala Dunia 1978 di bawah junta militer, dimana sorak sorai rakyat bercampur 
dengan jeritan puluhan ribu tahanan politik yang disiksa dan dibunuh.

Lebih dari 700 juta orang di seluruh dunia menyaksikan Spanyol memenangkan 
Piala Dunia melawan Belanda. Untuk "La Furia Roja", dan 46 juta rakyat Spanyol 
di belakangnya, piala Julies Rimet sungguh adalah sesuatu yang mereka butuhkan 
di tengah krisis ekonomi terbesar yang sedang mereka hadapi. Piala ini akan 
memberikan satu kelegaan bagi jutaan yang kehilangan pekerjaan mereka.

Del Bosque, manejer tim Spanyol mengatakan ini sekembalinya dari Afrika 
Selatam, "Spanyol patut menang. Ini jauh melebihi olahraga. Kita harus 
merayakan ini dan kami senang bisa mempersembahkan kemenangan ini ke semua 
penduduk Spanyol." Di sini kita melihat usaha untuk "menyatukan bangsa", 20% 
penganggur, pekerja sementara, buruh murah, dan juga para bankir Spanyol, 
kapitalis, dan keluarga kerajaan.

Akan tetapi, ketika debu perayaan telah hilang, ketika botol-botol anggur telah 
kering dan orang-orang bangun dari mabuk mereka, wajah buruk krisis kapitalis 
akan kembali menatap mereka. Tidak ada piala Julies Rimet dan Henri Delaunay 
yang cukup untuk menyelesaikan kontradiksi di dalam masyarakat Spanyol. Sirkus 
telah selesai, dan sekarang kembali ke kesengsaraan di bawah kapitalisme.

Untuk rakyat pekerja Afrika Selatan, ini juga benar. Kebanggaan nasional 
menjadi tuan rumah dari kompetisi olahraga yang paling populer akan hilang 
dengan cepat. Kembali kerja, hari ini hari Senin! Soccer City, yang awalnya 
dilihat sebagai pencapaian nasional Afrika Selatan dan juga sebuah "tanah 
keramat" dimana Nelson Mandela memberikan pidatonya yang pertama setelah 
dibebaskan dari penjara, akan segera menjadi kebalikannya. Sebuah stadium 
multi-milyar yang berdiri di tengah kemiskinan yang memuakkan. Sebuah kemewahan 
lampu-lampu "Las Vegas' ketika banyak rakyat yang hidup di dalam kegelapan.

Tetapi bila ada lebih dilema yang bisa diceritakan mengenai Piala Dunia, ini 
adalah Argentina, yang menjadi tuan rumah dan juara Piala Dunia 1978 di bawah 
rejim junta militer Jorge Rafael Videla [yang menumbangkan Isabel Peron pada 24 
Maret 1976 dan menjadi presiden sebagai anggota dari tiga-orang junta militer]. 
Ini juga merupakan titel Piala Dunia pertama untuk Argentina, secara ironis 
juga dengan mengalahkan Belanda 3-1 setelah perpanjangan waktu. Ada sebuah rasa 
suka cita yang besar, tetapi setelah debu menghilang – dan ini lima tahun 
kemudian – kejahatan rejim junta yang kejam terungkap dan mengejutkan 
masyarakat Argentina dan dunia. Diperkirakan antara 9.000 sampai 30.000 
komunis, sosialis, aktivis buruh, jurnalis, dll. dibunuh atau "dihilangkan".

Bertahun-tahun kemudian, Oscar Ortiz, salah satu anggota tim 1978 mengatakan: 
"Aku akan menukarkan piala ini untuk menghentikan apa yang terjadi selama 
kediktaturan militer." Sentimen yang serupa juga dirasakan oleh banyak dari 
anggota tim 1978. Piala 1978 selalu dilihat dengan perasaan yang bertentangan 
karena piala tersebut basah kuyup dengan darah.

Argentina pada awal 1970an berada di tahapan perjuangan kelas yang tajam. 
Pemerintahan populis Peron/Campora menyingkiran kediktaturan polisi-militer 
pada tahun 1973 ketika mereka memenangkan lebih dari 50% suara. Mayoritas buruh 
dan kaum miskin kota memilih kaum Peronis sebagai simbol perlawanan terhadap 
junta militer.

Pada tahun 1973, Ted Grant menulis di koran Militant mengenai situasi di 
Argentina pada awal 1970an:

"Klik-klik angkatan bersenjata saling menumbangkan secara berturut-turut, 
sementara taraf hidup dan kondisi rakyat semakin memburuk ... Serangkaian 
pemogokan umum telah terjadi. Di beberapa daerah ini menyebabkan pemberontakan, 
dengan pertempuran barikade di jalan-jalan .... Di propinsi Mendoza pada 
tanggal 4 April 1972, keadaan gawat darurat diumumkan, setelah sebuah pemogokan 
umum 24-jam untuk menentang kenaikan harga listrik. Di demonstrasi yang 
selanjutnya, satu orang terbunuh dan 69 terluka karena bentrok dengan polisi. 
147 mobil terbakar, 200 jendela toko pecah ...

"Pada bulan Juni 1972, ada pemogokan umum 24-jam di Tucuman. Tentara dan 
tank-tank dikirim untuk menyingkirkan para mahasiswa dan menghancurkan 
barikade-barikade jalanan. Pada tanggal 28 Juni 1972, ada 
demonstrasi-demonstrasi di Buenos Aires, Bahia Blanca, Tucuman, La Plata, dan 
Mendoza, yang ditumpas oleh tentara dan polisi.

"Para demonstran menduduki balai kota dan stasiun radio di Malargue pada 3 
Juli. Tentara terpaksa mengambil alih. Pada tanggal 9 Juli di kota General Rica 
(propinsi Rio Negro), penduduk dengan paksa menghentikan sebuah parade angkatan 
bersenjata. Pada tanggal 18 Juli, kota ini ditaruh di bawah militer.

"Di satu daerah ada bentrokan dengan "formasi spesial" Kaum Muda Peronis pada 3 
Desember 1972. Jumlah korban adalah: 1 mati, 30 terluka, termasuk 14 polisi.

"Peristiwa-peristiwa ini dapat dilipatgandakan tanpa akhir. Untuk menulis 
semuanya akan membutuhkan seluruh koran ini. Namun gelombang pasang revolusi 
yang tidak dapat ditahan oleh rejim para jendral ini semakin meninggi." (The 
Argentine Revolution, Ted Grant, 1973)

Di atas gelombang pasang ini pemerintahan Peron/Campora naik ke tampuk 
kekuasaan dengan sebuah program yang berjalan di antara sosialisme dan 
kapitalisme, sebuah "jalan ketiga" yang akan membuat jalan ketiganya Blair 
kecil bila dibandingkan. Pemerintahan populis ini melakukan beberapa tindakan 
untuk menyenangkan hati para buruh seperti "nasionalisasi berbagai bank yang 
telah diambil sepenuhnya atau setengahnya oleh pemodal asing di beberapa tahun 
belakangan ini."

Akan tetapi, langkah ini pada kenyataan adalah hampa, seperti yang dapat 
dilaporkan oleh majalah Financial Times pada 29 Juni: "Para bankir dan 
pengusaha asing yang ketakutan telah diyakinkan oleh Bank Sentral bahwa 
kebijakan-kebijakan yang telah diumumkan tidak akan seburuk apa yang 
kelihatannya. `Kami bukan orang yang tidak toleran, dan kami juga tidak 
bermaksud menghancurkan sistem ini' kata Dr. Alfred Gomez Morales, presiden 
Bank Sentral, kepada saya minggu ini ... Dia mengajukan argumen mengapa 
`Argentina tetap akan menjadi tempat yang menarik untuk penanam modal asing'."

Seperti pada tahun 1945-1955, Juan Peron, dengan cara yang Bonapartis, 
menyeimbangkan kelas buruh dan kelas kapitalis. Dia bersandar pada kedua kelas 
ini, tetapi pada kenyataannya dia mewakilkan kepentingan kelas kapitalis. 
Hasilnya tidak akan berbeda sama sekali. Pemerintah Peronis ditumbangkan oleh 
junta militer pada tahun 1976 seperti pada tahun 1955. Tindakan menyeimbangkan 
kelas-kelas hanya bisa berhasil bila konsesi-konsesi dapat diberikan kepada 
kedua kelas tersebut. Pada akhirnya, satu kelas harus mengalah. Kelas penguasa 
tidak bisa lagi mengandalkan pemerintah Peronis karena mereka tidak dapat 
mentolerir perjuangan kelas yang tajam yang berkelanjutan, jadi mereka 
menggunakan junta militer "fasis".

Kebangkitan junta militer adalah sebuah konter revolusi, salah satu dari banyak 
konter revolusi pada akhir 1970an yang menutup periode revolusioner yang 
dimulai pada tahun 1960an di seluruh dunia. Rakyat dikalahkan. Inilah alasan 
utama mengapa di permukaan tampak bahwa rakyat pekerja Argentina telah 
melupakan atau mengabaikan puluhan ribu militan kiri yang dibantai dan disiksa 
selama Piala Dunia 1978. Tidak ada orang yang dapat menyangkal bahwa hanya 
kira-kira satu kilometer dari stadium River Plate, dimana tim Argentina 
mengalahkan Belanda dan meraih piala, terletak Sekolah Mekanik Angkatan Laut, 
pusat penyekapan dan penyiksaan terbesar dari kedikturan militer ini. Di tengah 
sorak sorai penonton adalah jeritan dari para tahanan yang disiksa.

Kita dapat menanyakan diri kita sendiri: mengapa FIFA dan "komunitas dunia" 
membiarkan Piala Dunia dimainkan di bawah situasi seperti ini? FIFA pada 
akhirnya adalah badan olahraga kepunyaan kelas penguasa, yang memenuhi 
kepentingan kelas kapitalis dalam skala dunia. Junta militer di Argentina 
sedang dalam misi untuk membabat komunisme, maka dari itu kelas borjuasi dunia 
diam saja. FIFA dan sponsornya pada saat itu, Coca-cola, mengklaim bahwa mereka 
tidak berpolitik dan tidak akan mengambil pendirian moral. Mereka hanya dapat 
melakukan ini karena kebungkaman dari kelas penguasa dunia.

Bila saja ada sebuah pemerintahan revolusioner di Argentina yang sedang dalam 
misi untuk menghancurkan kapitalisme, yang – daripada menindas kaum komunis – 
sedang melakukan perjuangan keras melawan kapitalis, tuan tanah, dsb, dan 
mengadili semua elemen-elemen tersebut yang telah melakukan kejahatan terhadap 
rakyat, maka tekanan akan diluncurkan kepada FIFA untuk membatalkan Piala Dunia 
dengan ancaman boikot sedunia seperti pada Olimpiade 1980 di Moskow. Justru 
Piala Dunia 1978 tetap berlangsung seperti biasanya.

Piala Dunia ini juga dibutuhkan untuk memberikan legitimasi kepada rejim 
tersebut, dan membawa kesatuan nasional ke masyarakat yang terpecahkan oleh 
perjuangan kelas, yakni untuk menenangkan kekacauan-kekacauan yang tersisa. 
Piala Dunia 1978 sungguh adalah suatu berkat untuk para jendral, terutama di 
sebuah negeri dimana sepak bola sangat dicintai.

Seberapa besar kekalahan kelas pekerja diilustrasikan oleh kenyataan bahwa 
bahkan para tahanan yang disiksa bersorak-sorai bersama dengan penyiksa mereka 
dalam mendukung tim nasional mereka, walaupun mereka mengetahui dengan penuh 
bahwa tim nasional ini adalah timnya junta militer, bahwa Piala Dunia ini 
adalah proyeknya junta militer untuk mengobarkan sovinisme dan menenangkan 
massa. Claudio Tamburrini, seorang aktivis politik yang dipenjara dan pemain 
sepak bola profesional, yang melarikan diri dari salah satu penjara rejim ini 
pada bulan Maret 1978, menulis 20 tahun kemudian:

"Apa daya tarik olahraga yang memungkinkan para tersiksa dan penyiksa untuk 
saling memeluk setelah gol tercetak oleh tim nasional? Selama Piala Dunia 1978, 
rakyat Argentina – termasuk saya sendiri – menggantikan penilaian politik 
kritis akan situasi negeri ini dengan eforia sport." (Perfil, 12 Juni, 1998, 
hal.14)

Kapten "Tiger' Acosta yang terkenal buruk ini, salah satu penyiksa paling kejam 
dari Angkatan Laut, dalam satu tutur cerita, masuk ke satu ruang sel setelah 
pertandingan final karena para tahanan bersorak sorai, "Kita menang, kita 
menang," dan kemudian ikut serta dalam eforia yang spontan ini dengan 
orang-orang yang dia siksa setiap harinya. Dia lalu membawa keluar para tahanan 
di dalam sebuah mobil untuk menunjukkan kepada mereka bahwa tidak ada orang 
yang peduli dengan penculikan mereka, bahwa orang-orang hanya peduli dengan 
Piala Dunia. Salah satu korban ini menceritakan kepada jurnalis Fernandez Moore 
bahwa dia meminta Acosta untuk membuka jendela supaya dia dapat melihat dengan 
lebih baik karnival di jalanan. Setelah dia membuka jendela itu, dia berpikir 
untuk berteriak bahwa dia adalah salah satu "orang hilang", yang ditahan dan 
disiksa di sebuah penjara tidak jauh dari sini, tetapi dia lalu menyadari bahwa 
ini akan sia-sia saja, dan bahwa di tengah suka cita nasional, dalam konteks 
sebuah gerakan yang sudah kalah, orang-orang hanya akan mengira kalau dia 
adalah perempuan gila.

Sebegitu parahnya kekalahan kelas pekerja Argentina. Di setiap periode 
kekalahan, massa menundukkan kepala mereka.

Filosofi sepak bola dari junta militer dalam banyak hal serupa dengan 
filosofinya fasis, terutama fasisme Italia selama Piala Dunia 1934 dan 1938 
dimana tim Italia memenangkan titel. Objektif yang diproklamirkan oleh junta 
militer ini adalah untuk mengembalikan ketertiban yang hilang. Dalam kata-kata 
mereka sendiri, mereka bermaksud mencanangkan "moralitas Kristen, tradisi 
nasional, dan harga diri menjadi seorang Argentina" dan mempromosikan 
keharmonian antara Negara, kapital, dan buruh. Benito Mussolini dan fasisme 
Italia juga naik ke tampuk kekuasaan di bawah program seperti itu, menunggangi 
kekecewaan dari borjuasi-kecil yang letih akan perjuangan kelas yang tidak 
membawa perubahan akhir pada problem-problem masyarakat.

Bagi kaum fasis Italia, seperti halnya junta militer Argentina, sepak bola yang 
sangat dicintai di kedua negeri ini adalah sebuah proyek nasional untuk 
mengartikulasikan "keunggulan bangsa" dan pentingnya persatuan, semua kelas 
bersatu di bawah sebuah tujuan nasional bersama. Diperkirakan sekitar US$ 700 
juta – 10% dari hutang nasional di saat keuangan negara sedang amburadul – 
dihabiskan oleh rejim ini untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk 
menjadi tuan rumah.

Filosofi membangun bangsa dan "Manusia Baru" sebagai perwujudan dari kualitas 
bangsa, Negara, ada di pusat dari pendekatan fasis terhadap olahraga. Jendral 
Videla, dalam pertemuannya dengan tim sepakbola, mengatakan bahwa pemain 
sepakbola bertanggungjawab untuk:

"menunjukkan bahwa mereka adalah insan terbaik yang dapat disajikan oleh 
Argentina kepada jagat raya ... dan mereka harus mendemonstrasikan kualitas 
dari manusia Argentina. Manusia ini, dalam level individu atau bekerja di dalam 
sebuah tim, mampu melakukan pekerjaan yang hebat bila dipandu oleh tujuan 
bersama ... Aku percaya akan kemenangan kalian, sebagai pemenang Piala Dunia, 
pemenang karena kalian akan menunjukkan keberanian di dalam 
pertandingan-pertandingan ... dan akan menjadi ekspresi tepat dari kualitas 
manusia Argentia." (Suplemento Clarin Mundial, 17 Mei, 1978, hal. 6-7) 
[Penekanan ditambahkan]

Fasisme Italia, di dalam majalah mingguan fasis Florentina, Il Bargello, 
menulis demikian selama Piala Dunia 1934:

"[Ini adalah] penegasan kebenaran dari seluruh rakyat, indikasi dari kekuatan 
fisik dan moralnya, dan bukan hanya fakta olahraga saja. Kami kaum Fasis tidak 
dapat memisahkan kontribusi semangat nasional ini dari hasil yang harus 
dicapai. Bekerja di setiap bidang aktivitas manusia, kita berjuang atas nama 
tanah air, tanah airlah yang ada di atas segala-galanya, seluruh bangsa 
berpartisipasi untuk tujuan ini, mendorong dan memberi semangat kepada para 
protagonis yang menjadi tak-bernama tetapi adalah instrumen sadar dari kehendak 
ini." ." (`Gli azzuri nel nome del DUCE', Il Bargello, 17 Juni 1934) [Penekanan 
Ditambahkan]

Piala Dunia 1978 ternoda oleh darah kelas buruh. Inilah mengapa kemenangan 
Argentina pada Piala Dunia 1986, yang mengambil tempat tiga tahun setelah 
jatuhnya junta militer, lebih diingat dan dirayakan. Piala Dunia yang 
sebelumnya menyimbolkan sebuah epos trauma yang tidak akan pernah dilupakan 
oleh kelas pekerja Argentina. Piala Dunia 1986 dalam satu cara menyelesaikan 
dilema antara rasa cinta rakyat Argentina kepada sepakbola dan bab gelap di 
dalam sejarah mereka.

Olahraga, seperti halnya seni, pada akhirnya harus bebas dari pengaruh politik, 
dari ideologi, dari propaganda, dan hanya dengan begitu ia dapat bersemi. Atlit 
harus bebas untuk mengekspresikan diri mereka sepenuhnya, tanpa kekangan 
ekonomi – yang merupakan halangan utama bagi atlit di bawah kapitalisme – dan 
tanpa kekangan politik. Namun, seorang atlit yang hebat adalah seorang atlik 
yang berkomitmen, mereka yang melalui olahraganya merefleksikan perjuangan 
kemanusiaan di sekitar mereka, mereka yang mendorong batas-batas manusia secara 
fisik dan spiritual, seperti Muhammad Ali, Bill Russel, untuk menamakan 
beberapa dari mereka. Olahraga di bawah kapitalisme telah begitu bangkrutnya, 
merefleksikan kebangkrutan sistem itu sendiri, sehingga yang kita dapati adalah 
superstar-superstar yang dibesarkan untuk membuat jutaan dolar dari iklan 
komersial, penayangan TV, dll. Massa telah diubah menjadi agen yang pasif, 
sekedar penonton.

Sepakbola pada awalnya adalah sebuah permainan kelas buruh yang dimainkan oleh 
tim-tim pabrik, tim-tim daerah residensial, dan sebagainya. Ia telah 
perlahan-lahan direbut dari tangan kelas yang menciptakannya, dan dikembalikan 
kepada kelas buruh ke dalam bentuk sekarang ini. Sepakbola telah menjadi 
seperti "sirkus" di bawah Kerajaan Romawi, dimana sebuah sistem yang sedang 
membusuk, yang sedang menjadi semakin bangkrut, untuk menenangkan massa dan 
mengikat mereka, menyediakan mereka stadium-stadium seperti Colosseum dimana 
pertunjukan yang sangat mahal dan besar disajikan. Di masa kini kita tidak 
punya gladiator yang saling membunuh, atau binatang yang memakan manusia – 
pembunuhan ini dilakukan di tempat lain – tetapi konsepnya kurang lebih sama.

Kapitalisme hari ini, dan Fasisme di masa lalu, telah memasukkan nasionalisme 
yang gila ke dalam olahraga. Sosialisme di pihak yang lain akan membebaskan 
perkembangan olahraga, seperti halnya ia akan membebaskan kesenian, sains, dan 
kemanusiaan secara umum, dari cengkraman kapitalisme yang mencekik, sehingga 
semua laki-laki dan perempuan dapat menemukan ekspresi individu dan kolektif 
mereka sepenuhnya melalui olahraga. Selama Piala Dunia ini, kita mendengar 
beberapa komentar yang cukup tajam, seperti bagaimana negara kecil seperti 
Belanda, dengan populasi hanya 16 juta saja, dapat menghasilkan pemain-pemain 
yang bertalenta – di antara mereka adalah beberapa keturunan Indonesia – 
sedangkan mantan jajahannya Indonesia, dengan populasi hampir 250 juta, tidak 
dapat menghasilkan tim sepakbola yang bisa berkompetisi di tingkat 
internasional. Sosialisme akan membebaskan potensi penuh dari 6 milyar rakyat 
di seluruh dunia, dan membawa olahraga bukan sebagai kompetisi untuk kebanggaan 
sovinis nasional tetapi sebagai kendaraan untuk menjunjung pencapaian 
kemanusiaan, menjunjung tinggi pencapaian rakyat yang terbebaskan dari 
berabad-abad masyarakat kelas.

12 Juli 2010



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke