45 Tahun Supersemar


Oleh Franz Magnis-Suseno SJ



Pada 11 Maret 1966 lima setengah bulan paling menegangkan dalam sejarah 
Indonesia merdeka mulai berakhir. Pada tanggal itu Presiden Soekarno 
menandatangani sebuah surat. Di situ ia menyuruh Jenderal Soeharto 
mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengembalikan keamanan.



Dalam kenyataan, meski pasti bukan maksud Soekarno, Supersemar menjadi 
legitimasi pengambilalihan kekuasaan oleh Soe- harto. Dan, Soeharto tak 
ragu-ragu. Ia langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan 
segera—tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarno—menangkap sekitar 12 
menteri Kabinet 100 Menteri, lalu membentuk kabinet baru. Sejak tanggal 
itu kekuasaan efektif di negara RI terletak di tangan Soeharto, yang 
baru melepaskannya pada 21 Mei 1998.



Empat puluh lima tahun kemudian peristiwa historis itu tetap 
kontroversial. Tak bisa tidak. Terlalu kompleks situasi dan kondisinya, 
terlalu raksasa dampaknya bagi bangsa Indonesia, dan terlalu mengerikan 
jumlah korbannya. Saya ingin menceritakan bagaimana saya waktu itu 
mengalaminya meski cerita itu barangkali shocking.



45 tahun lalu



Saat itu saya mahasiswa teologi di Yogyakarta. Saya hidup bersama 
rekan-rekan mahasiswa muda tarekat rohaniwan Yesuit. Percayakah Anda 
bahwa kami menyambut berita di radio tentang peristiwa Supersemar dengan
 bersorak gembira? Bahwa kami merasa seakan-akan sebuah beban 
kekhawatiran gelap terangkat. Reaksi kami itu sendiri ada sejarahnya.



Sejak mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 29 Januari 1961, saya 
cemas dengan ancaman komunis. Bagi saya, komunisme—sesudah 
nasional-sosialisme Nazi—adalah ideologi paling jahat dan berbahaya: 
antara 1917 dan 1991 kaum komunis membunuh lebih dari 100 juta orang, 
sedangkan Nazi antara 1933 dan 1945 membunuh 12 juta orang, tanpa 
menghitung korban perang.



Saya dapat kesan bahwa PKI maju di semua front. Di mana-mana papan merah
 PKI dan BTI terpasang. Sesudah Nasakom—persatuan ”revolusioner” 
Nasionalisme, Agama, dan Komunisme—dipermaklumkan Presiden Soekarno, 
segenap ungkapan kritis terhadap komunisme dihantam sebagai 
komunisto-fobi.



Akhir 1964, sebanyak 20 koran pembawa tulisan antikomunis Sayuti Melik 
”Badan Penjebar Sukarnoisme” ditutup dan Partai Murba dinonaktifkan. 
Januari 1965, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB. Secara 
internasional Indonesia terisolasi. Sejak akhir 1964 teman saya, para 
mahasiswa rohaniwan muda Indonesia, yang sebelumnya semua pengikut 
antusias Soekarno, berkesan mulai meragukan Soekarno.



Pada Agustus 1965 kami dengar kabar burung bahwa Soekarno jatuh sakit 
dan 10 doktor RRC yang katanya dibawa Ketua PKI Aidit dari Beijing dalam
 sebuah memo rahasia hanya memberikan tiga bulan lagi kepada Presiden. 
Suasana tegang meliputi negara. Kami merasa sesuatu akan terjadi.



Sesuatu itu terjadi pada 1 Oktober. Kami di Yogyakarta terus 
mendengarkan RRI. Sekitar siang hari kami mulai menyangka bahwa ”Gerakan
 30 September”, nama yang dipakai oleh gerakan itu sendiri, berhaluan 
kiri. Malam hari suara Jenderal Soeharto mengumandang lewat RRI bahwa 
gerakan itu sudah dihancurkan. Kami menyambutnya dengan agak lega.



Namun, Yogyakarta sepertinya diliputi ketakutan. Jalan-jalan dan 
pasar-pasar sepi. Se- akan-akan orang sudah tahu bahwa darah telah 
mengalir dan darah akan mengalir lagi (di Yogyakarta pun yang dikuasai 
selama 16 hari oleh ”Dewan Revolusi”, Komandan Korem 72, Kolonel 
Katamso, dan stafnya, Letkol Sugiono, dibunuh oleh pasukan mereka 
sendiri). Orang masih ingat Peristiwa Madiun: kedua belah pihak membunuh
 jauh lebih banyak orang daripada yang ”perlu secara operasional”.



Kami merasa tegang. Segera menjadi jelas, Presiden Soekarno tak bersedia
 menonaktifkan PKI sebagaimana dituntut oleh semakin banyak kekuatan 
antikomunis. Apakah beliau akan berhasil menyelamatkan PKI?



Pada 16 Oktober pasukan yang ”terlibat” meninggalkan Yogyakarta. Kami 
dengar adanya bentrok di kawasan Klaten-Jatinom. RPKAD mulai 
”membersihkan” kampung demi kampung dengan kader-kader tertinggi sering 
langsung dieksekusi. Pada bulan-bulan berikut kami juga mendapat berita 
tentang pembunuhan besar-besaran terhadap komunis di Jawa Timur dan 
Bali. Gelap dan mengerikan.



Di Jakarta, demonstrasi antikomunis kian menjadi. Namun, kesannya 
Presiden Soekarno lama-kelamaan berhasil merebut kembali inisiatif. Pada
 Februari dibentuk Kabinet 100 Menteri. Jenderal AH Nasution harapan 
kami tak lagi termasuk. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) malah 
dilarang. Semua itu berakhir pada 11 Maret 1966 itu.



Tiga tahap



Melihat kembali, sebaiknya kita membedakan tiga tahap. Yang pertama 
adalah kejadian 1 Oktober 1965 dan buntut langsung. Saya tak akan masuk 
ke dalam spekulasi tentang siapa dalang G30S. Yang jelas, pada hari itu,
 pagi-pagi, enam jenderal tinggi Angkatan Darat dan ajudan Kapten Pierre
 Tendean diculik dan dibunuh.



Gerakan itu di Jakarta sudah dipatahkan pada malam hari yang sama dan 
berakhir sesudah benteng-bentengnya di Solo dan Yogyakarta menyerah. 
Untuk mematahkan PKI secara definitif, sebenarnya cukup kalau PKI, yang 
tak memperlihatkan kemampuan melawan, dilarang dengan—barangkali—para 
kader inti ditahan dulu serta semua yang betul-betul terlibat dalam 
penculikan dan pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta dibawa ke 
pengadilan. PKI pasti tidak akan bisa bangkit lagi.



Namun, larangan tak turun. Pada pertengahan Oktober 1965 mulai tahap 
kedua, tahap paling mengerikan. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, 
pembersihan dilakukan RPKAD, tak ada pembunuhan dari pihak nonmiliter. 
Pembunuhan dalam jumlah yang betul-betul di luar segala imajinasi 
terjadi di Jawa Timur dan Bali, tetapi juga misalnya di Flores dan 
melibatkan masyarakat nonmiliter. Setidaknya 500.000 orang terbunuh. Ini
 satu dari lima genosida di dunia pada bagian kedua abad ke-20!



Siapa bertanggung jawab? Soeharto-kah yang memerintahkannya? Apakah 
dibiarkan berlangsung tanpa ada perintah apa pun? Andai kata PKI 
langsung dilarang, apakah pembunuhan mengerikan itu barangkali tidak 
terjadi? Tak ada jawaban. Tak ada jawaban juga mengapa bangsa Indonesia 
terlibat dalam sesuatu yang sedemikian tak manusiawi!



Namun, tak ada keraguan sedikit pun bahwa Soeharto dan jenderal 
pembantunya bertanggung jawab 100 persen atas kejahatan tahap ketiga: 
penangkapan jutaan orang (Sudomo pernah menyebut angka 1,9 juta orang) 
sebagai ”terlibat” ketika hanya satu hal pasti bahwa mereka tak terlibat
 dalam arti apa pun.



Secara sistematis dan birokratis jutaan saudara dan saudara sebangsa 
dikeluarkan dari komunitas solidaritas bangsa, dihancurkan nama baiknya,
 dirusak keluarga dan perekonomiannya, banyak yang disiksa, perempuan 
diperkosa, difitnah, dirampas kebebasannya. Mereka adalah yang dianggap 
”terlibat”, anak dan cucu mereka, serta mereka yang ”tidak bersih 
lingkungan”.



Yang golongan C, meski cukup cepat dilepaskan tetap terkena 
stigmatisasi, ada tanda di KTP. Pekerjaan tertentu tertutup bagi mereka,
 mereka harus secara teratur lapor, anak-anak mereka susah masuk 
sekolah. Puluhan ribu orang dari kategori B, meski tak melakukan sesuatu
 yang berlawanan dengan hukum, dianggap rada penting dan ditahan dalam 
kamp-kamp khusus, termasuk di Pulau Buru. Sisa sebanyak puluhan ribu 
baru dilepaskan sekitar tahun 1979 atas desakan Presiden AS Jimmy 
Carter.



Tak jelas mengapa kejahatan itu dilakukan. Sampai hari ini tak ada 
pengakuan terhadapnya. Cukup memusingkan mengapa sebagian besar bangsa 
Indonesia tak pernah menunjukkan tanda terkejut berhadapan dengan 
kekejaman dan kejahatan sedemikian banyak warga sebangsa. Soe- harto dan
 kawan-kawannya membawa dosa itu ke kubur mereka. Namun, mereka hanya 
dapat melakukannya karena merasa mendapat dukungan. Itulah yang sulit 
dimengerti.



Lalu apa? Bangsa lain pun ada yang mempunyai noda-noda dalam sejarahnya,
 misalnya bangsa Jerman. Barangkali situasi waktu itu memang dilematis.



Minimal sekarang, 45 tahun kemudian, kita seharusnya berani berhenti 
berbohong, berani mengakui mereka yang sampai sekarang tak mau diakui 
sebagai korban. Seharusnya kita bertekad bahwa kita tak akan pernah lagi
 mengizinkan sekelompok orang dikucilkan dari solidaritas bangsa, 
dibiarkan menjadi obyek kebencian, kekerasan, dan barangkali pembunuhan 
hanya karena berbeda kepercayaan atau keyakinan politiknya.



Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta



http://cetak.kompas.com/read/2011/03/11/04515356/45.tahun.supersemar

Berbagi berita untuk semua
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to