Untuk keamanan dan keadilan pemerintah itu kalau toh membunuh rapopo.Opo 
Amerika protes kpd densus 88 ketika membunuh?
Allah itu punya 99 sifat ,jadi bukan hanya Rahman dan Rahim tok.Ada sifat lain 
sebagai polisi.

Shalom,
Tawangalun.

--- In proletar@yahoogroups.com, "Jusfiq" <kesayangan.allah@...> wrote:
>
> 
> Jangan lupa: Tawang ikut dilatih buat membunuh ketika itu dan hingga  
> sekarang tidak merasa bersalah.
> 
> --- In proletar@yahoogroups.com, Wahyu Suluh <wahyusuluh@> wrote:
> >
> > 45 Tahun Supersemar
> > 
> > 
> > 
> > Oleh Franz Magnis-Suseno SJ
> > 
> > 
> > 
> > Pada 11 Maret 1966 lima setengah bulan paling menegangkan dalam sejarah 
> > Indonesia merdeka mulai berakhir. Pada tanggal itu Presiden Soekarno 
> > menandatangani sebuah surat. Di situ ia menyuruh Jenderal Soeharto 
> > mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengembalikan keamanan.
> > 
> > 
> > 
> > Dalam kenyataan, meski pasti bukan maksud Soekarno, Supersemar menjadi 
> > legitimasi pengambilalihan kekuasaan oleh Soe- harto. Dan, Soeharto tak 
> > ragu-ragu. Ia langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan 
> > segeraâ€"tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarnoâ€"menangkap sekitar 12 
> > menteri Kabinet 100 Menteri, lalu membentuk kabinet baru. Sejak tanggal 
> > itu kekuasaan efektif di negara RI terletak di tangan Soeharto, yang 
> > baru melepaskannya pada 21 Mei 1998.
> > 
> > 
> > 
> > Empat puluh lima tahun kemudian peristiwa historis itu tetap 
> > kontroversial. Tak bisa tidak. Terlalu kompleks situasi dan kondisinya, 
> > terlalu raksasa dampaknya bagi bangsa Indonesia, dan terlalu mengerikan 
> > jumlah korbannya. Saya ingin menceritakan bagaimana saya waktu itu 
> > mengalaminya meski cerita itu barangkali shocking.
> > 
> > 
> > 
> > 45 tahun lalu
> > 
> > 
> > 
> > Saat itu saya mahasiswa teologi di Yogyakarta. Saya hidup bersama 
> > rekan-rekan mahasiswa muda tarekat rohaniwan Yesuit. Percayakah Anda 
> > bahwa kami menyambut berita di radio tentang peristiwa Supersemar dengan
> >  bersorak gembira? Bahwa kami merasa seakan-akan sebuah beban 
> > kekhawatiran gelap terangkat. Reaksi kami itu sendiri ada sejarahnya.
> > 
> > 
> > 
> > Sejak mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 29 Januari 1961, saya 
> > cemas dengan ancaman komunis. Bagi saya, komunismeâ€"sesudah 
> > nasional-sosialisme Naziâ€"adalah ideologi paling jahat dan berbahaya: 
> > antara 1917 dan 1991 kaum komunis membunuh lebih dari 100 juta orang, 
> > sedangkan Nazi antara 1933 dan 1945 membunuh 12 juta orang, tanpa 
> > menghitung korban perang.
> > 
> > 
> > 
> > Saya dapat kesan bahwa PKI maju di semua front. Di mana-mana papan merah
> >  PKI dan BTI terpasang. Sesudah Nasakomâ€"persatuan ”revolusioner” 
> > Nasionalisme, Agama, dan Komunismeâ€"dipermaklumkan Presiden Soekarno, 
> > segenap ungkapan kritis terhadap komunisme dihantam sebagai 
> > komunisto-fobi.
> > 
> > 
> > 
> > Akhir 1964, sebanyak 20 koran pembawa tulisan antikomunis Sayuti Melik 
> > ”Badan Penjebar Sukarnoisme” ditutup dan Partai Murba dinonaktifkan. 
> > Januari 1965, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB. Secara 
> > internasional Indonesia terisolasi. Sejak akhir 1964 teman saya, para 
> > mahasiswa rohaniwan muda Indonesia, yang sebelumnya semua pengikut 
> > antusias Soekarno, berkesan mulai meragukan Soekarno.
> > 
> > 
> > 
> > Pada Agustus 1965 kami dengar kabar burung bahwa Soekarno jatuh sakit 
> > dan 10 doktor RRC yang katanya dibawa Ketua PKI Aidit dari Beijing dalam
> >  sebuah memo rahasia hanya memberikan tiga bulan lagi kepada Presiden. 
> > Suasana tegang meliputi negara. Kami merasa sesuatu akan terjadi.
> > 
> > 
> > 
> > Sesuatu itu terjadi pada 1 Oktober. Kami di Yogyakarta terus 
> > mendengarkan RRI. Sekitar siang hari kami mulai menyangka bahwa ”Gerakan
> >  30 September”, nama yang dipakai oleh gerakan itu sendiri, berhaluan 
> > kiri. Malam hari suara Jenderal Soeharto mengumandang lewat RRI bahwa 
> > gerakan itu sudah dihancurkan. Kami menyambutnya dengan agak lega.
> > 
> > 
> > 
> > Namun, Yogyakarta sepertinya diliputi ketakutan. Jalan-jalan dan 
> > pasar-pasar sepi. Se- akan-akan orang sudah tahu bahwa darah telah 
> > mengalir dan darah akan mengalir lagi (di Yogyakarta pun yang dikuasai 
> > selama 16 hari oleh ”Dewan Revolusi”, Komandan Korem 72, Kolonel 
> > Katamso, dan stafnya, Letkol Sugiono, dibunuh oleh pasukan mereka 
> > sendiri). Orang masih ingat Peristiwa Madiun: kedua belah pihak membunuh
> >  jauh lebih banyak orang daripada yang ”perlu secara operasional”.
> > 
> > 
> > 
> > Kami merasa tegang. Segera menjadi jelas, Presiden Soekarno tak bersedia
> >  menonaktifkan PKI sebagaimana dituntut oleh semakin banyak kekuatan 
> > antikomunis. Apakah beliau akan berhasil menyelamatkan PKI?
> > 
> > 
> > 
> > Pada 16 Oktober pasukan yang ”terlibat” meninggalkan Yogyakarta. Kami 
> > dengar adanya bentrok di kawasan Klaten-Jatinom. RPKAD mulai 
> > ”membersihkan” kampung demi kampung dengan kader-kader tertinggi sering 
> > langsung dieksekusi. Pada bulan-bulan berikut kami juga mendapat berita 
> > tentang pembunuhan besar-besaran terhadap komunis di Jawa Timur dan 
> > Bali. Gelap dan mengerikan.
> > 
> > 
> > 
> > Di Jakarta, demonstrasi antikomunis kian menjadi. Namun, kesannya 
> > Presiden Soekarno lama-kelamaan berhasil merebut kembali inisiatif. Pada
> >  Februari dibentuk Kabinet 100 Menteri. Jenderal AH Nasution harapan 
> > kami tak lagi termasuk. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) malah 
> > dilarang. Semua itu berakhir pada 11 Maret 1966 itu.
> > 
> > 
> > 
> > Tiga tahap
> > 
> > 
> > 
> > Melihat kembali, sebaiknya kita membedakan tiga tahap. Yang pertama 
> > adalah kejadian 1 Oktober 1965 dan buntut langsung. Saya tak akan masuk 
> > ke dalam spekulasi tentang siapa dalang G30S. Yang jelas, pada hari itu,
> >  pagi-pagi, enam jenderal tinggi Angkatan Darat dan ajudan Kapten Pierre
> >  Tendean diculik dan dibunuh.
> > 
> > 
> > 
> > Gerakan itu di Jakarta sudah dipatahkan pada malam hari yang sama dan 
> > berakhir sesudah benteng-bentengnya di Solo dan Yogyakarta menyerah. 
> > Untuk mematahkan PKI secara definitif, sebenarnya cukup kalau PKI, yang 
> > tak memperlihatkan kemampuan melawan, dilarang denganâ€"barangkaliâ€"para 
> > kader inti ditahan dulu serta semua yang betul-betul terlibat dalam 
> > penculikan dan pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta dibawa ke 
> > pengadilan. PKI pasti tidak akan bisa bangkit lagi.
> > 
> > 
> > 
> > Namun, larangan tak turun. Pada pertengahan Oktober 1965 mulai tahap 
> > kedua, tahap paling mengerikan. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, 
> > pembersihan dilakukan RPKAD, tak ada pembunuhan dari pihak nonmiliter. 
> > Pembunuhan dalam jumlah yang betul-betul di luar segala imajinasi 
> > terjadi di Jawa Timur dan Bali, tetapi juga misalnya di Flores dan 
> > melibatkan masyarakat nonmiliter. Setidaknya 500.000 orang terbunuh. Ini
> >  satu dari lima genosida di dunia pada bagian kedua abad ke-20!
> > 
> > 
> > 
> > Siapa bertanggung jawab? Soeharto-kah yang memerintahkannya? Apakah 
> > dibiarkan berlangsung tanpa ada perintah apa pun? Andai kata PKI 
> > langsung dilarang, apakah pembunuhan mengerikan itu barangkali tidak 
> > terjadi? Tak ada jawaban. Tak ada jawaban juga mengapa bangsa Indonesia 
> > terlibat dalam sesuatu yang sedemikian tak manusiawi!
> > 
> > 
> > 
> > Namun, tak ada keraguan sedikit pun bahwa Soeharto dan jenderal 
> > pembantunya bertanggung jawab 100 persen atas kejahatan tahap ketiga: 
> > penangkapan jutaan orang (Sudomo pernah menyebut angka 1,9 juta orang) 
> > sebagai ”terlibat” ketika hanya satu hal pasti bahwa mereka tak terlibat
> >  dalam arti apa pun.
> > 
> > 
> > 
> > Secara sistematis dan birokratis jutaan saudara dan saudara sebangsa 
> > dikeluarkan dari komunitas solidaritas bangsa, dihancurkan nama baiknya,
> >  dirusak keluarga dan perekonomiannya, banyak yang disiksa, perempuan 
> > diperkosa, difitnah, dirampas kebebasannya. Mereka adalah yang dianggap 
> > ”terlibat”, anak dan cucu mereka, serta mereka yang ”tidak bersih 
> > lingkungan”.
> > 
> > 
> > 
> > Yang golongan C, meski cukup cepat dilepaskan tetap terkena 
> > stigmatisasi, ada tanda di KTP. Pekerjaan tertentu tertutup bagi mereka,
> >  mereka harus secara teratur lapor, anak-anak mereka susah masuk 
> > sekolah. Puluhan ribu orang dari kategori B, meski tak melakukan sesuatu
> >  yang berlawanan dengan hukum, dianggap rada penting dan ditahan dalam 
> > kamp-kamp khusus, termasuk di Pulau Buru. Sisa sebanyak puluhan ribu 
> > baru dilepaskan sekitar tahun 1979 atas desakan Presiden AS Jimmy 
> > Carter.
> > 
> > 
> > 
> > Tak jelas mengapa kejahatan itu dilakukan. Sampai hari ini tak ada 
> > pengakuan terhadapnya. Cukup memusingkan mengapa sebagian besar bangsa 
> > Indonesia tak pernah menunjukkan tanda terkejut berhadapan dengan 
> > kekejaman dan kejahatan sedemikian banyak warga sebangsa. Soe- harto dan
> >  kawan-kawannya membawa dosa itu ke kubur mereka. Namun, mereka hanya 
> > dapat melakukannya karena merasa mendapat dukungan. Itulah yang sulit 
> > dimengerti.
> > 
> > 
> > 
> > Lalu apa? Bangsa lain pun ada yang mempunyai noda-noda dalam sejarahnya,
> >  misalnya bangsa Jerman. Barangkali situasi waktu itu memang dilematis.
> > 
> > 
> > 
> > Minimal sekarang, 45 tahun kemudian, kita seharusnya berani berhenti 
> > berbohong, berani mengakui mereka yang sampai sekarang tak mau diakui 
> > sebagai korban. Seharusnya kita bertekad bahwa kita tak akan pernah lagi
> >  mengizinkan sekelompok orang dikucilkan dari solidaritas bangsa, 
> > dibiarkan menjadi obyek kebencian, kekerasan, dan barangkali pembunuhan 
> > hanya karena berbeda kepercayaan atau keyakinan politiknya.
> > 
> > 
> > 
> > Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 
> > Jakarta
> > 
> > 
> > 
> > http://cetak.kompas.com/read/2011/03/11/04515356/45.tahun.supersemar
> > 
> > Berbagi berita untuk semua
> > Â 
> > 
> > 
> >       
> > 
> > [Non-text portions of this message have been removed]
> >
>




------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to