Donny Gahral Adian



Hiruk-pikuk politik belakangan ini menyembunyikan sesuatu yang banal: 
retak koalisi akibat pengajuan hak angket oleh parlemen, anti-kebebasan 
pers Menteri Sekretaris Kabinet, dan bocor kawat diplomatik yang 
menyengat beberapa tokoh republik ini.



Kita tahu semua itu akan berakhir di meja negosiasi. Politik berubah 
menjadi sesuatu yang purba bernama oikonomia. Oikonomia alias ekonomi 
sesungguhnya kehilangan sesuatu yang fundamental dalam politik bernama 
militansi. Logika oikonomia adalah logika pertukaran yang saling 
menguntungkan. Ia tak punya kosakata menjelaskan militansi. Politik, 
sebaliknya, adalah militansi berkelanjutan terhadap prinsip atau 
ideologi. Militansi boleh dibilang adalah raison d’être politik.



Asketisme masih ada



Militansi bukan gagasan abstrak, melainkan sikap hidup yang konkret. 
Wali Kota Surakarta Joko Widodo dikabarkan tak pernah mengambil gajinya.
 Selaku wali kota, beliau cukup hidup dari usaha mebel dan persewaan 
gedung pertemuan miliknya. Kita seperti ditohok mendengarnya. Politik 
yang sangat transaksional ternyata masih menyembunyikan asketisme 
semacam itu. Alih-alih mengeluh soal gaji, Pak Wali Kota justru bertanya
 balik kepada wartawan yang mewawancarainya, ”Kenapa, kok, tanya-tanya 
soal gaji?”



Pertanyaan Pak Wali Kota bukan bentuk ketakpedulian. Beliau peduli 
terhadap kemakmuran pribadi, tetapi menempatkan kemakmuran bersama di 
atas yang pribadi. Pak Wali Kota tak menganggap gaji sebagai variabel 
penting dalam kepemimpinan politik. Sikap Pak Wali Kota menunjukkan 
betapa politik menyimpan sesuatu yang melampaui persoalan nafkah 
pribadi. Machiavelli menyebutnya virtu, saya menyebutnya militansi. 
Militansi bukan karakter bawaan. Ia sesuatu yang ditempa secara 
kolektif-organisatoris.



Militansi di sini ialah identitas kolektif yang terdaftar secara 
politik. Itu adalah kriterium pembeda antara politikus sebenarnya dan 
politikus seolah-olah, antara politikus ideologis dan politikus 
pragmatis. Absennya militansi pada seorang politikus dapat dibaca 
sebagai kegagalan pembentukan identitas kolektif.



Kegagalan pembentukan identitas kolektif adalah kegagalan politik. 
Kegagalan ini bersumber dari sebuah cara berpolitik yang memuliakan 
individualitas dan mementahkan kolektivitas. Filsuf Chantal Mouffe 
(2002) terang-terangan menuduh liberalisme sebagai cara berpolitik 
sedemikian.



Melanjutkan gugatan Carl Schmitt, Mouffe menuduh liberalisme gagap dalam
 memahami pembentukan identitas kolektif. Kegagalan ini disebabkan 
semangat konsensus yang berlebihan sehingga menihilkan antagonisme. 
Padahal, antagonisme adalah prasyarat pokok pembentukan identitas 
kolektif.



Antagonisme menyiratkan betapa identitas kolektif dibentuk melalui 
perbedaan. Sebuah perbedaan tak mesti menjadi politis. Perbedaan antara 
saya yang berprofesi sebagai guru dan teman yang berprofesi sebagai 
pengacara bukan perbedaan politik. Di situ identitas kolektif terbentuk,
 tetapi bukan identitas politik yang menyimpan militansi. Namun, ketika 
saya membentuk serikat guru berdasarkan ideologi pendidikan tertentu dan
 melawan status quo, perbedaan politik muncul. Sebuah perbedaan jadi 
politis ketika yang lain mulai mempersoalkan identitas dan mengancam 
eksistensi kita.



Bercorak politik



Militansi bertolak dari perbedaan yang bercorak politik. Pertanyaannya, 
apakah kepartaian sebagai kolektivitas bisa melahirkan kader militan? 
Dosa besar liberalisme, menurut Mouffe, adalah meratakan antagonisme 
serta mengubahnya menjadi diskusi dan negosiasi. Lawan politik berubah 
menjadi mitra diskusi atau bahkan dagang.



Dalam iklim anti-antagonisme semacam itu fungsi kepartaian dalam 
membentuk identitas kolektif menjadi tumpul. Partai hanya melahirkan 
kader yang cakap bernegosiasi, tetapi gagap saat ditanya persoalan 
ideologi. Militansi menjadi romansa kuno yang enak didengar, tetapi 
malas diejawantahkan.



Dalam arena politik kita belakangan ini militansi sudah digeser oleh 
negosiasi. Politik menjadi apa yang disebut Schmitt ”arena netral di 
mana berbagai kelompok berebut kekuasaan”. Kekuasaan pun jadi raison 
d’être politik. Pragmatisme jadi mata uang baru perpolitikan republik. 
Partai bergerak layaknya perseroan terbatas yang hanya mencetak kader 
pragmatis yang buta militansi. Rapat partai hanya sibuk membicarakan 
biaya politik untuk pemilu mendatang, bukan kaderisasi berbasis ideologi
 yang jelas dan terpilah.



Kasus Joko Widodo menyiratkan sesuatu yang sama sekali lain. Dia 
memerintah Surakarta tak berdasarkan kompetensi, melainkan ideologi. 
Militansi pada ideologi partainya membuat Pak Wali Kota menolak semua 
izin pendirian mal. Militansi yang sama membuatnya memindahkan pedagang 
kaki lima dengan cara mulia. Apakah ini dapat dibaca sebagai 
keberhasilan partai melahirkan kader militan yang berguna bagi orang 
banyak? Pertanyaan di atas adalah pertanyaan faktual yang dapat dibantah
 dengan statistik. Yang dipersoalkan di sini bukan faktualitas, 
melainkan garis normatif kepartaian kita.



Suka tak suka, partai adalah pilar penting dalam sistem demokrasi yang 
kita anut. Demokrasi tidak sekadar berkutat dengan kuantitas, tetapi 
juga kualitas. Pertanyaannya, sejauh mana partai sebagai institusi 
pembentuk identitas kolektif mampu melahirkan politisi yang militan 
secara ideologis?



Militansi yang dipertontonkan Joko Widodo berbanding lurus dengan 
kualitas kepemimpinan politik. Karakter itu lahir dari rahim kepartaian,
 bukan sekolah pemerintahan. Partai berutang pada publik untuk mencetak 
pemimpin berkualitas. Artinya, partai—apa pun itu—bertanggung jawab 
memperbaiki kualitas kadernya yang mengisi segenap ruang representasi 
politik.



Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Posmodern Universitas Indonesia



http://cetak.kompas.com/read/2011/03/17/03013512/politik.partai.dan.militansi

Berbagi berita untuk semua
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke