DISAIN PENELITIAN KOMPATIOLOGI
Oktober 2006

Ditulis oleh: 
Cornelia Istiani,M.Psi.T dan Drs.Juswan Setyawan (Ek.)



ABSTRAK

Manusia berkomunikasi untuk berinteraksi dengan diri
sendiri dan lingkungan sekitar dirinya. Atau dalam
bahasa yang paling sederhana, serangkaian peristiwa
yang terjadi di sekitar, dan pada saatnya menafsirkan
peristiwa-peristiwa tersebut serta memberikan kesan
dan tanggapan yang dirasa paling tepat terhadapnya,
atau dengan kata lain adalah pemaknaan terhadap
peristiwa tersebut. Berkomunikasi mengindikasikan
suatu tindakan yang komunikatif baik verbal maupun
non-verbal, yaitu kemampuan yang dimiliki oleh manusia
dengan komunikasi empati. Unsur-unsur yang terlibat
dalam interaksi adalah sensasi, tindakan, antisipasi
dan adaptasi. Sensasi dan tindakan merupakan dua unsur
yang saling mempengaruhi dan berkaitan dengan dunia
luar atau lingkungan sekitar sebagai input dan output.
input diterima sebagai informasi yang akan diproses
dengan melibatkan pengukuran dan penyesuaian terhadap
informasi yang tersedia dalam memori tanpa
menghilangkan noise untuk menentukan variabel/tema,
range, rasio, median, modul, titik referensi, dan
sebagainya sebelum tindakan sebagai output
dimunculkan. Selama dalam proses pengukuran dan
penyesuaian ini antisipasi dan adaptasi terjadi.
Antisipasi; merupakan suatu tindakan persiapan dalam
menghadapi suatu peristiwa yang diyakini akan terjadi
dan memperkirakan apa yang akan terjadi di masa
mendatang, sedangkan adaptasi; merupakan pembelajaran.
Keduanya merupakan proses mental yang terjadi dalam
diri sendiri dan membawa efek pada dekonstruksi
individu dan perubahan struktur cara berpikir manusia.


Kata kunci: interaksi, komunikasi empati, memori, 
dekonstruksi individu



A. LATAR BELAKANG/ANALISIS SITUASI:

Fenomena menarik yang disebut sebagai kompatiologi
tidak terlepas dari kontroversi kehidupan pribadi
Vincent. Sosok Vincent mulai dikenal luas oleh
masyarakat sejak menjadi penulis, sebagai anak Indigo,
kebiasaan menjadi ‘tukang ngebom’ e_mail yang berisi
pemikiran-pemikirannya di dunia maya, dan mengiklankan
diri menjadi dukun/healer dengan masuk dunia
metafisika/spiritual. Tidak hanya itu Vincent juga
dipersepsikan sebagai seorang psikopat, gila, sombong,
keras kepala, dan jorok. Di sisi lain banyak juga yang
meyakini Vincent sebagai seorang guru, ilmuwan,
mahasiswa kritis, baik dan rendah hati, suka
bermain-main, lucu seperti anak kecil dan tidak kurang
juga yang menganggap biasa saja sebagai pemuda yang
sedang dalam proses pencarian jati diri.  

Perjalanan pemikiran Vincent diawali menjadi pengamat
pasif, mengamati hal-hal yang dianggap sepele dan
tidak menarik perhatian orang lain. Hal ini dilakukan
sebagai cara yang diambil untuk menghadapi kelemahan
fisik, tekanan-tekanan lingkungan dan ortu karena
nilai jelek. Pengamatan ini dituangkan dalam tulisan
dan menghasilkan karya sebuah buku Berlindung di Bawah
Payung, diterbitkan tahun 2001 oleh Grasindo, Jakarta.
Kebiasaan menjadi pengamat masih berlanjut ketika
pindah sekolah ke Australia dengan perubahan tema,
yaitu keinginan untuk menjadi diri yang baru,
membentuk diri sendiri lepas dari tekanan-tekanan
lingkungan dan orang tua. Tulisannya berisi pengalaman
dirinya sehari-hari dengan
permasalahan-permasalahannya dan mengungkapkan soal
perubahan-perubahan emosional dirinya. Kumpulan
tulisannya dibukukan berupa e-book dengan judul
Menjadi Diri Sendiri, tidak diterbitkan. Tahun 2003
kembali ke tanah air dan sekolah di The Gandhi
Memorial International School (The GMIS). Pergaulan
lintas Negara di sekolah ini membawa perubahan
struktur cara berpikirnya dan terobsesi pada film-film
bertema mata-mata. Obsesi ini membuat Vincent
melakukan permainan sebagai partisipan observer &
percobaan dengan makan pagi bersama teman sekolahnya,
anak-anak dari kedutaan Korea Utara dan makan siang
dengan anak kedutaan Mozambique, India dan Oman setiap
hari. Kegiatan ini berlangsung hingga lulus dari The
GMIS awal tahun 2005. Di salah satu tulisannya yang
berjudul;’Tentang Manusia dalam Bumi Manusia’, Vincent
pernah mencoba menggambarkan pola pemikirannya soal
partisipan observer & percobaan-percobaan-nya. Tulisan
ini sempat memenangkan lomba menulis analisa karya
sastra tingkat SMU di Sekolah Pelita Harapan, Karawaci
pada tanggal 28 Oktober 2003. Dan dibukukan oleh
Pramoedya Institute di halaman pertama buku ‘Pramoedya
Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra’, diterbitkan
oleh Penerbit Malka, Juni 2004. 

Tahun 2005 awal, bosan dengan metafisika dan kembali
ke dunia tulis menulis. Dengan tetap mengaku sebagai
dukun, Vincent menyatakan kekritisannya terhadap
proses belajar mengajar di dunia pendidikan. Dia
menyatukan apa yang dipelajarinya di dunia tulis
menulis sejak SMP dengan pengalamannya di metafisika.
Mulai membuat sistem logikanya dengan banyak melakukan
percobaan. Vincent setelah jadi guru kundalini sejak
Juli-Desember 2005 & pengalaman menjadi penulis yang
memiliki penggemar tetap, merasa jenuh jadi tokoh
sendirian. Maka itu Vincent punya rencana untuk
membuat ilmu pengetahuan yang sifatnya menduplikasi
kemampuan dirinya. Ilmu yang dikembangkannya kemudian
diberi nama sementara sesuai dengan saran
teman-temannya di maillist dengan sebutan pineal
re-Programing (PrP). Percobaan demi percobaan
dilakukan dengan merekrut murid tetapi sifatnya
praktikal saja. Murid yang direkrut menggunakan
sebutan juga sebagai dukun. Sistem awal ini masih
berubah-ubah namanya, masih menggunakan system tanpa
noice dan butuh waktu panjang (tidak sistematis) bisa
beberapa hari sampai bulanan membimbingnya, maka dari
itu muridnya tidak banyak. 

Meski masih dengan nama yang belum tepat, sebenarnya
dilakukan adalah (1) Mempartisi pineal seperti halnya
kita melakukan partisi pada harddisk komputer dan
memasukkan operation system natural pada satu diantara
beberapa ruangan  partisi agar aman. Dan (2) Pada
ruangan yang lain dimasukkan satu operation system
berbeda untuk setiap ruangan. Operation system baru
tersebut tidak di buat/rancang sendiri, tetapi di
ambil (copy & paste/download) secara utuh (100%) dari
individu lain (baik itu benda hidup maupun benda mati)
dengan memanfaatkan hukum alam dimana setiap benda
baik hidup maupun mati ‘menginfeksi’ benda lain dan
bersamaan pula ‘terinfeksi’ benda lain. Semua saling
bergesekan dan saling mempengaruhi. Operating system
ini dapat di-install dan dapat di-uninstall kapan saja
dimana saja tanpa mengganggu operation system yang
natural dari individu tersebut. Dapat pula di-replace
dengan operating system yang lain. 


MUNCULNYA NAMA KOMPATIOLOGI

Hal lain yang dikembangkan di bangku kuliah adalah
eksperimen dengan istilah yang dia gunakan ‘memelet
dosen’, yaitu istilah ‘norak’ dari kegiatan  bagaimana
Vincent membuat konflik berdasarkan kombinasi ‘ke-4
elemen sifat dasar komunikasi manusia’ (elemen Air,
Tanah, Api & Udara). Metode ini diterapkan pada
hubungan dengan si dosen dalam proses pembelajaran di
kelas, sehingga tercapai suatu interaksi yang efektif
dan efisien antara dosen dan mahasiswa. Kemudian
berkembang menjadi studi logika dan komunikasi empati
yang bisa diterapkan lebih luas ke berbagai bidang dan
mengadakan pelatihan sehari di tahun 2006. Meski
dengan judul yang tampak netral tetapi dari
percobaan-percobaan dan media yang digunakannya
mengindikasikan aroma metafisik yang masih kuat, tapi
tidak mengurangi peminat dan penggunanya makin banyak.


Melihat apa yang dilakukan Vincent sebenarnya masih
berupa suatu metode, yaitu metode berkomunikasi yang
melibatkan empati dan sangat efektif untuk melakukan
tindakan komunikatif, tidak saja terhadap sesama
manusia tapi juga terhadap sesuatu di luar diri
sendiri (benda hidup lain dan benda mati) dengan cara
copy&paste memori. Setelah pelatihan sehari tersebut
maka penelaahan terhadap metode ini dimulai dengan
pembahasan tentang reasoning dibalik semua metode yang
diperagakan Vincent berkaitan dengan komunikasi empati
tersebut. Berbagai tulisan mengenai fungsi otak di
mana empati berakar; fungsi RAS yang membawa pada
peningkatan sensitivitas manusia karena fungsinya
sebagai pengatur sistem lalu lintas informasi antara
otak kiri dan kanan; fungsi kognisi manusia (persepsi
dan memori) yang terlibat dalam prossesesing
informasi, penyimpanan sampai pengambilan keputusan
yang memunculkan tindakan komunikatif, melakukan
guessing dan prediction yang didasarkan pada memori
yang dimiliki oleh individu; dekonstruksi (dan
rekonstruksi) individu yang akan membawa pada
perubahan struktur cara berpikir individu menjadi
lebih baik, dan lainnya. Semua tulisan tersebut
dipecah menjadi kitab-kitab dengan mengambil nama dari
empat elemen dasar yaitu angin, tanah, api &  air dan
direncanakan akan dibuat kitab-kitab turunan
berdasarkan pengelompokkan ke-4 elemen tersebut.
Sedangkan nama Kompatiologi muncul setelah salah satu
fakultas kedokteran di Jakarta mengundang tim
pengembang komunikasi empati untuk diskusi. Tujuan
dari diskusi ini adalah untuk melihat kemungkinan bisa
digunakan atau tidak dalam proses pembelajaran dan
masuk dalam kurikulum, karena salah satu butir
kompetensi seorang calon dokter adalah kemampuan
empati. 

Tindakan komunikatif ini melibatkan pengukuran
internal yang dilakukan oleh diri sendiri dalam rangka
melakukan antisipasi dan adaptasi terhadap peristiwa
atau kejadian yang dihadapi. Antisipasi merupakan
persiapan terhadap tindakan paling tepat apa yang akan
dilakukan untuk menghadapi suatu peristiwa yang
menyenangkan maupun tidak, yang diyakini akan terjadi
dan membuat perkiraan apa yang akan terjadi di masa
mendatang. Misalnya; dalam hidup kita mempunyai yang
disebut sebagai ‘model’/belief sistem untuk memahami
lingkungan sekitar. Model ini meliputi setiap detil
dari hal-hal yang sederhana sampai yang kompleks, dari
pensil, buku, anjing, orang, sampai tujuan hidup.
Model/belief sistem inilah yang dimanfaatkan untuk
melakukan antisipasi terhadap segala kemungkinan yang
akan terjadi dan membuat keputusan tindakan apa yang
paling tepat. Sedangkan adaptasi merupakan proses
pembelajaran. Kadang-kadang antisipasi yang kita
lakukan kurang tepat atau keliru, maka kita bisa
mencari di mana letak kelirunya, berusaha untuk
menemukan cara mengatasinya, dan belajar darinya.
Dengan demikian ada kemungkinan untuk melakukan
penyesuaian terhadap ‘model’ yang sudah ada dalam
diri, model yang telah tertanam dalam diri kita tanpa
disadari selama ini. Dalam proses hubungan timbal
balik antara antisipasi dan adaptasi ini menjadi lebih
mendalam dengan dilakukannya pengukuran terhadap
realitas peristiwa yang dihadapi dengan cara
menentukan variabel/tema, range, mode, median, titik
referensi, dan sebagainya. Pengukuran dilakukan dalam
rangka penyesuaian sehingga tercapai keseimbangan
antara input yang diterima dari lingkungan sekitar
dengan diri sendiri yang disesuaikan dengan tujuan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah
ditentukan.

Penyesuaian terhadap model/belief sistem sangat
dimungkinkan karena tidak adanya asumsi dikotomi benar
atau salah, tidak ada tujuan yang ideal, semuanya
bersifat relatif dalam kompatiologi. Sehingga teori
permainan dapat dimanfaatkan untuk menganalisis
strategi-strategi secara bebas yang ditujukan untuk
mencapai ‘kesuksesan’. Teori tersebut dapat menimbang
segala kemungkinan resiko dan keuntungan dari semua
strategi dalam permainan. Misalnya dalam menghadapi
perilaku ekonomi, selalu dilakukan penyesuaian dengan
cara yang customized pada klien yang berbeda. Teori
permainan juga dapat menjelaskan paradoks yang terjadi
dalam masyarakat, yaitu bagaimana orang bisa bekerja
sama dalam masyarakat, dengan kondisi terdapat
perbedaan status ekonomi, kepentingan, tingkat
pendidikan, usia, asal kota, dan sebagainya. Dengan
meminjam teori dilema narapidana untuk menjelaskan
interaksi antar individu, dengan menirukan
konflik-konflik yang ada dalam kehidupan nyata, antara
ego dan keinginan mengambil semuanya, atau kerja sama
harus diambil untuk memenuhi kebutuhan baik sendiri
maupun bersama. Sedangkan John Nash dengan teori
permainan non-kooperatif nya menjelaskan, bahwa tidak
ada peraturan yang bisa dipaksakan dari luar sampai
semua harapan terpenuhi sehingga tercapai kondisi
ekuilibrium. 

Sehingga kompatiologi kurang lebih merupakan suatu
pembelajaran tentang strategi permainan yang bersifat
customized yang berdasarkan pertimbangan hasil
pengukuran, bukan merupakan ‘metode terapi’ (ada pihak
yang terbantu dan yang membantu, ada pihak yang benar
dan ada yang salah sehingga perlu bantuan supaya
menjadi benar). Kompatiologi tidak mengajarkan
bagaimana seharusnya yang cenderung menciptakan
‘topeng’ baru pada individu, tetapi tidak mendapat
kesempatan untuk mencari penyelesaian secara mandiri.
Oleh karena itu Vincent menganjurkan para pengguna dan
pendekon untuk membuat konstruksi teori masing-masing
sesuai dengan special issue yang menjadi fokus
masing-masing dalam menggunakan kompatiologi.

Sampai disain penelitian ini ditulis, pro/kontra
terhadap keberadaan kompatiologi masih terus
berlanjut, apakah ilmiah atau tidak, ilmu atau bukan,
sejenis dengan hipnotis atau tidak, dan sebagainya.
Terlepas dari pro/kontra tersebut, pengguna kompati
makin banyak one by one, lintas agama lintas suku dan
lintas gender, meski tidak cepat penyebarannya tapi
terus ‘’mengalir’ satu persatu seperti sistem sel yang
membelah diri dan melakukan replikasi. Sejauh
observasi terhadap pengguna kompati yang telah
mengalami dekonstruksi, terdapat perubahan struktur
cara berpikir pada diri mereka menjadi lebih realistik
terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitarnya,
menjadi lebih rasional/bernalar. Menciptakan kedekatan
jangka panjang terhadap ‘pendekons’ dan pengguna
kompati yang lain dalam waktu singkat. Melihat efek
perubahan yang terjadi dalam diri individu, maka
sangat dimungkinkan ke depan akan tercipta suatu
masyarakat yang lebih rasional yaitu masyarakat yang
mampu menentukan pilihan-pilihan terhadap realitas
yang dihadapi berdasarkan realitas diri sendiri.
Dengan menggunakan kompati ‘batas-batas’ terhadap
suku, agama, dan gender menjadi kabur dan terkikis. 

Hal ini terjadi karena sistem kerja pikiran para
pengguna kompatiologi terbiasa untuk melakukan
pengukuran pada hal-hal yang dihadapi dalam ‘dirinya
sendiri’(ter-ukur), dan yang ‘di luar dirinya sendiri’
(peng-ukur). Pengukuran dilakukan dengan menentukan
karakteristik data berupa range, rasio, mode, median,
dan lainnya. Data yang didapatkan dari pengukuran
digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan
pilihan. Individu pelaku menjadi lebih paham tentang
hubungan antara past, present dan future memori,
sehingga ketika orang tersebut mengambil
pilihan/tindakan, orang tersebut telah menyadari
konsekuensi yang harus dibayar untuk setiap pilihan
yang dipilih untuk mencapai tujuan, termasuk jika
harus melakukan hal yang merugikan diri sendiri.

Di tengah pro/kontra terhadap keberadaan Kompatiologi,
peminat terhadap ilmu ini makin bertambah secara
konsisten. Melihat efek yang terjadi pada penggunanya
seperti yang dijelaskan pada paragraf di atas, maka
beberapa permasalahan sebagai tantangan bagi
pengembangan kompatiologi memerlukan jawaban segera.
Dan jawabannya adalah dengan melakukan penelitian.
Sehingga kompatiologi mempunyai tempat berpijak yang
kuat.



B. KAJIAN TEORITIK:

Kompatiologi dimulai dari pengalaman (yang dilakukan
oleh Vincent) tanpa pemahaman teori tertentu. Hal ini
membuat sulit/tidak mudah merumuskan apa itu ilmu
kompatiologi, karena belum ada teori yang pasti
sehingga gagasan ilmu kompatiologi ini dengan segala
pro/kontranya mengacu pada beberapa teori sekaligus
dan menggabungkannya menjadi suatu paduan yang sesuai
dengan pemahaman selama ini, yang di dapatkan dari
observasi terhadap apa yang dilakukan oleh Vincent dan
anggota tim yang lain.  Pada dasarnya tujuan dari
semua ilmu (entah ilmiah atau tidak) adalah mencoba
untuk menjelaskan semua yang terjadi di lingkungan
alam sekitar sehingga bermanfaat bagi kehidupan
manusia itu sendiri. Sementara teori yang digunakan
untuk menjelaskan fenomena kompatiologi adalah sebagai
berikut:
 

I. Hakikat Empati

Empati menunjuk pada suatu kemampuan, yaitu kemampuan
untuk mengetahui bagaimana perasaan, keinginan dan
atau kebutuhan orang lain tanpa ‘hanyut’ ke dalam
orang lain tersebut. Empati dibangun berdasarkan pada
kesadaran akan realitas diri sendiri, semakin terbuka
terhadap kemungkinan emosi diri sendiri yang muncul,
maka makin terampil kita membaca perasaan, keinginan
dan atau kebutuhan diri sendiri. Mimikri motor itulah
istilah teknis empati yang dikembangkan oleh Titchener
(1920). Meski ada sedikit perbedaan dengan makna
empatheia, yaitu ‘ikut merasakan’, teori Titchener
menjelaskan bahwa empati berasal dari semacam peniruan
secara fisik atas beban orang lain, yang akan
menimbulkan perasaan serupa dalam diri seseorang dan
akan menghilang seiring bertambahnya usia pada
anak-anak. Masalah yang timbul adalah bagaimana
menumbuhkan kembali empati pada orang dewasa, yang
telah mempunyai struktur mental tertentu.

Empati menurut kata dasarnya merupakan pemahaman yang
sifatnya egaliter, dimana tidak ada siapa yang lebih
baik, atau kurang baik sehingga perlu diperbaiki.
Siapa konsep yang lebih/kurang benar, dlsb.  

Empati yang merupakan bagian dari emosi manusia jarang
terungkap dengan kata-kata dalam bahasa, tapi dengan
komunikasi nonverbal, dengan isyarat. Sehingga
kemampuan untuk membaca pesan nonverbal menjadi
penting; nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, dan
sebagainya. Penelitian terlengkap tentang kemampuan
nonverbal ini dilakukan oleh Robert Rosenthal, ahli
psikologi dari Harvard. Tes empati yang disusun adalah
‘Profile of nonverbal sensitivity’(PONS).  


II. Hakikat Komunikasi

Tanpa berkomunikasi manusia tidak mungkin dapat
berinteraksi satu sama lain. Orang yang tuna netra
terkungkung dalam dunia kegelapan karena tidak dapat
berkomunikasi secara visual dengan orang lain. Ia juga
tidak dapat membaca dan menulis, kecuali dengan huruf
braille di mana orang biasa tidak mengenal aksara
tersebut. Demikian pula orang yang tuna rungu tidak
mampu berkomunikasi secara vokal atau auditif dengan
orang lain. Ia tidak dapat mendengar suara orang lain
sehingga tidak mungkin menerima apalagi memahami pesan
yang disampaikan orang lain lewat komunikasi vokal
atau auditif. Komunikasi empati dapat menerobos
hambatan dan kendala-kendala inderawi tersebut dan
langsung berakses kepada bawah sadar seseorang.

Berkomunikasi mengindikasikan suatu tindakan dalam
komunikasi, yaitu tindakan yang komunikatif baik
verbal maupun nonverbal. Model tindakan komunikatif
menurut Habermas tidak menyamakan tindakan dan
komunikasi. Bahasa adalah alat komunikasi untuk
mencapai pemahaman timbal balik, sementara pelaku ,
yang berusaha mencapai pemahaman satu sama lain agar
mampu menata tindakan-tindakan mereka, mengejar
tujuan-tujuan tertentu. Konsep tindakan sosial
dibedakan menurut caranya membuat spesifikasi
koordinasi di antara berbagai tindakan yang
berorientasi pada tujuan dari berbagai partisipan
sebagai kalkulasi atas manfaat yang saling
mempengaruhi, sebagai konsensus integrative tentang
berbagai norma dan nilai yang ditanamkan melalui
tradisi budaya dan sosialisasi, atau sebagai
tercapainya pemahaman menurut proses penafsiran secara
kooperatif. Keberhasilan penafsiran yang menjadi dasar
bagi proses kooperatif atas situasi tertentu
menggambarkan mekanisme yang  diperlukan untuk menata
tindakan: tindakan komunikatif bukannya hilang karena
tindakan mencapai pemahaman.

Argumentasi dari Habermas tentang kemampuan dalam
berkomunikasi memiliki inti universal, struktur dasar
dan aturan fundamental yang dikuasai dalam belajar
berbicara dengan bahasa. Kompetensi komunikatif bukan
hanya soal merangkai kata-kata gramatikal dan
menciptakan good image atau membuat pencitraan diri.
Dalam berbicara misalnya kita menceritakan pada dunia,
kepada orang lain, tentang maksud, perasaan dan
hasrat-hasrat kita. Pada masing-masing dimensi
tersebut selalu terjadi klaim terhadap validitas apa
yang dikatakan, maksudkan, dan yakini. Biasanya klaim
seperti ini dapat di kritisi, dipertahankan, atau di
revisi. Ada banyak cara untuk mengakhiri klaim yang
saling berlawanan, misalnya dengan menggunakan
otoritas, tradisi atau paksaan. Cara ini masih
dipandang sebagai cara tradisional sebagai gagasan
rasionalitas yang paling dasar dan fundamental.
Pengalaman tentang pencapaian pemahaman timbal balik
dalam komunikasi yang bebas dari paksaan-lah yang coba
dikembangkan di dalam kompatiologi, sedangkan Habermas
mencoba mengembangkan gagasan rasionalitas dalam
masyarakat.


III. Fungsi Kognisi (Memori)

Memori mempunyai peran penting dari keseluruhan proses
kognisi dalam diri manusia, yaitu dari persepsi,
penalaran sampai pengambilan keputusan. Memori bukan
sekedar ‘gudang informasi’ tapi juga menggambarkan
bagaimana individu membentuk identitas dirinya
sendiri, menjadi siapa, dapat dilacak dengan melakukan
analisis terhadap ‘isi’ dan cara kerja memori
tersebut. Memori bekerja berdasarkan asumsi bahwa
memori terhadap suatu peristiwa yang melibatkan
konflik, kontradiksi, sesuatu yang baru dan ke-tidak
akrab-an dapat menginformasikan suatu proses informasi
diri. Hal tersebut dikarenakan peristiwa tersebut
membutuhkan refleksi dan kajian ulang dalam kaitannya
dengan apa yang telah dijaminkan sebelumnya. Apa yang
telah di konstruksi secara sosial sebagai problematik
di masa lalu tersebut dan bagaimanakah kontradiksi
tersebut dapat dipecahkan merupakan sesuatu yang dapat
memberikan konsekuensi terhadap perasaan pemaknaan
diri individu. Perasaan terhadap diri dapat dibentuk
dari kebiasaan-kebiasaan rutinitas yang tidak
mengalami refleksi. Karena sering kali kita tidak
merefleksikan apa yang kita lakukan dalam kehidupan
sehari-hari maka siapa diri kita sekarang ini
merupakan bentukan dari hal tersebut. 


IV. Neuro Biologi Empati

Pada awalnya setelah ilmuwan mengenal perbedaan fungsi
dari kedua belahan otak orang terjebak pada pemikiran
bahwa kedua belahan otak bekerja secara otonom tanpa
campur tangan satu sama lain. Kemudian ternyata selain
kedua bagian otak itu memiliki fungsi tersendiri dan
terpisah namun ada semacam bagian yang menjembatani
arus bolak-balik informasi antara kedua bagian belahan
otak tersebut yang disebut Corpus Callosum. Sedangkan
“traffic managing system” bagi pengaturan arus
tersebut dilakukan oleh “reticular activating system”
atau RAS.  Sistem kerja kedua belahan atau hemisfir
otak bersifat vektoral yang dapat dianalogikan dengan
sistem kerja pada suatu perangkat sound system yang
bersifat stereophonic. Alat sound system itu
memisahkan nada-nada yang keluar pada pengeras suara
kiri yang berbeda output nadanya dengan yang kanan.
Namun, baik secara bergiliran dan juga kadang-kadang
secara bersama-sama mampu menghasilkan suatu output
musik yang harmonis dan enak didengar.
 

V. Filsafat Nir-Aku Dalam Kompatiologi

Ilmu Kompatiologi berpangkal dan berakar pada filsafat
nir-aku (egoless self philosophy). Orang harus
meninggalkan sifat keakuannya (selfishness) sedemikian
rupa sehingga memungkinkan dia untuk masuk ke dalam
alam pikiran dan kesadaran orang yang diajaknya
berkomunikasi. Semakin mampu orang mengosongkan
dirinya (kenosis) dari kepentingan-kepentingan yang
bersifat keakuan (selfishness) semakin mampu ia
berempati kepada orang lain. Ia harus mampu melepaskan
kepentingan dan hasrat pribadinya (to detach) termasuk
“gengsinya” sebelum berkomunikasi dengan orang lain.
Orang yang “selfish” maupun yang egosentris akan
menghadapi kendala yang amat besar untuk mempelajari
ilmu Kompatiologi. Terlebih-lebih lagi mereka yang
memiliki tujuan imoral kendati tersamar terhadap orang
yang diajaknya berkomunikasi yang memang sedang dalam
posisi rentan karena sedang bermasalah.

V.1. Keunggulan Dalam Kekosongan
Dalam kekosongan (selflessness) barulah orang dapat
memberikan diri seutuhnya untuk menyerap secara
osmotik pikiran, perasaan serta motivasi orang lain.
Bila orang masih penuh dengan pikiran, perasaan serta
motif subyektif pribadinya sendiri maka tidak tersedia
cukup ruang kosong untuk menyerap hal yang sama dari
pihak orang lain. Dengan demikian kekosongan itu
bukanlah suatu kerugian (disadvantages) melainkan
justru merupakan suatu keuntungan (advantages) bagi
suatu hubungan komunikasi empati.

V.2. Keunggulan Dalam Kesetaraan
Dalam kekosongan karena pengosongan diri tersebut
orang menempatkan dirinya “sama dan sejajar” (setara)
dengan orang yang diajak berkomunikasi empati. Hanya
dalam kebersamaan yang setara inilah proses osmosis
pikiran, perasaan dan motivasi orang lain dapat
diserap dengan sebaik-baiknya. Aku dan orang lain
bukanlah lagi entitas yang terpisah satu sama lain -
kecuali secara fisik melainkan adalah satu dan sama
dalam kondisi keterhubungan osmotik dalam memori
kolektif mereka bersama. Aku adalah kamu dan kamu
adalah aku secara osmotik.


VI. Dekonstruksi/rekonstruksi

Dekonstruksi merupakan sebuah istilah yang merujuk
pada ‘pembongkaran’ teks-teks, strategi intelektual
atau model pemahaman yang dikembangkan oleh Jacques
Derrida. Selanjutnya derrida memperlihatkan bahwa
tulisan misalnya kalau dinilai benar maka merupakan
prakondisi dari bahasa dan ada bahkan sebelum ucapan
oral. Kalau tulisan dilihat dari sekedar grafis dalam
pengertian normalnya, maka tidak benar bahwa tulisan
merupakan representasi palsu, atau topeng dari ucapan.
Kenyataannya tulisan melepaskan diri dari ucapan
dengan segala asumsi kebenaran alamiah dan dari
predikat sebagai topeng dari logos. Tulisan merupakan
sebuah permainan bebas unsur-unsur dalam bahasa dan
komunikasi. Tulisan merupakan perubahan makna secara
terus menerus, dan perubahan ini menempatkannya pada
posisi diluar jangkauan kebenaran mutlak (logos).
Derrida melihat tulisan merupakan jejak bekas tapak
kaki yang mengharuskan kita menelusurinya untuk
mencari si empunya kaki. Proses dari berpikir,
menulis, berkarya berdasar jejak kaki ini yang disebut
sebagai differance. Derrida mendefinisikan sebagai
berikut:

“Differance merupakan permainan sistematis,
perbedaan-perbedaan, jejak dari perbedaan,
pen-jarak-an yang dengan cara tersebut unsur-unsur
dikaitkan satu sama lain. Pen-jarak-an ini merupakan
kegiatan yang aktif dan pasif sekaligus secara
simultan.”

Menurut akarnya, dekonstruktivisme tidak berakar pada
pengertian derrida tapi berasal dari konstruktivisme
Rusia. Dalam model berkarya yang asli, para artis
Konstruktivisme mengembangkan bentuk dengan menggali
kemungkinan dari prinsip-prinsip konstruksi dan
permesinan. Dalam eksperimen yang mereka lakukan
dengan memecah volume bentuk menjadi beberapa
komponen, dan merekonstruksi elemen-elemen tersebut
dengan cara yang rasional untuk mendapatkan hasil
akhir. Bentuk akhir ini akhirnya dapat diapresiasi
dengan model dekonstruksi derrida. 

Dan agar dekonstruksi menghasilkan dinamika
kreativitas dan produktivitas yang berguna bagi
kemajuan individu, maka diperlukan tahap berikutnya
yang mengikuti yaitu rekonstruksi. Sebuah proses
penataan ulang secara terus menerus terhadap struktur
yang telah di dekonstruksi tadi, akan  memerlukan
waktu bagi hidupnya struktur beserta konsensus yang
membangunnya. Jadi dilakukan tidak pada sembarang
waktu tapi pada saat sebuah struktur telah mengalami
degradasi, dan sebaliknya rekonstruksi harus selalu
ditempa oleh masyarakat lewat perkembangan waktu, yang
tidak teruji tidak layak hidup.



C. PERUMUSAN MASALAH :

Melihat perkembangan Kompatiologi sampai saat ini maka
ada beberapa permasalahan diantaranya:
1. Belum ada pembuktian ilmiah
2. Tesis dari kompatiologi perlu pembuktian
3. Masalah dinamika dekonstruksi individu dalam
kompatiologi
4. Mengukur perubahan yang terjadi
5. Merumuskan kelebihan dan keterbatasan kompatiologi
6. Asumsi yang melandasi kompatiologi
7. Pertanyaan epistemologi bagi kompatiologi
8. ..............



D. TUJUAN :

Tujuan dari penelitian kompatiologi adalah untuk
menyusun landasan berpijaknya kompatiologi sebagai
ilmu, sehingga pemanfaatan kompatiologi sebagai ilmu
semakin meluas jangkauan penggunanya, baik dalam
jangkauan geografis maupun bidang terapannya. Setelah
itu dengan melakukan tindakan komunikatif berdasarkan
komunikasi empati diharapkan tercapainya masyarakat
yang independen tidak lagi terikat pada dan dibatasi
oleh premis-premis subjektif teori sosial (terbebas
dari ‘topeng-topeng’, terkait dengan dinamika
dekonstruksi individu) dan mampu melakukan pengukuran
dan penyesuaian sehingga mampu menentukan
pilihan-pilihannya sendiri berdasarkan pengukuran
realitas yang customized.  



E. METODOLOGI PENELITIAN :

E.1. Studi Awal :
Focus Group Discussion (FGD) pada level pengguna dan
masyarakat, diperkirakan 5 kali FGD meliputi kelompok
:
* Pengguna yang sudah mengalami dekonstruksi.
* Pengguna yang telah mampu melakukan dekonstruksi
terhadap peminat kompati secara tandem atau mandiri.
* Akademisi 
* Praktisi 
* Masyarakat umum / LSM.


E.2. Pendekatan Kualitatif:
Dalam kerja Memori, perbedaan antara peneliti dan yang
diteliti, antara pengumpulan data dan analisis, antara
akademik dan pengetahuan keseharian memperoleh
tantangan. Metoda ini meliputi proses kerja kelompok
yang terdiri dari proses mengingat, membandingkan,
mendiskusikan dan menyusun teori. Kerja Memori dapat
berlangsung berbulan-bulan bahkan tahunan untuk
diselesaikan dan beragam pemahaman juga sangat
dimungkinkan terjadi. Beberapa proyek Kerja Memori
bahkan telah memperjelas dan memperdalam konsep-konsep
tertentu yang dimiliki partisipan dan juga menantang
konsep-konsep teoretis psikologis. Karena kekhasan
metode Kerja Memori dalam prosedur penelitiannya maka
ada baiknya kita memperhatikan arahan dari Haugg
(1987) agar tercapai proses analisis dan perumusan
teori yang sistematis. Proses penelitian dipisah
menjadi tiga: fase 1 berkaitan dengan penulisan
memori, fase 2 analisis memori, dan fase 3 integrasi
dan pembentukan teori.


Fase 1: Pengumpulan Memori

Langkah 1: Membentuk kelompok memori
Kelompok Kerja Memori dapat memiliki anggota dari
empat hingga delapan anggota. Crawford(1992)
merekomendasikan agar anggota-anggota kelompok
tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama dalam
hal topik yang sedang diteliti. Untuk beberapa topik,
teman sebagai anggota kelompok mungkin akan lebih
sesuai. 

Langkah 2: Memilih perangsang / pemicu
Untuk memfasilitasi anggota kelompok untuk menulis
memori, diperlukan suatu pemicu yang sesuai. Tidak
mudah untuk mendapatkan pemicu yang tepat. Pemicu yang
dianggap populer seperti ’cinta pertama’ ’amarah’
belum tentu dapat menjadi pemicu memori yang baik. Hal
ini karena kerja memori lebih tertarik pada proses
bagaimana diri dibentuk dalam lingkup sosial daripada
memperoleh akses kepada konstruksi sosial yang
mendominasi lingkup sosial kita. Pemicu yang efektif
bersifat spesifik dan tidak abstrak.

Langkah 3: Menulis memori
Setiap angota kelompok menulis ingatan mereka sesuai
dengan pemicu yang ada. Penulisan memori dapat
berlangsung dalam pertemuan kelompok atau di luar
kelompok itu sendiri. Crawford dan kawan-kawan (1992)
menyarankan bahwa periode penulisan memori dapat
berlangsung lama sehingga lebih ideal apabila diadakan
di luar pertemuan kelompok tersebut. Untuk meyakinkan
memori ditulis dengan cara yang sesuai dengan analisis
Kerja Memori maka diharapkan penulisan menggunakan
orang ketiga tunggal dan melibatkan keadaan yang
sangat detail. Adalah penting untuk menghindari
pensensoran informasi yang nampaknya tidak relevan dan
juga menghindarkan interpretasi ataupun pembenaran.
Gaya penulisan sebaiknya deskriptif namun kaya dan
detail. Hal ini dikarenakan catatan orang pertama yang
berisikan penjelasan autobiografis dapat mengarah
kepada pembenaran diri namun menghindarkan kontradiksi
dan konflik informasi. 

Fase 2: Analisis memori

Langkah 4: Analisis teks
Anggota kelompok berkumpul kembali dengan catatan
memori mereka. Awalnya individu menganalisis secara
mandiri dan terpisah. Setiap anggota kelompok
diberikan salinan tercetak dari setiap memori yang
dicetak. Catatan memori yang ada tersebut diuji
setelah diurutkan sesuai dengan urutan peristiwa yang
ada. Kemudian dianalisis berdasarkan relasi peran,
kontradiksi, pernyataan yang dibuat dan juga banyaknya
hal-hal yang tidak dicatat. Tahapan ini penuh dengan
proses berbagi seperti tahap pertama dari Analsis
wacana Foucaldian yang betujuan menganalisis
konstruksi sosial dari setiap makna yang ada dalam
catatan memori.

Langkah 5: Analisis Cross-Sectional
Di sini, rekanan peneliti membandingkan memori mereka
satu sama lain dengan memperhatikan kesamaan dan
perbedaan dan juga tema-tema yang sering kali
berulang-ulang. Fokus dari kegiatan ini terletak pada
relasi sosial di mana memori dapat ditemukan dan juga
pemaknaan budaya yang melatari perolehan memori
tersebut. Anggota kelompok mengeksplorasi
memori-memori tersebut sebagai manifestasi dari
lingkup sosial mereka. Hal ini berarti ada proses
pembentukan konsep populer, gambaran-gambaran yang
sesuai dengan memori mereka. Adalah juga penting untuk
memperhatikan apa yang tidak ada dalam memori atau apa
yang seharusnya tidak ada. Langkah ini berusaha untuk
membuka atau menemukan proses yang ada dalam
konstruksi pemahaman logika. Diskusi kelompok yang
berdasarkan pada analisis tekstual atau analisis Cross
sectional direkam dalam tape dan kemudian
ditranskripkan. Transkrip tersebut kemudian menjadi
data untuk analisis yang lebih jauh lagi dalam fase 3.

Langkah 6: Penulisan kembali memori
Pada proses langkah ini sangat bermanfaat bagi anggota
kelompok untuk meninjau kembali dan menulis kembali
apa yang telah ditulisnya melalui proses analisis
tekstual dan analisis cross sectional. Menulis memori
kembali merupakan suatu cara untuk mempertajam kembali
kesadaran proses pemaknaan melalui cara yang berbeda
dalam memaknakan peristiwa yang sama tersebut. Di
sinilah kerja memori berkaitan dengan proses
penyadaran kembali.

Fase 3: integrasi dan pembentukan teori

Langkah 7: analisis transkrip dan memori
Sekarang adalah waktu untuk membandingkan dan
mengontraskan memori yang telah diproduksi sesuai
dengan pemicu yang khusus (individual spesial isue).
Transkrip-transkrip dari diskusi kelompok yang
berkenaan dengan memori merupakan data yang lebih
dalam lagi untuk dianalisis secara integratif. Ide–ide
yang dikumpulkan oleh anggota kelompok dalam
keterkaitannya dengan konstruksi sosial tertentu
merupakan suatu bentuk penilaian kritis dan bersifat
lebih jauh lagi secara teoretis. Teori-teori dan
model-model yang sudah ada, juga dieksplorasi melalui
masukan-masukan kelompok. Berapa banyakkah model-model
yang sudah ada yang dapat dimodifikasi untuk
mengakomodasi data yang sudah ada? Teori seperti
apakah yang dapat menjelaskan observasi kelompok?
Sebagai tambahan, pendapat-pendapat harian dan juga
persepsi logis juga cenderung untuk memperoleh
penilaian ulang secara kritis. Sekali lagi kita dapat
melihat bahwa kerja memori menantang kategori-kategori
dan perbedaan-perbedaan yang sudah ada. Dalam kerja
memori, transkrip tekstual dan cross sectional
kelompok yang sudah ada digunakan dalam data sementara
teori psikologis dan wacana harian tergantung pada
penilaian yang sama. Pengumpulan data dan fase
analisis tidak dibedakan secara jelas seperti dalam
Grounded Theory ketika wacana harian dan teoretis
dilibatkan. 

Langkah 8: Menulis Kerja Memori
Proses penulisan Kerja Memori masih merupakan bagian
fase 3. Dalam proses ini dapat terjadi revisi dan
klarifikasi proses formulasi teori. Karena kerja
memori merupakan kegiatan kolektif maka menulis tidak
dapat dipisahkan dari proses diskusi yang lebih dalam.
Kerangka tulisan harus dapat dibaca dan di diskusikan
oleh rekan peneliti. Hal ini dapat memicu munculnya
ide baru dan juga perubahan dalam analisis memori yang
sudah ada. 


E.3. Pendekatan Kuantitatif

Fase 1: Konfirmasi dari hasil studi kualitatif
Metode survey dengan menggunakan kuesioner, disebar
pada sekitar 100 - 200 masyarakat setempat yang
dilakukan sebagai langkah konfirmasi dari hasil studi
kualitatif.

Fase 2: Penyusunan Alat Ukur
Meminjam istilah dari DeMarco,’apa yang tidak bisa
diukur maka tidak bisa dikontrol’. Seperti orang
mengendarai mobil tapi tidak mempunyai
komponen-komponen mobil seperti spedometer, odometer,
indikator  temperatur, indikator bahan bakar, dan
sebagainya. Maka yang akan terjadi adalah tidak bisa
kita membuat prediksi kapan sampai tempat tujuan,
bahan bakar masih dapat digunakan kira-kira berapa
jauh lagi, dan sebagainya. Begitu juga dalam perubahan
struktur internal individu dan kemampuan individu
melakukan antisipasi dan adaptasi terhadap peristiwa
yang terjadi di sekitarnya. Dalam penelitian ini
terdiri dari dua langkah atau dua bagian yaitu; 
* Langkah 1: Pengukuran terhadap perubahan struktur
cara berpikir dan  
* Langkah 2: Penyusunan alat ukur terhadap kemampuan
nonverbal. 

Keduanya mempunyai proses yang kurang lebih sama,
yaitu:
a. Mendefinisikan tujuan
b. Menderive pertanyaan-pertanyaan
c. Mengembangkan skala
d. Mendefinisikan data dan pengumpulannya
e. Melakukan analisis data yang telah terkumpul
f. Alat ukur selesai

Proses penyusunan alat ukur ini bisa dilakukan secara
simultan dengan pendekatan kualitatif.


E.4. Tenaga Penelitian

* Advisory board : Vincent Liong, Juswan Setyawan
* Ketua tim peneliti: Cornelia Istiani,M.Psi.T 
* Tim Peneliti: Merkurius Adhi Purwono, Ondo Untung,
Wursita ....
* +/- 10 orang pengambil data lapangan, yang akan
diterjunkan dalam lokasi penelitian.
 

E.5. Jadwal Penelitian (sementara)

Total jadwal penelitian dan workhsop diperkirakan
berjalan selama dua tahun, dengan urutan:
* Tahun pertama;
Bulan 1 : Persiapan FGD
Bulan 2 : Pelaksanaan FGD
Bulan 3 : Analisis dan laporan kegiatan FGD dan
persiapan tahap 
Bulan 4 : pelaksanaan tahap kualitatif 

* Tahun kedua:
Bulan 1- 4  : pelaksanaan lanjutan dari tahap
kualitatif
Bulan 5  : analisis data kualitatif
Bulan 6  : Workshop 1 & 2
Bulan 7  : laporan tahap kualitatif dan persiapan
tahap kuantitatif
Bulan 8-10 : pelaksanaan tahap kuantitatif
Bulan 11  : analisis data kuantitatif         
Bulan 12  : Workshop 3 & 4



F. MANFAAT :

Berdasarkan tujuan di atas, output dari penelitian ini
diharapkan untuk masing-masing tahapan sebagai
berikut:

1. Tahap Studi Awal
FGD yang dilakukan diharapkan memberikan masukan,
pemahaman, pengertian dari konsep-konsep tentang
komunikasi empati yang berlaku pada masing-masing
individu dan masyarakat. Sehingga diperoleh suatu
pemetaan terhadap pola pembentukan diri individu, 
pola perubahan setelah menggunakan kompati, dan
membuat model struktur ilmu kompatiologi. Selain itu
mendefinisikan manfaat yang didapat dengan penggunaan
kompati dalam berinteraksi dengan lingkungan di luar
diri sendiri.

2. Tahap studi kualitatif
Studi kualitatif yang dilakukan dengan pendekatan
terhadap Kerja Memori diharapkan mengonfirmasi hasil
temuan pada studi awal dan memberikan gambaran tentang
dinamika dekonstruksi/rekonstruksi individu setelah
menggunakan kompati. Sehingga akan diperoleh bagaimana
individu mengalami perubahan struktur cara berpikir
(yang dalam prosesnya melibatkan fungsi
kognisi/memori, persepsi) dan menjadi diri yang baru,
bagaimana individu terbebas dari ‘belenggu’ norma,
dogma yang telah tertanam dan menjadi realitas yang
tidak disadari lagi, berubah menjadi individu dengan
realitas diri sendiri yang baru dan mempunyai
fleksibilitas terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi di sekitarnya, serta untuk melihat bagaimana
hubungan timbal balik antara antisipasi dan adaptasi
berlaku dalam diri masing-masing individu. Setelah itu
sangat dimungkinkan untuk mendapatkan gambaran dan
pemicu untuk melakukan dekonstruksi yang bersifat
massal terhadap memori kolektif masyarakat dan
diharapkan terbentuk suatu masyarakat yang lebih sadar
akan realitas dirinya sendiri sehingga mampu membuat
keputusan untuk melakukan tindakan yang sesuai.

3. Tahap studi kuantitatif
Studi dengan pendekatan kuantitatif perlu dilakukan
selain sebagai pelengkap juga karena manfaat yang
biasa didapatkan adalah untuk mengetahui kecenderungan
individu pengguna kompati, posisi kompatiologi
terhadap ilmu-ilmu yang lain, serta pembuatan alat
ukur terhadap perubahan sebagai akibat dekonstruksi
dan terbentuknya alat ukur terhadap kemampuan
nonverbal.



G. RENCANA KEGIATAN :

G.1. Tahap awal/FGD:
G.2. Tahap studi Kualitatif:
G.3. Tahap Studi Kuantitatif:



H. Workshop dan seminar 

Workshop dan seminar diselenggarakan dengan tujuan
untuk merumuskan dan menggali; kebutuhan-kebutuhan,
permasalahan-permasalahan seputar konstruksi diri,
alternatif meningkatkan kemampuan berinteraksi dan
perubahan. Workshop sendiri merupakan kegiatan untuk
menyosialisasikan dan mendiskusikan hasil temuan dari
masing-masing tahap penelitian. Tujuannya untuk
mendapat masukan dan umpan balik dari apa yang menjadi
temuan penelitian dan kemungkinan-kemungkinan lain
yang terkait dengan komunikasi empati. Peserta yang
diharapkan hadir: 
* akademisi 
* praktisi 
* masyarakat
* pemuka agama
* Lsm
* ........


Jakarta, 24 Oktober 2006
Cornelia istiani




Bilamana anda berminat berpartisipasi; support dana,
sukarelawan, pengguna, dlsb... kami dapat dihubungi
melalui...

contact persons:
* Vincent Liong / Liong Vincent Christian
cdma: 021-70006775 telp: 021-5482193, 5348567
email: <[EMAIL PROTECTED]> 
Bank Account: Bank Central Asia (BCA)
a/c: 178-117-9600 a/n: Liong Vincent Christian
* Cornelia Istiani,M.Psi.T
cdma: 021-68358037 hp: 081585228174
email: <[EMAIL PROTECTED]>
Bank Account: Bank Mandiri 
a/c: 006-00-0446578-1 a/n: Istiani

maillist:
* [EMAIL PROTECTED] (1200 members)
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong 
* [EMAIL PROTECTED] (138 members)
http://groups.yahoo.com/group/komunikasi_empati 
* [EMAIL PROTECTED] (89 members)
http://groups.google.com/group/komunikasi_empati 
* [EMAIL PROTECTED] (1560
members)
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif
* [EMAIL PROTECTED] (765 members)
http://groups.yahoo.com/group/r-mania 



Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com 


posting : psikologi_net@yahoogroups.com
berhenti menerima email : [EMAIL PROTECTED]
ingin menerima email kembali : [EMAIL PROTECTED]
keluar dari milis : [EMAIL PROTECTED]
----------------------------------------
sharing artikel - kamus - web links-downloads, silakan bergabung di 
http://psikologi.net
---------------------------------------- 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/psikologi_net/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/psikologi_net/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke