Assalamualaikum.Wr.Wb.

Maaf bagi yang sudah baca berita hari ini,berhubung
akhir2 ini saya sibuk dan malas nulis yang
seriusan,maka saya copykan aja cerpen hari ini yang
cukup menarik juga.( hehehe..kisah seorang pemuda
putus cinta,akhirnya dapat istri yang shalehah
).Syukurnya dapat ayah seperti itu,yang mengerti jiwa
muda anaknya.


Dapatkan kita menjadi orang tua yang arif,lagi
bijaksana bagi anak-anak kita,atau seorang anak yang
tahu mana baik dan buruk ..? Jawabannya ada di diri
kita masing-masing.

Wassalam.Rahima.


Perempuan Impian 

Laporan: Cerpen Irwan Kelana 


Ketika Putri mendadak memutuskan cintanya, Irfan
berubah jadi pemurung. Dan ketika gadis pujaannya itu
menikah diam-diam di Surabaya, Irfan betul-betul
frustrasi. Dia tak mau makan-minum, sehingga akhirnya
terkena tifus. Betapa ironis, ketika mantan kekasihnya
tengah menikmati bulan madu di Bali, dia justru
terbaring di rumah sakit. Lalu, apakah yang dapat
dilakukan seorang ayah untuk menghibur anak lelakinya
yang patah hati? Untuk membangkitkan kembali semangat
juangnya yang hampir mati?

Irfan adalah anak yang cemerlang. Sejak kecil dia
selalu jadi bintang kelas. Namun, anak itu pendiam dan
perasa. ''Kamu betul-betul menuruni darah Ayah. Selalu
serius, mendalam, dan penuh ketulusan kalau mencintai
perempuan. Sehingga, kalau putus cinta betul-betul
terpuruk. Padahal, seperti kata peribahasa, dunia ini
tidak sedaun kelor. Di dunia ini begitu banyak wanita,
Nak,'' ujarku saat berbicara dari hati ke hati
sepulangnya ia dari rumah sakit.

''Tapi tidak ada yang secantik dan sebaik Putri, Yah.
Dia yang dulunya tak pakai kerudung, kini mulai
belajar pakai kerudung. Tapi kenapa ketika
keislamannya semakin sempurna, kok dia tega
meninggalkan saya dan menikah dengan manajer
perusahaan elektronik itu?'' 

''Sudahlah, Nak. Sesuatu yang lepas dari tangan kita
memang selalu kelihatan indah. Begitu pula kalau kita
kehilangan perempuan yang kita cintai. Mata kita
tertutup bahwa di sekeliling kita masih banyak
perempuan lain yang mungkin lebih baik dari dia.''

''Aku baru sekali ini jatuh cinta, Yah. Selama SMU dan
kuliah, waktuku lebih banyak aku habiskan untuk
belajar, dan organisasi ilmiah di kampus.'' ''Ayah
paham, Nak. Ayah mau buka rahasia. Sewaktu SMU dulu
Ayah mengalami nasib yang mirip kamu. Cinta tak
kesampaian, padahal Ayah dan Rini, nama perempuan itu,
sama-sama saling mencintai. 

Bertahun-tahun Ayah nyaris frustrasi dan tak pernah
mampu menghilangkan bayang wajahnya. Sampai kemudian,
lima tahun setelah itu, Tuhan mempertemukan Ayah
dengan ibumu. Dia wanita tercantik di Cianjur ketika
itu. Baru lulus SMU. Banyak sekali pemuda yang
mengincar ibumu. 

Entahlah, kenapa dia mau menikah dengan Ayah yang
ketika itu masih berstatus mahasiswa dan belum punya
pekerjaan, kecuali menjadi penulis free lance di
koran. Kami menikah hanya dua minggu sejak pertama
kali bertemu.'' Irfan termenung. Mungkin ia
merenungkan kalimat demi kalimat yang tadi aku
ucapkan.

''Nak, laki-laki itu ibarat buah kelapa. Makin tua,
makin bersantan. Biarpun jelek, botak dan gendut,
kalau punya kedudukan, berharta, dan terkenal, maka
gadis-gadis muda antri untuk mendapatkannya. Untuk
sekadar jadi teman kencan maupun istri sungguhan.''
''Benarkah?''

''Ya. Dengan modal hanya sebagai wartawan senior dan
novelis top saja, Ayahmu ini seringkali digilai oleh
perempuan-perempuan muda. Mereka berusaha mencuri
perhatian Ayah dengan berbagai cara. Kalau Ayah tidak
kuat iman, Ayah mungkin sering kencan dengan banyak
perempuan. Kalau Ayah kurang sabar, Ayah mungkin
beristri dua, tiga, atau bahkan empat.'' ''Apa yang
membuat Ayah bertahan?'' ''Ibumu. 

Dia perempuan yang hebat. Kesabaran, ketulusan,
kehangatan dan kasih sayangnya luar biasa. Hal itu
telah ditunjukkannya saat Ayah masih belum punya
apa-apa, belum diperhitungkan orang, bahkan dilirik
sebelah mata pun tidak. Kami menikah dalam keadaan
miskin. Bahkan cincin kawin untuk ibumu baru Ayah
belikan lima tahun setelah pernikahan. 

Tahun-tahun pertama pernikahan, kami sering makan
hanya nasi dan garam saja. Namun tak pernah sekalipun
Ayah mendengar ibumu mengeluh atau menunjukkan air
muka masam. Sebaliknya, Beliau selalu berusaha
membesarkan hati Ayah. Bahwa Ayah punya potensi. Bahwa
Ayah suatu hari nanti akan jadi orang hebat di bidang
sastra maupun jurnalistik.

Dua puluh delapan tahun perkawinan dengan ibumu
sungguh merupakan perjalanan hidup yang amat berarti
bagi Ayah. Itulah yang membuat Ayah tak pernah mau
berpaling kepada perempuan lain. Rasanya sungguh tak
adil, setelah menjadi orang yang terkenal dan punya
uang, Ayah lalu mencari perempuan lain untuk membagi
cinta ataupun sekadar bersenang-senang.''

''Ayah beruntung mendapatkan perempuan sebaik ibu.
Tapi aku? Satu-satunya perempuan yang aku cintai kini
telah pergi.'' ''Jangan menyerah dulu, Nak. Cuti
doktermu 'kan masih tiga hari lagi. Bagaimana kalau
besok Ayah ajak kau jalan-jalan keliling Jakarta? Kita
santai dan cari makan yang enak. Siapa tahu kamu bisa
melupakan Putri-mu dan mendapatkan pengganti yang
lebih baik.'' Irfan tidak langsung menjawab. ''Ayolah,
Nak. Ayah yang akan jadi sopirmu. Kau tinggal duduk di
jok depan. Oke?'' Lama baru Irfan mengangguk.
''Baiklah, Ibu ikut?'' ''Tidak. Ini urusan laki-laki,
Nak,'' sahutku seraya tertawa. Hari pertama aku
mengajak Irfan berkeliling Mal Pondok Indah. 

Mal yang terletak di kawasan Pondok Indah, Jakarta
Selatan itu selalu ramai dikunjungi orang-orang
berduit. Hanya dalam hitungan jam kita bisa
menyaksikan puluhan bahkan ratusan perempuan muda,
cantik dan seksi, keluar masuk mal. Umumnya mereka
mengenakan pakaian yang menonjolkan lekuk-lekuk
fisiknya, seperti dada, udel, pantat, paha, ketiak dan
punggungnya. 

Seusai Maghrib aku mengajak Irfan nonton film di
Kartika Chandra 21 yang terletak kawasan Segi Tiga
Emas Jakarta, tepatnya Jalan Gatot Subroto. Di sini
banyak sekali pasangan yang datang menonton. Umumnya
perempuan-perempuannya mengenakan gaun malam yang
seksi dan terbuka. 

Banyak juga yang memakai rok mini ataupun celana blue
jean ketat di bawah pinggang sehingga sering kali
memperlihatkan celana dalam pemakainya. Hari kedua aku
mengajak Irfan pergi ke kantor sebuah bank syariah.
''Ayah mau setor tabungan dulu sekaligus mau buka
rekening khusus zakat. Mau ikut masuk?'' Irfan mulanya
enggan. ''Ayolah.'' Akhirnya ia mau juga ikut. Kami
menemui salah seorang customer service officer. Laili
namanya. ''Assalaamu'alaikum, Pak Irwan. Ada yang bisa
saya bantu?'' suaranya bening dan terkesan manja,
namun tidak dibuat-buat. Balutan jilbab coklat itu tak
mampu menyembunyikan posturnya yang semampai dan wajah
selembut kabut. ''Wa'alaikumsalaam, Mbak Laili. Saya
ingin membuka rekening khusus untuk zakat. Oh, ya,
kenalkan ini anak sulung saya. Irfan. Irfan, ini Mbak
Laili.'' ''Assalaamu'alaikum, Mas Irfan.''
''Wa'alaikumsalaam, Mbak Laili.'' ''Irfan kerja di
gedung ini juga, Mbak Laili. Lantai 12.'' ''Oh, ya?''
Laili agak terkejut. ''Kalian pasti enggak pernah
bertemu 'kan? Inilah penyakit zaman modern,
orang-orang berkantor di satu gedung tapi bisa
bertahun-tahun tak pernah berjumpa,'' kataku sambil
tertawa.

Bibir tipis Laili mengukir segurat senyum. ''Soalnya
Mas Irfan enggak pernah buka tabungan di bank syariah.
Duitnya disimpan di bank konvensional semua ya?''
Laili punya selera humor yang bagus. Kulihat Irfan
tersenyum kecil. ''Insya Allah saya akan buka rekening
di bank syariah, Mbak.''

Keluar dari bank syariah itu, aku mengajak Irfan
menghadiri pameran buku Islam di Istora Senayan
Jakarta. Pameran yang menampilkan puluhan penerbit
Islam itu setiap hari dihadiri oleh puluhan ribu
orang. Berbeda dengan pemandangan di Mal Pondok Indah
dan KC-21, di sini kebanyakan perempuan muda yang
datang mengenakan jilbab. Wajah mereka kelihatan
bersih dan matanya lebih suka menunduk ketimbang
jelalatan mencari perhatian lelaki.

Seusai menonton pameran buku, aku mengajak Irfan
mampir di Hotel Gran Melia, yang terletak di Jl HR
Rasuna Said. Kami memesan es lemon tea dan pisang
goreng keju. ''Oke. Mari kita bahas perjalanan dua
hari kita. Kamu masih ingat perempuan-perempuan muda
di Mal Pondok Indah dan KC-21 kemarin?'' Dia cuma
mengangguk. ''Wanita-wanita seperti itu menyenangkan
untuk dilihat dan dibawa ke pesta-pesta, tapi belum
tentu membuatmu bahagia. Sebaliknya
perempuan-perempuan muda berjilbab yang kita saksikan
di pameran buku Islam dan bank syariah tadi, mereka
lebih mungkin membuatmu menjadi seorang lelaki yang
dihargai dan meraih kebahagiaan sejati. Ayah yakin, di
antara mereka itu pasti ada perempuan impian.''
''Seperti apakah perempuan impian itu, Yah?'' Aku
menyeruput es lemon tea yang tinggal separoh. 

Kemudian mencomot sepotong pisang goreng keju. Irfan
menunggu dengan tidak sabar. ''Seperti apa, Yah?''
''Kalau kamu bertemu dengan seorang perempuan yang
berpadu pada dirinya kehangatan seorang Siti Khadijah,
serta kemanjaan dan kecerdasan seorang Siti Aisyah dua
di antara istri-istri Rasulullah itulah perempuan
impian.'' ''Seandainya aku menjumpai perempuan yang
seperti itu, apa yang harus aku lakukan?'' ''Jangan
tunggu esok atau lusa. Telepon Ayah saat itu juga.
Ayah akan segera melamarkannya untukmu, dan kau harus
menikah dengannya paling lambat seminggu setelah itu.
Jika kamu mendapatkan perempuan seperti itu dalam
hidupmu, dunia ini kecil dan nyaris tak berarti. Rasul
pernah berkata, bahwa seorang perempuan yang salehah
lebih berharga dari dunia ini beserta isinya.''
Seminggu kemudian.

Aku tengah menulis sebuah ficer tentang pengoperasian
bus way di Jakarta ketika HP-ku berdering. Dari Irfan:
''Ayah, aku sudah dapatkan calon istri. Seorang wanita
salehah yang bisa membuatku hidup bahagia.'' Suaranya
terdengar bersemangat. ''Oh, ya, siapa namanya?''
''Nantilah Ayah akan aku kenalkan.'' Berselang lima
menit kemudian, Yanti, staf humas bank syariah
menelepon. ''Assalaamu'alaikum, Pak Irwan. Tadi Irfan
buka rekening di bank syariah. Dia mengobrol cukup
lama dengan salah seorang customer service officer
kami. Bapak pasti tahu yang saya maksudkan.'' Aku
menutup Nokia 9210i itu. Lalu memandang ke luar
jendela kantor. ''Alhamdulillah. Akhirnya kau temukan
perempuan impianmu, Nak.''*

Jakarta-Depok-Jakarta, 19-20 Desember 2003. Terima
kasih untuk seorang perempuan salehah di sebuah bank
syariah yang telah mengizinkan saya menulis cerita
ini.



__________________________________
Do you Yahoo!?
New Yahoo! Photos - easier uploading and sharing.
http://photos.yahoo.com/
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke