Anjungan Sumatra Barat
Propinsi Sumatera Barat ditinjau dari letak astronomis
berada antara 0055' L.U. sampai 2035' L.S. dan 990 10' B.T. sampai 101055' B.T.
Menurut letak administratifnya propinsi ini di sebelah timur berbatasan dengan
Riau, sebelah selatan berbatasan dengan propinsi Jambi dan Bengkulu serta di
sebelah barat dibatasi oleh Samudra Indonesia. Sebagian besar wilayahnya terdiri
dari daerah pegunungan dan dataran tinggi yang merupakan bagian dari Bukit
Barisan. Dan sebagian lagi dataran rendah dengan daerah pantai. Daerah Sumatera
Barat sangat kaya dengan panorama di mana gunung-gunung tinggi menjulang dengan
hutan lebat yang masih murni, sawah-sawah berjenjang, berubah hijau dan subur
dengan danau serta ngarainya merupakan keindahan alam yang menakjubkan.
Gunung-gunung yang tinggi di antaranya gunung Merapi, Singgalang, Sago,
Talang, Kerinci dan lain-lain serta danau Singkarak, Maninjau danau di atas dan
danau di bawah, juga memiliki pulau-pulau di kepulauan Mentawai dan pulau
kecil-kecil lainnya. Kekayaan floranya meliputi bermacam-macam pohon yang tumbuh
di hutan-hutan, pohon buah-buahan, berbagai macam bunga-bungaan serta anggrek.
Demikian pula faunanya dari jenis binatang liar seperti harimau, beruk, babi
hutan, siamang dan lain-lain serta berbagai jenis burung yang ada di hutan,
sampai binatang peliharaan memperkaya jenis fauna Sumatera Barat.
Penduduknya sebagian besar terdiri dari suku Minangkabau sehingga
Sumatera Barat juga dikenal dengan daerah Minangkabau atau Ranah Minang. Orang
Minangkabau selalu beranggapan bahwa asal nenek moyang mereka dari nagari
Pariaman Panjang yang terletak di sebelah barat gunung Merapi. Daerah ini
merupakan dataran yang pertama didiami oleh Maharaja Diraja yang datang dari
Riau bersama isteri dan rombongannya. Keturunannya dianggap menjadi nenek moyang
mereka berpindah dari tempat itu dan menyebar ke daerah penyebaran yang ada
sekarang yakni bubak, durek dan pesisir. Penduduk yang berdiam di pesisir atau
pantai barat Sumatera Barat, berasal dari darat. Sebagian daerah darat dengan
sendirinya dianggap daerah asal atau daerah utama masyarakat Minangkabau.
Sesuai dengan kondisi alamnya sebagian besar mata pencaharian penduduk
adalah dibidang pertanian, peternakan, perikanan serta sebagian lagi sebagai
pedagang, buruh dan sebagainya. Dengan semakin terbatasnya daerah serta
keinginan untuk cepat mendapat kekayaan, lapangan pertanian kurang ditekuni,
mereka berpindah ke sektor perdagangan dan pendidikan. Di samping itu juga
berkembang kerajinan tangan dan industri kecil sebagai mata pencaharian
tambahan. Mobilitas orang di Minangkabau sangat tinggi karena pada umumnya
mereka berjiwa perantau.
Masyarakat Minangkabau terkenal dengan sistem
kekerabatan yang matrilineal, di mana dalam sistem ini harta pusaka, gelar dan
nama kesukuan turun-temurun menurut silsilah garis ibu. Saudara laki-laki dari
ibu disebut "mamak" dan yang dituakan di antara mamak atau ninik mamak disebut
datuk atau Penghulu, yang diangkat secara resmi. Ninik mamak ini bertanggung
jawab atas kerukunan dan kesejahteraan para saudara dan kemenakannya serta
keselamatan harta pusaka. Namun demikian bukanlah berarti laki-laki lepas
tanggung jawabnya atas keluarga dalam lingkungan anak isterinya sendiri,
sehingga di sinilah diperlukan kebijaksanaan dalam membina anak dan
kemenakannya, sesuai dengan pepatah "tuak di pangku, kemenakan dibimbing" yang
artinya keduanya harus diperhatikan.
Sesuai dengan garis keturunan yang
matrilineal maka perkawinan harus di luar suku, dan perkawinan yang ideal adalah
seorang laki-laki dengan anak gadis mamak. Pola menetap sesudah kawin adalah
uxorilokal yakni di rumah pihak perempuan.
Masyarakat Minangkabau pada
umumnya pemeluk agama Islam yang taat dan memegang teguh adatnya, hal ini
dinyatakan dalam falsafahnya yang berbunyi: Adat bersendi sejarah, sejarah
bersendi Kitab Allah. Maksudnya seluruh ketentuan-ketentuan hidup diatur oleh
ketentuan-ketentuan sejarah, dan sejarah itu bersumber dari Alquran. Oleh karena
itu kaidah-kaidah dalam adat dan agama sangat dihormati.
Dalam
kehidupannya orang Minangkabau kaya akan seni dan berbagai adat istiadat. Hal
ini tercermin dalam upacara-upacara adat yang dilakukan dalam memperingati dan
merayakan kejadian-kejadian penting sehubungan dengan siklus hidup manusia,
seperti kelahiran atau turun mandi, upacara perkawinan, upacara batagak gala,
upacara pengangkatan penghulu, upacara tabut dan lain-lain.
Dalam bidang
kesenian berbagai jenis tari Minang cukup terkenal dan digemari orang, sedangkan
seni suara dan seni musik antara lain saluang, rabab, talempong, dendang dan
lain-lain merupakan kesenian tradisional Minangkabau. Kemudian suatu bentuk
drama tari dan nyanyi tradisional khas Minangkabau adalah randai yang biasanya
dipentaskan di suatu arena terbuka, dan penonton mengelilingi. Tentang seni
bangunan, seni ukir dan seni lukis telah tumbuh dan berkembang dan bertumpu pada
bangunan adat atau rumah adat yang unik dan penuh dengan ukiran. Seni bangunan
ini terkenal dengan sebutan Rumah Gadang, artinya rumah besar, karena sesuai
dengan fungsinya sebagai tempat tinggal keluarga dengan seluruh aspek adat
istiadatnya. Menurut bentuk, ukuran dan gaya pemerintahan keselarasan serta
lukak, rumah gadang mempunyai beberapa nama menurut gaya keselarasan aliran Koto
Piliang rumah gadangnya disebut Garudo tabang, sedangkan dari keselarasan Bodi
Caniago disebut: Garudo manyusukan anak. Menurut gaya Lubak, masing-masing ada
nama tersendiri yaitu: Gajah Maharam; rumah gadang Serambi Papek, rumah gadang
Rajo babandiang.
Selain rumah gadang, bangunan lainnya adalah Balairung
yaitu bangunan untuk bermusyawarah. Menurut prinsipnya, bangunan balairung
mempunyai nama-nama tersendiri, yaitu: Balai Sarung, tempat memutuskan
perselisihan, Balai Pasujian yakni tempat membuat aturan-aturan yang akan
diperlakukan berdasarkan musyawarah, Balai Gadang tempat bermusyawarah lengkap
untuk membicarakan pentingnya ketentuan tersebut dan cara melaksanakannya
sebaik-baiknya. Kemudian sebagai pelengkap bangunan rumah adat, biasanya
dilengkapi dengan Rangkiang yang ditegakkan di muka rumah yaitu bangunan tenpat
penyimpanan padi. Bangunan ini bentuknya mirip dengan rumah gadang.
Anjungan daerah Sumatera Barat di Taman Mini Indonesia Indah terletak di
sebelah utara arsipel, berdampingan dengan anjungan Sumatera Utara dan anjungan
daerah Riau. Anjungan ini menampilkan 4 buah bangunan yaitu Rumah Gadang,
Balairung, Rangkiang dan Mussala. Rumah gadang mulai dibangun tahun 1974
dilengkapi dengan Rangkiang dan kincir air penumbuk padi dan diresmikan pada
tahun 1975. Perkembangan selanjunya dibangun Balairung pada tahun 1977, tapi
tidak berapa lama bangunan induk rumah gadang mengalami kerusakan pada
tiang-tiangnya sehingga perlu diadakan perbaikan, yang dilaksanakan sejak tahun
1982. Anjungan ini sekaligus dilengkapi dengan Mussala dan semuanya diharapkan
selesai pada Ulang Tahun Taman Mini Indonesia Indah ke X April 1985. Bentuk
dasar dari bangunan rumah gadang adakah segi empat atau empat persegi panjang,
hal ini ditentukan oleh jumlah ruang di dalamnya yang selalu ganjil yakni 3, 5,
7, dan 9. Pada masa lalu bahkan ada yang mempunyai 17 ruang.
Rumah
Gadang di Anjungan Sumatera Barat adalah Rumah Gadang Sembilan Ruang Empat
Lirik, yang ditandai oleh jajaran tiang-tiang di tengahnya. Rumah ini merupakan
rumah panggung karena lantainya jauh di atas tanah, dan lazim pula disebut rumah
Bagonjong atau rumah Gonjong, karena atapnya runcing. Lengkungan pada atapnya
mirip dengan bentuk tanduk kerbau, sedangkan badan rumahnya juga melengkung,
landai seperti badan kapal. Bentuk dinding rumah yang membesar ke atas disebut
Silek, hal ini untuk menghindari tempias dikala hujan.
Untuk menaiki
rumah gadang harus melalui tangga yang terletak di muka rumah, dan di atas
tangga ini diberi atap yang menjulang ke depan. Ruangan dalam rumah gadang
sebagian besar merupakan ruang terbuka yakni dari bandua ke depan, dan dari
bandua ke belakang merupakan sederetan kamar-kamar yang disebut bilik. Sebagai
pembatas atau pemisah ruang berbilik-bilik dengan ruangan terbuka adalah sebuah
balok yang lebih tinggi dari lantai disebut bandua. Besarnya bilik adalah antara
batu tiang ke tiang lainnya yang disebut ruang, sehingga ukurannya selalu sama.
Ruang yang arahnya lurus dengan pintu masuk tidak dipergunakan sebagai bilik
atau kamar tidur melainkan untuk jalan ke belakang menuju dapur, atau
sebaliknya. Bila rumah gadang itu beranjung, maka ruangan di ujung kanan dan
kiri rumah gadang disebut anjung kanan yang disebut pangka dan anjung kiri
disebut ujung. Biasanya anjung ini lantainya lebih tinggi dua jenjang. Jenjang
pertama dinamakan labuah kido dan jenjang kedua dinamakan ruang anjung. Ruang
pangka diperuntukan bagi tuan rumah dengan kerabatnya, sedangkan anjung untuk
para tamu. Ruangan di depan pintu masuk yang menjorok ke luar disebut balai,
sama dengan serambi. Bilik berfungsi sebagai kamar tidur, terletak di lanjar
belakang. Kamar tersebut umumnya kecil hanya untuk satu tempat tidur, lemari
atau peti tempat pakaian. Di ruang tersebut hanya untuk tempat tidur dan
berganti pakaian tak dapat digunakan untuk kegiatan lain. Bilik yang ada di
ujung kiri atau disebut pangkal didiami oleh wanita tertua, dan bilik di ujung
kanan didiami oleh yang muda, atau bagi pengantin baru. Sedangkan gadis tidur di
bagian rumah ujung sebelah kiri atau anjung sebelah kiri bila rumah itu
beranjung, maka para gadis tidur di anjung sebelah kiri, sedangkan anjung
sebelah kanan digunakan sebagai tempat kehormatan bagi Penghulu pada waktu
upacara adat. Dalam kehidupan sehari-hari anjung bagian kanan dipergunakan untuk
meletakkan peta penyimpanan barang-barang berharga milik Kaum.
Ruangan
yang terbuka berfungsi sebagai tempat menerima tamu masing-masing di depan bilik
mereka, juga tempat makan bila ada tamu. Ruangan yang terletak di muka dinding
depan disebut lanjar tepi merupakan tempat terhormat dan diperuntukkan bagi tamu
laki-laki bila ada perjamuan. Apabila ada perkawinan, biasanya pelaminan
terletak di ujung rumah sebelah kiri.
Dapur dibangun terpisah pada
bagian belakang rumah yang ditempel pada dinding. Kadang-kadang dari depan
dibuat pula tangga turun dengan ukuran lebih kecil. Selain untuk tempat memasak,
kadang-kadang digunakan juga sebagai tempat makan para ibu dengan anak-anak
perempuan. Sedangkan kolongnya menjadi tempat penyimpanan alat-alat pertanian
atau juga tempat perempuan bertemu. Tapi ada pula yang mempergunakan sebagian
kolong rumahnya untuk tempat kayu bakar dan kandang ayam serta penyimpanan hasil
kebun seperti kelapa, ubi, dan sebagainya. Kolong rumah ini sekelilingnya
ditutup dengan ranjung atau sasak yang berkisi-kisi atau terali.
Perbedaan besar pada bangunan rumah gadang Koto Piliang dengan Bodi
Caniago terletak pada lantai rumahnya. Pada rumah Koto Piliaang ujung kiri-kanan
rumah di buat anjung dengan meninggikan lantai sampai dua tingkat/jenjang yang
masing-masing tingkat setinggi + 40 cm. Hal ini mengandung arti bahwa pemerintah
Koto Piliang selalu dari atas, segala sesuatu datang dari atas, rakyat hanya
sekedar menjalankan. Sedangkan pada rumah gadang Bodi Caniago, lantai rumah dan
ujung ke pangkal semua rata, sesuai dengan sistem pemerintahan Tabasiak dari
bumi, jadi segala sesuatu yang akan dijalankan datang dari bawah, atau dari
rakyat. Penguasa hanya menjalankan apa-apa yang telah diputuskan bersama rakyat.
Rumah gadang di Minangkabau bukan milik perseorangan tetapi milik
bersama, suatu kaum atau pesukuan. Jumlah rumah gadang dalam suatu kaum atau
pesukuan ditentukan oleh jumlah anggota kaum. Sesuai dengan sistem
kekerabatannya yang matrilineal, maka rumah gadang ditempati oleh perempuan
dengan pimpinan saudara laki-laki ibu yang disebut mamak tungganai. Laki-laki
yang belum kawin tidak boleh tidur di rumah gadang, melainkan di surau yang
sudah dibiasakan sejak kecil. Jadi fungsi surau sekaligus untuk belajar mengaji
merupakan media sosialisasi dunia. Mereka diajarkan tentang adat istiadat, ilmu
bela diri serta ilmu pengetahuan lainnya.
Rumah gadang di anjungan
Sumatera Barat tidak terdapat bilik atau kamar tidur, hal ini disesuaikan dengan
kebutuhan yaitu sebagai ruang pameran. Di ruang tengah dipamerkan barang-barang
hasil kerajinan, alat-alat musik tradisional di antaranya talempong genta, kain
tenun silungkang, serta beberapa pakaian adat dari tiap Kabupaten. Pada anjungan
sebelah kiri dipergunakan peragaan perlengkapan pelaminan, pengantin adat Padang
Pariaman, sedang anjungan sebelah kanan sebagai peragaan struktur pemerintahan
kerajaan Pagaruyung dengan boneka-boneka yang berpakaian adat. Boneka-boneka
tersebut menggambarkan Rajo nan tigo Suta Balo ampek Balai yang terdiri dari
menteri agama atau Tuan Kadi, menteri keuangan atau Andono, menteri dalam negeri
yaitu Mangkudum, menteri kehakiman yakni Tuan Tiah dan seorang Panglima perang
bernama Tuang. Godang sita seorang wakil rakyat bernama Datuk Bandaro Kuniang.
Bangunan kedua adalah Balairung, yaitu bangunan yang aslinya berfungsi
sebagai tempat pertemuan adat. Di tempat ini para penghulu mengadakan pertemuan
tentang urusan pemerintahan adat Nagari dan menyidangkan perselisihan atau
perkara. Bangunan Balairung sama bentuknya dengan bangunan rumah gadang. Seperti
halnya rumah gadang, maka Balairung ini mempunyai pembedaan sesuai dengan aliran
keselarasan masing-masing. Dan keselarasan Bodi Caniago, balairungnya tidak
mempunyai anjungan dan lantainya rata dari ujung ke ujung bangunan. Sedang
kelarasan Koto Piliang mempunyai ajung dan pada kedua ujungnya lantainya
ditinggikan. Secara keseluruhan ruangan Balairung adalah ruangan lepas, bahkan
kadang-kadang bangunan ini tak berdingin sama sekali. Maka yang hadir duduk di
lantai, atau di atas balai yang disediakan dari ujung ke pangkal. Bagian ujung
untuk tempat duduk Penghulu Peunak yang dituakan. Balairung hanya boleh
didirikan di perkampungan yang berstatus Nagari. Pada nagari yang penduduknya
menganut dua aliran keselarasan, walaupun ujung balairung lantainya bertingkat
tapi dalam persidangan, lantai bertingkat tidak dipakai. Hal ini menggambarkan
toleransi yang disebutkan dalam adat alih kerelaan. Di anjungan Sumatera Barat,
Balairung ini berfungsi sebagai tempat pertemuan serta pergelaran kesenian
daerah Minangkabau.
Bangunan pelengkap rumah gadang adalah Rangkiang
atau lumbung padi yang ditegakkan di halaman depan rumah. Bentuknya mirip dengan
rumah gadang dalam ukuran kecil dan atapnya runcing tak bersusun. Biasanya bagi
mereka yang sawahnya luas rangkiang berderet tiga buah, ditambah sejumlah kapuak
atau rangkiang kecil. Ketiga rangkiang ini telah ditentukan penggunaannya, dan
masing-masing punya nama. Rangkiang Sitingan Lanik bertiang 4 buah, persediaan
padi dalam rangkiang ini sebagai persiapan menjamu tamu yang datang melalui
lautan. Rangkiang Sibayan-bayan bertiang 6 buah berfungsi untuk persediaan makan
sehari-hari. Dan Rangkiang Sitangka lapa bertiang 4 buah untuk persediaan bagi
mereka yang memerlukan dan/atau berhalangan akan dipinjamkan, serta persiapan
bila terjadi paceklik.
Rumah Gadang, Balairung dan Rangkiang ketiganya
diberi hiasan ukiran-ukiran dengan motif yang hampir sama dengan warna
tradisional merah, kuning, hitam dan biru. Pada ganjang, bagian yang paling
tinggi dari setiap ujung atap yang menghadap ke atas dibalut dengan timah,
dengan hiasan-hiasan: Labu-labu, balimbiang, di atasnya anting-anting, dan
paling ujung dibuat tajam. Bentuk ganjang dengan hiasannya inilah yang
menyerupai ujung tanduk kerbau jantan, karenanya juga disebut: Si sondok langik.
Sedangkan sepanjang lengkungan pemimpiran atau tepian atap yang menghadap ke
samping ditatah dengan timah berukir, disebut salue laka, hiasan ini
melambangkan tali kekeluargaan tidak putus, seperti yang tersurat dalam seni
sastranya:
Nan basalue nan bak laka
nan bukarik nan bak gagang
Supayo tali nak jan putuih
Supayo kaik-kaik nak jan sakah.
Hiasan yang berukiran ada beraneka ragam, ada ukiran datar, ukiran
tembus dan ada pula ukiran bakar. Motif ukiran ada bermacam-macam, bila
disebutkan ada 60 jenis ukiran. Kebanyakan bermotifkan tumbuh-tumbuhan dan bunga
serta sekali-kali motif binatang. Ukiran di samping berfungsi sebagai unsur
keindahan, di dalamnya mengandung arti dan tersimpan ajaran adat Minangkabau.
Misalnya ukiran bermotif akar-akaran seperti aka bajulin, aka barayun dan
selanjutnya ditempatkan pada bagian rumah yang mudah terlihat, misalnya pada
tiang, pintu gerbang dan pintu masuk rangkiang. Maksudnya, orang terlebih dahulu
mempergunakan akan pikiran sebelum bertindak. Sedangkan bawah tiang diukirkan
kucing tidua yang berarti harus siap siaga terhadap serangan musuh. Ukiran
berupa bunga ditempatkan di pintu-pintu, jendela-jendela, jenjang sampai ke
bubungan atap, baik di rumah gadang, balairung maupun rangkiang. Arti ukiran ini
melambangkan suka dipandang dan suka didatangi, karena sebagian yang diberi
ukiran tersebut terpandang. Ukiran Kaluak paku melambangkan tanggung jawab
seorang mamak terhadap kemenakan di rumah orang tua, dan sebagai ayah di rumah
isterinya. Keduanya sama-sama dilaksankan, jadi melambangkan rasa kekerabatan
dan hidup bermasyarakat.
Ukiran lamuik hanjuik atau lumut hanyut berarti
orang Minang di mana saja dapat menyesuaikan diri. Selain ukiran kucing tidur,
motif binatang lainnya adalah kalalawa bagay nik pada segi tiga di atas (atau
tutup keyung), itiak pulang palang untuk tepian setiap ukiran besar atau
lesplang, tupai tatagun pada setiap ujung rusuk di atas berarti mengerjakan
sesuatu pekerjaan harus dipikirkan masak-masak terlebih dahulu. Ukiran titandu
berarak pada lesplang bermakna seiya sekata, dan lain-lain. Ukiran bermotif
belah ketupat disebut Saik galamai, ukiran segi tiga disebut puenak rabuang,
hiasannya untuk pinggiran yang berarti kehidupan dan masih banyak lagi.
Bendi merupakan kendaraan tradisional daerah Sumatera Barat yang sampai
kini masih banyak dipergunakan. Bendi di daerah ini mempunyai ciri khas yaitu
ada hiasan rumbai-rumbai di atas kepala kuda, juga pada bendi itu sendiri dengan
hiasan kain-kain berwarna warni sangat menarik. Bendi ini ikut pula ditampilkan
di halaman anjungan selain kincir penumbuk padi dengan tenaga air khas Sumatera
Barat.
Pada hari Minggu dan hari-hari libur anjungan Sumatera barat
selalu padat dengan acara dengan kesenian tarian dan nyanyian dengan iringan
musik tradisional maupun modern. Pada waktu-waktu tertentu disajikan pula
peragaan upacara adat, juga seni drama Randai yang khas itu. Anjungan ini telah
banyak dikunjungi oleh tamu-tamu negara baik bersifat resmi maupun tak resmi.
Misalnya Raja dan Ratu Spanyol pada tanggal 2 November 1980, dengan menanam
pohon beringin sebagai lambang persahabatan kedua negara. Selain itu berkunjung
pula jaksa agung Korea Selatan pada tahun 1976, Ibu Menteri Luar Negeri Jerman
Barat tahun 1977, wakil presiden Yugosslavia pada tahun 1980, putri-putri
Presiden Mesir pada tahun 1980, putra Mahkota raja Saudi Arabia, KASAU Inggris
tahun 1981 dan lain-lain.
____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________