Assalamu'alaikum wr.wb.

Komitmen memberantas korupsi yang sudah mendarah daging di negeri kita ini harus menjadi salah satu hal yang mesti kita tuntut dari peserta pemilu nanti, membentuk good governance harus dimulai dari diri kita sendiri, mulai dari caleg2 partai harus dipilih yang benar benar steril.

China termasuk negara yang tegas dan konsisten dalam menghukum koruptor2 dinegeri itu, lihatlah hasilnya sekarang China menjadi negara yang terbuka luas bagi investor2 asing, dan produk2 mereka mulai dari barang2 plastik sampai barang elektronik merambah ke manca negara.

Negara kita yang selama ini memelihara budaya korupsi sudah saatnya membuat pilihan pilihan yang tepat.

Wassalam

Adrisman

==================================================================================================================

Jumat, 27 Feb 2004

Heboh Skripsi Mahasiswa PTIK soal KKN di Tubuh Polri (1)

Mau Masuk Bintara? Bayar Rp 40 Juta

Para perwira muda yang kini menimba ilmu di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) membuat para petinggi Polri kelabakan. Sebanyak 147 mahasiswa angkatan 39-A ramai-ramai membuat skripsi tentang borok korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh korpsnya sendiri. Apa saja isinya? Rizal Husen, Jakarta

"Segera tindak lanjuti skripsi para mahasiswa itu." Begitulah isi disposisi Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar saat mengetahui institusi yang dipimpinnya ditelanjangi habis-habisan oleh anak buahnya sendiri.

Kapolri kecewa? Tentu saja. Orang nomor satu di jajaran Polri tersebut sama sekali tidak menyangka bahwa 147 mahasiswa PTIK itu membongkar habis-habisan borok lembaga yang dipimpinnya. Kekecewaan Da'i pun tergambar jelas ketika masalah tersebut disinggung para anggota DPR dalam rapat kerja dengan komisi II beberapa waktu lalu. Saat itu, para wakil rakyat meminta Da'i membeberkan seluruh skripsi yang menghebohkan tersebut. Da'i mengaku belum bisa membagikan skripsi itu kepada wakil rakyat dengan dalih karya mahasiswa PTIK tersebut masih dijilid oleh bagian perpustakaan. Dari penelusuran koran ini, 147 skripsi itu mengupas berbagai modus praktik KKN di tubuh Polri. Yang menarik, penelitian tersebut mengambil sampel di 19 polda di Indonesia. Dalam penelitiannya, para mahasiswa menemukan adanya indikasi korupsi di tubuh Polri yang sudah melembaga.

Mereka juga menyebutkan bahwa KKN di institusi kepolisian termasuk salah satu bentuk korupsi birokrasi yang sistematis. Yang lebih hebat, para mahasiswa itu membeberkan modus-modus korupsi yang dilakukan di internal polisi. Mulai jual beli jabatan, korupsi penerimaan calon polisi, distribusi logistik, sampai penyaluran dana keuangan atau anggaran.

Salah satu skripsi menceritakan temuannya tentang penyimpangan rekrutmen calon bintara di Polda Jawa Barat (Jabar) dan Sespim (Sekolah Staf dan Pimpinan). Untuk bisa masuk Sespim, ada tarif khusus yang mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per orang. Para mahasiswa mengaku sulit mendapatkan data tersebut. Sebab, sistem informasi internal polisi masih tertutup. Namun, para mahasiswa itu tak mau kehilangan akal. Salah satunya, mereka menggali info dari seniornya yang telah masuk Sespim.

Biasanya, para senior yang sudah akrab dengan juniornya akan terbuka, termasuk soal duit yang dikeluarkan untuk bisa ikut sekolah yang mencetak calon Kapolres tersebut. "Kalau mencari data otentik, jelas tidak mungkin. Sebab, itu sulit dibuktikan. Mana ada suap menggunakan kuitansi? Yang kita lakukan adalah interview dengan senior. Meski tidak ada data otentiknya, toh hampir semua senior yang kita tanyai menyampaikan hal yang sama. Artinya, itu benar-benar ada," jelas mahasiswa yang tidak mau namanya disebutkan itu.

Begitu juga dengan proses perekrutan calon bintara Polri yang mencapai Rp30 juta-Rp 40 juta. Sebagai perwira lulusan Akpol, para mahasiswa tersebut tidak sangat kesulitan mendapatkan informasi. Saat berdinas, anak buahnya banyak yang berasal dari bintara. Yang paling heboh adalah soal jual beli jabatan. Para mahasiswa tersebut diminta menyelidiki benar tidaknya adanya anggota Polri yang suka mengatur jabatan tertentu. Misalnya, direktur reserse, direktur lalu lintas di berbagai polda, dan jabatan Kapolwil. Untuk menduduki jabatan tersebut, kabarnya, seseorang harus merogoh koceknya dalam jumlah yang sangat besar, yakni sampai ratusan juta rupiah.

Tapi, lagi-lagi, hal itu tidak mudah dibuktikan. Meski Kapolri tegas membantah adanya jual beli jabatan di institusi Polri, para mahasiswa tersebut tetap menelitinya.

Dari mana data itu diperoleh? Sejumlah perwira yang tergabung dalam perwira reformis itu ada yang membocorkan data kepada mahasiswa. Lengkap dengan jumlah uang dan nama orang-orang yang terlibat. "Kan bisa dilihat, pasti orangnya itu-itu saja. Mereka ditugaskan ke berbagai polda untuk jabatan basah. Jumlahnya tidak lebih dari 20 orang," ujarya.

Padahal, lanjut dia, jumlah perwira menengah yang sudah mengikuti kursus-kursus dan sekolah perwira jauh lebih banyak. Tetapi, mereka tidak pernah mendapatkan jabatan basah dan harus rela mengandang di Mabes Polri.

Isi skripsi itu tak hanya membuat Da'i Bachtiar kebakaran jenggot. Hampir semua petinggi Polri, terutama yang menduduki sejumlah jabatan penting di Mabes Polri, geleng-geleng. Yang menarik, mengapa seluruh mahasiswa angkatan 39A membuat skripsi dengan tema yang sama, yaitu soal KKN. Bagaimana itu bisa terjadi?

Dari penulusuran koran ini, tema itu ternyata perintah lembaga PTIK. Kabarnya, Gubernur PTIK Irjen Pol Farouk Muhammad disebut-sebut merupakan perwira tinggi (pati) Polri yang berjiwa reformis.

Jenderal polisi bintang dua ini ingin mahasiswanya melihat kenyataan tanpa harus ditutup-tutupi. Sayangnya, Farouk tidak bersedia diwawancarai soal skripsi mahasiswa PTIK ini. Dia hanya mau diajak berdiskusi, tetapi bukan untuk bahan pemberitaan. Sayang, cerita Farouk yang menarik itu tidak boleh dikonsumsikan untuk publik. Yang pasti, katanya, penelitian yang dilakukan para mahasiswa tentang korupsi di tubuh polisi merupakan usaha Polri membenahi kinerja dan citranya. Jadi, jangan dianggap penelitian itu

mengorek- ngorek keburukan institusi Polri. Yang juga harus dilihat adalah sisi positifnya.

Begitu hebohnya skripsi ini, sampai-sampai PTIK mengadakan seminar khusus untuk membahasnya. Sejumlah pakar hadir dalam seminar bertajuk Strategi Penanggulangan Korupsi di Tubuh Kepolisian RI.

Antara lain Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengacara Dr Indriyanto Seno Adji, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Pol Binarto, dan Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) Taufiqurrachman Ruki.

Salah satu mahasiswa PTIK angkatan 39-A, AKP Dedy Kusuma Bakti, juga ikut mempresentasikan karya ilmiahnya.

Perwira pertama Polri itu dengan lantang mengatakan bahwa korupsi di tubuh Polri sudah melembaga dan membutuhkan komitmen tinggi semua pihak untuk menanggulanginya. Dalam uraian makalahnya, Dedy menjelaskan, KKN di tubuh Polri dikelompokkan menjadi dua hal.

Pertama, korupsi internal. Yaitu, korupsi yang tidak melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi. Contohnya, jual-beli jabatan, korupsi pada perekrutan anggota kepolisian, pendistribusian logistik, dan penyaluran anggaran Polri.

Yang kedua, korupsi eksternal yang langsung melibatkan kepentingan masyarakat. Korupsi semacam ini terjadi dalam lingkup tugas polisi yang terkait dengan penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan penyalahgunaan wewenang.

Dia mencontohkan mekanisme permohonan pinjam pakai barang bukti (BB) oleh pemilik atau korban. Begitu juga penyelesaian kasus kejahatan di luar mekanisme hukum atau lebih dikenal dengan istilah 86 (delapan enam). Berbagai keburukan polisi lainnya, seperti pungutan pada penerbitan berbagai bentuk surat keterangan, surat pemberitahuan, maupun laporan kehilangan dengan dalih sebagai biaya administrasi. KKN maupun suap terkait dengan kasus perjudian maupun tempat hiburan yang diduga terdapat kejahatan di dalamnya. "Korupsi ini juga melibatkan anggota masyarakat nonpolisi dan pejabat polisi dalam kaitannya dengan penempatan anggota polisi pada suatu jabatan tertentu," terangnya.

Perwira yang satu ini tergolong cukup berani. Dalam makalahnya, dia seolah-olah menggurui komandannya. Betapa tidak. Dedy menyatakan, permasalahan utama Polri yang menyangkut aspek kultural adalah fenomena perilaku korup. Ini bukan hanya dilakukan perorangan, melainkan sudah sistematis. "Harus diakui, dewasa ini perilaku Polri sudah sedemikian parah sehingga membentuk jaringan antara pimpinan dan anggota maupun antarinstansi dalam hubungan fungsional," jelasnya.

Menurut Dedy, budaya korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia. Hampir semua kepolisian di berbagai negara melakukan hal serupa. Dikatakan, hasil penelitian mahasiswa PTIK angkatan 39-A menunjukkan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi di tubuh Polri sudah melembaga. "Karena itu, dibutuhkan komitmen tinggi dari semua pihak untuk menanggulanginya," papar Dedy. (bersambung)

===============

Sabtu, 28 Feb 2004,

Heboh Skripsi Mahasiswa PTIK soal KKN di Tubuh Polri (2)

Jalan Tol untuk Kapolres di Atas Rp 50 Juta

Isu KKN paling hangat di korps polisi adalah soal jual beli jabatan. Ini pula yang mengilhami 147 mahasiswa angkatan 39-A PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) untuk melakukan penelitian skripsinya. Seperti apa? Rizal Husen, Jakarta

Di pertengahan 2003, muncul surat kaleng tentang jual beli jabatan strategis di lingkungan Mabes Polri. Surat tanpa identitas pengirim itu membeberkan praktik suap-menyuap di kalangan internal polisi untuk menduduki pos "basah". Surat kaleng tersebut memaparkan

jalur-

jalur menuju "kursi basah nan empuk".

Munculnya surat kaleng itu benar-benar memukul Kapolri Da'i Bachtiar. Dengan lantang, jenderal polisi bintang empat itu menyebut para polisi yang menyebarkan surat kaleng itu sebagai pengecut. Sebab, mereka tidak mau mencantumkan nama.

Tak tanggung-tanggung, jumlahnya sampai 19 pucuk surat kaleng. Sebagian besar isinya seputar jual beli jabatan dan penempatan posisi basah. Penulisnya disebut-sebut sejumlah perwira reformis yang tidak senang dengan situasi lingkungan polisi yang dinilai korup dan penuh dengan nepotisme.

Da'i boleh saja menganggap surat kaleng itu ulah para pengecut. Namun, surat tanpa identitas yang membongkar borok polisi tersebut ternyata mengilhami para mahasiswa PTIK angkatan 39A. Dengan modal surat kaleng itu, beberapa mahasiswa melakukan penelusuran untuk dijadikan bahan skripsi. "Kami ingin membuktikan surat kaleng itu.

Eh, ternyata ada benarnya," ujar seorang mahasiswa PTIK berpangkat AKP (ajun komisaris polisi) yang tak mau disebutkan namanya. Perwira muda itu pun lantas mengupas sebagian hasil penelitiannya itu. Menurut dia, yang disebut terminologi "posisi basah" adalah posisi yang memungkinkan menghasilkan uang banyak. Ada beberapa tingkatan "posisi basah" di kelas perwira menengah (pamen). Untuk level AKBP (ajun komisaris besar polisi), jabatan itu meliputi Kapolres, Kasatlantas, dan Kasatserse (sekarang Kasat Reskrim, Red) di lingkungan polwil.

Dalam level komisaris besar polisi (kombes), contohnya Kapolwil, direktur reserse, dan direktur lalu lintas di polda-polda. Agar bisa menduduki jabatan basah itu, tidak gratis -kecuali yang benar-benar dianggap berprestasi-, harus ada pelicinnya. Para perwira yang ingin menduduki jabatan "basah nan empuk" tersebut harus siap merogoh kocek dalam-dalam.

Berapa? Dalam skripsi itu, tidak ada mahasiswa yang berani menyebutkan nilai nominalnya secara rinci. Mereka hanya menyebut secara makro. Untuk level pamen, hanya disebutkan puluhan juta rupiah. "Kami tidak tahu pasti. Yang jelas, untuk level AKBP, nilainya di atas Rp 50 juta. Level kombes hampir mendekati Rp 100 juta. Hanya, itu tidak usah disebut agar tidak jadi masalah di kemudian hari," jelas salah satu mahasiswa PTIK yang ditemui koran ini di kampusnya.

Untuk kelas perwira tinggi (pati), jabatan yang dianggap basah adalah Kapolda. "Kalau yang ini sudah tidak bisa dihitung lagi. Jumlahnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Apalagi daerah-daerah basah seperti Kapolda di Jawa," imbuhnya, sembari menggeleng kepala. Menurut mahasiswa itu, banyak pejabat Polri yang hidup mewah. Padahal, gaji mereka tak seberapa. Beberapa pejabat yang menempati pos basah itu bisa memiliki mobil mewah dan rumah-rumah berharga ratusan juta.

Dia pun lantas mengungkapkan sistem gaji di korpsnya itu. Menurut sistem penggajian di Polri, polisi berstatus lajang berpangkat bharada (bhayangkara dua, setingkat tamtama, Red) menerima gaji pokok (GP) sekitar Rp 800.000. Ditambah uang lauk-pauk sehari Rp 15.000 dan uang beras, dia bisa membawa pulang take home pay sekitar Rp 1,2 juta per bulan.

Bila sudah menikah, tambahannya berupa tunjangan istri sebesar 10 persen dari GP. Jika punya dua anak, masing-masing ditambah 10 persen. Seorang bharada yang telah beristri dan memiliki dua anak mendapat tunjangan 30 persen dari GP. Take home pay-nya dalam sebulan sekitar Rp 1,7 juta.

Polisi berpangkat kombes (setingkat kolonel di TNI) berpenghasilan bersih sekitar Rp 3 juta per bulan. Ada tambahan penghasilan seperti tunjangan jabatan jika dia menduduki pos tertentu, semisal Kapolwil, direktur reserse, atau direktur lalu lintas di polda-polda. Kapolda yang berpangkat inspektur jenderal (irjen) atau golongan IV menerima GP Rp 2,7 juta. Berikut tunjangan-tunjangan, termasuk tunjangan jabatan, dalam sebulan seorang Kapolda bisa membawa pulang Rp 4 atau Rp4,5 juta.

Data itu berbicara betapa kecil gaji polisi. Tapi, hebatnya, banyak perwira yang hidup berlimpah kemewahan dengan mobil dan rumah berharga ratusan juta. Dari mana uang itu? "Wallahu a'lam," katanya. Para mahasiswa angkatan 39A tidak hanya melulu meneliti jalan tol dalam lalu lintas jabatan. Ada juga yang meneliti dana operasional polda. Ternyata, setiap polda didukung dana operasional yang

berbeda-

beda. Besar kecilnya tergantung luas dan jumlah penduduk suatu provinsi. Dana tersebut selanjutnya disalurkan ke polwil, polres, dan polsek. Anggaran kebutuhan itu disusun dari bawah dan diterimakan pada awal tahun anggaran yang sedang berjalan.

"Dana operasional itu harus habis. Bisa untuk membiayai patroli rutin atau patroli yang digiatkan. Bila di suatu wilayah situasi aman-aman saja, bisa-bisa dana operasional tidak seluruhnya terpakai. Ini yang jadi bahan penelitian mahasiswa," jelas mahasiswa berpangkat AKP itu.

Nah, daerah-daerah mendapatkan dana operasional besar itulah yang dianggap basah dan menjadi incaran. Para perwira polisi akan sangat bangga jika bisa menduduki jabatan tertentu di daerah yang mempunyai dana operasional berlimpah tersebut. Terutama wilayah di Pulau Jawa dan Sumatera.

Kendati lalu lintas jalan pelicin tersebut sudah menjadi bahan penelitian para perwira muda polisi di PTIK, Kabid Penum Humas Mabes Polri Kombes Pol Zaenuri Lubis tetap membantahnya. "Tidak ada praktik jual beli jabatan di korps Polri," ujarnya dengan enteng. Penunjukan seseorang untuk menempati suatu jabatan tertentu, kata Zaenuri, selalu dikaitkan dengan pendidikannya. Apakah yang bersangkutan pernah kursus di Lembaga Pertahanan Nasional, Sespim, dan kursus-kursus lain.

"Yang pintar dan berdedikasi tinggi akan menduduki jabatan penting, tidak peduli apakah dia sudah mengikuti kursus-kursus atau belum. Jadi, tidak ada itu istilah jual beli jabatan," elak Zaenuri. Tapi, bukankah masuk Sespim juga pakai pelicin? (bersambung)

===============

Senin, 1 Maret 2004

Heboh Skripsi Mahasiswa PTIK Soal KKN di Tubuh Polri

Semuanya Lulus, tapi Gagal karena Tak Mampu Bayar

Jakarta,- Skripsi 147 mahasiswa PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu

Kepolisian) menggegerkan jagat kepolisian. Borok kolusi dan korupsi dibongkar. Koran ini mencoba menelusuri beberapa "korban" praktik KKN itu. Rizal Husen, Jakarta

HARAPAN Andi (bukan nama sebenarnya) untuk menjadi polisi musnah. Gara-garanya, dia tidak lulus pantukir (panitia penentuan akhir) yang mengharuskan dirinya membayar Rp 25 juta. Andi tak mampu membayar jumlah yang menurut ukurannya "selangit" itu. Anak pertama di antara dua bersaudara tersebut akhirnya melepaskan cita-citanya untuk memakai seragam cokelat. "Nggak jadi polisi yo nggak pateken, Mas (tidak menjadi polisi juga tidak apa-apa)," ujarnya dalam bahasa Jawa medok.

Pengalaman tak mengenakkan itu terjadi setahun lalu selepas dia tamat SMU (sekolah menengah umum). Andi adalah lulusan salah satu SMU negeri di Jakarta. Sejak kecil, pria berumur 20 tahun itu dibesarkan di Solo.

Awalnya, dia ingin mendaftar di Akpol (Akademi Kepolisian) di Semarang, Jateng. Namun, karena mengetahui banyaknya titipan atau anak pejabat Polri yang juga ingin menjadi polisi, Andi mengurungkan niatnya. Lantas, dia mendaftar bintara di Polda Metro Jaya.

Secara fisik, penampilan dia cukup oke. Tinggi badannya 170 cm dengan berat badan 65 kilogram. Karena itu, dia yakin bakal diterima sebagai polisi. "Waktu itu, saya berpikir bahwa saingan saya di bintara lebih kecil dibandingkan di Akpol," jelasnya seraya mengenang masa lalu.

Ternyata, perkiraan Andi keliru. Semula, dia mulus menjalani semua tes. Mulai tes tertulis, wawancara, sampai fisik. Dia sangat percaya diri waktu itu. Semua tes dijalaninya secara baik. Akhirnya, Andi dan ratusan calon polisi lainnya dinyatakan lolos seleksi. Tinggal selangkah lagi, yaitu pantukir.

Menurut Andi, tes pantukir tersebut meliputi pengecekan sikap, tampang, performance, kecakapan, dan bentuk tubuh. Saat bentuk tubuh dicek, semua calon polisi hanya mengenakan celana pendek, bertelanjang dada, dan tidak mengenakan alas kaki. "Sebenarnya, kalau sudah sampai pantukir, 90 persen lulus. Saat itu, saya sudah yakin akan lulus," ujarnya.

Saat dites kecakapan, panitia mengajukan sejumlah pertanyaan ringan. Misalnya, soal cita-cita dan hobi. Untuk menjadi seorang polisi, diperlukan keberanian plus, bukan hanya berani berhadapan dengan masyarakat atau penjahat. Lebih dari itu, mereka harus berani jika sewaktu-waktu berhadapan dengan seorang jenderal. Sikapnya saat bertemu pimpinan juga dinilai. "Saya juga dites mengucapkan angka 10 sampai satu dalam bahasa Inggris dan lain-lain," ungkapnya.

Setelah semuanya dilewati, ada salah seorang panitia yang mendekatinya. Siapa orang itu? Andi menyebut seorang polisi berpangkat AKP yang berinisial H. Dia mengatakan bahwa Andi sudah melakukan semua tes dengan baik. Hanya, ada satu poin yang nilainya kurang. "Itu bisa mempengaruhi kelulusan kamu," kata Andi menirukan ucapan H.

Katanya, nilai Andi bisa didongkrak. Tapi, Andi harus menyerahkan Rp 25 juta. Tentu saja, Andi terkejut. Kok harus bayar? H mengatakan bahwa kalau ingin lulus, ya harus membayar. Sebab, nilainya kurang. Dia beralasan, keinginan Andi menjadi polisi tinggal selangkah lagi. "Kalau ada uang, saya bisa bantu kamu. Kalau nggak ada, lebih baik kamu pulang saja," jelas H, seperti dikutip Andi.

Saat itu, Andi menyampaikan hal tersebut kepada orang tuanya yang hanya seorang pegawai negeri golongan III-A di Jakarta. Uang tersebut cukup banyak bagi keluarga Andi. Karena tak punya uang sebesar itu, Andi memutuskan tidak menjadi polisi. Sekarang Andi belum bekerja alias menganggur. "Nggak tahu sampai kapan saya begini," jelasnya dengan wajah memelas. Kalau Andi gagal, lain lagi kisah Budi (juga bukan nama sebenarnya). Dia berhasil masuk bintara Polri. Kini dia sudah berdinas di salah satu Polres Metro di Jakarta. Bagaimana dia bisa lolos? Laki-laki berumur 21 tahun itu mengaku, orang tuanya mengeluarkan Rp 38 juta. Itu terjadi dua tahun lalu. Uang itu diserahkan ke seorang polisi berpangkat kompol (setingkat mayor di TNI). Dialah yang mengurusi semuanya, sejak awal sampai lulus.

Saat ditanya bagaimana menemukan orang yang bisa membantu mengurus, Budi mengaku tidak tahu secara pasti. Yang dia tahu, saat itu orang tuanya mendapatkan informasi adanya seorang polisi yang biasa membantu calon bintara. Lantas, orang tuanya menghubungi polisi itu. Setelah negosiasi harga tercapai, polisi itu menyanggupinya. Uang harus diserahkan begitu Budi mendaftar. Pakai kuitansi? "Saya tidak tahu pakai kuitansi atau tidak," tambahnya. Yang diketahui Budi, uang itu diserahkan saat dirinya mendaftar sebagai calon bintara Polri. Orang yang mengurus itu menjanjikan Budi akan diterima sebagai polisi. Dengan cacatan, selama pendidikan siswa tidak melakukan sesuatu yang bisa mengakibatkan dirinya dikeluarkan. "Dia hanya bilang taati semua peraturan selama pendidikan. Jangan buat macam-macam. Sebab, kalau dipecat, uang tidak bisa kembali," cerita Budi.

Kini Budi sudah resmi menjadi polisi berpangkat brigadir polisi dua

(bripda) dengan gaji sekitar Rp 1,2 juta per bulan. Karena itu, banyak bintara Polri yang sebenarnya tidak layak secara fisik maupun kesehatan. Namun, karena fulus tersebut, mau tidak mau, mereka yang sudah membayar harus diloloskan.

Menurut salah seorang mahasiswa PTIK yang tak mau disebut namanya itu, masalah kebobrokan seperti itulah yang menjadi materi penelitian. "Kita menemukan berbagai hal seperti itu di lapangan," kata mahasiswa berpangkat AKP yang menjadi salah satu anggota angkatan 39-A.

Kapolri Da'i Bachtiar sendiri mengakui, memang ada persoalan dalam penerimaan para bintara Polri. Namun, jenderal bintang empat itu membantah adanya praktik uang itu. "Praktik uang tidak ada. Yang ada hanyalah nota alias katabelece alias titipan," ujarnya. Orang nomor satu di jajaran Polri itu mengaku sudah membentuk tim guna menyelidiki kebenaran informasi tersebut. Bahkan, di hadapan Komisi II DPR beberapa waktu lalu, mantan Kapolda Jatim itu berjanji akan memberantas KKN di institusi yang dipimpinnya. (habis)

 

[Non-text portions of this message have been removed]

 

 

Milist Alumni MMUI - Media Komunikasi Alumni MMUI

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke