Note: Bahan renungan, artikel lama Hidayatullah, Juli
2003

Minder Jadi Muslim, Syariat Islam Disesuaikan dengan
Selera Manusia

Akibat silau dengan kemajuan peradaban masyarakat
Barat, para penganut
Islam Liberal mengidap penyakit minder (rendah diri)
dan inferiority
complex sebagai Muslim. Mereka lebih memilih kehidupan
sekuler yang disukai
orang Barat, daripada hidup di bawah naungan syariat
Islam. Sebabnya, takut
dibilang fundamentalis dan ketinggalan jaman.

Meski di dalam berbagai kesempatan para penganut Islam
Liberal (Islib)
mengaku mendukung sekulerisme dan menentang penerapan
syariat Islam oleh
negara, tetapi sesungguhnya mereka tidak menolak
syariat Islam seratus
persen. Yang lebih tepat, sebenarnya mereka menerima
sebagian syariat
Islam, tapi hanya yang sesuai selera mereka. Sedangkan
yang tidak sesuai
selera mereka akan dicampakkan.

Ulil Abshar-Abdalla misalnya. Pentolan Islib ini lahir
dari keluarga
Nahdhatul Ulama (NU) dan melewati masa kecilnya dalam
lingkungan pesantren.
Ayahnya, KH Abdullah Rifa'i, adalah pengasuh Pesantren
Mansajul Ulum di
Pati, Jawa Tengah. "Otomatis hidup saya berada dalam
lingkungan pesantren
sejak lahir," kata Ulil, sebagaimana dikutip sebuah
surat kabar.

Konsekuensi hidup di pesantren tentu membuat Ulil
bersentuhan dengan
teks-teks klasik yang lazim disebut kitab kuning.
Menurut pengakuan Ulil,
ayahnya yang ia sebut sangat tradisional mendidik Ulil
dengan cara yang
keras dan tegas. Bukan hanya khazanah Islam klasik
yang disuguhkan, tapi
juga tradisi NU yang diperkenalkan. Sudah barang
tentu, urusan syariat
Islam seperti shalat dan puasa, melekat dalam
pendidikan yang diajarkan
ayahnya.

Untuk menambah pengetahuannya tentang syariat Islam,
selepas pesantren Ulil
hijrah ke Jakarta untuk belajar di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Islam dan Arab
(LIPIA), sebuah lembaga pendidikan milik pemerintah
Arab Saudi. Di lembaga
itu Ulil memilih jurusan Syari'ah?tentu saja Syari'ah
Islam?yang ia jalani
selama empat tahun.

Menurut seorang sumber Sahid, prestasi belajarnya di
lembaga itu tergolong
sangat baik. "Ujiannya banyak dilewati dengan hasil
gemilang," kata sumber
itu. Jika tak ada aral melintang, tentu ia akan
menjadi seorang sarjana
(Lc) bidang syariah Islam.

Melalui interaksi di tempat itu Ulil juga sempat
berkenalan dan bergabung
dengan sebuah kelompok harakah (pergerakan) Islam.
Kabarnya sempat berjalan
sekian lama. Hubungan di antara mereka juga berjalan
baik, sehingga berkat
bantuan rekan-rekannya di harakah itu, Ulil dapat
membiayai sebuah
operasi/pembedahan.

Namun karena suatu sebab, Ulil keluar dari kelompok
itu?dan di kemudian
hari menyebutnya sebagai Islam fundamentalis. Ulil
juga keluar dari LIPIA,
meski belum sempat menyelesaikan studinya. Kabarnya
ada ketidakcocokan
paham antara dia yang berlatar NU dengan pengasuh
LIPIA yang berlatar
Wahabi.

Ia lalu pindah ke Sekolah Tinggi Filsafat "Driyarkara"
Jakarta, yang diasuh
pastor Katolik ternama dari Ordo Serikat Jesuit, Franz
Magnis Suseno.
Anehnya, di tempat barunya itu, Ulil yang Muslim tidak
mengalami
ketidakcocokan paham dengan para pengasuhnya yang non
Muslim. Di tempat
barunya itu bahkan Ulil mengaku mulai menemukan banyak
hal baru.

Tidak dijelaskan apa yang dia maksud sebagai hal baru.
Namun bisa ditebak,
yang dia maksud dengan hal baru adalah cara pandang
baru dalam melihat
Islam, agama yang diyakininya selama ini. Para
gurunya, dengan pelajaran
filsafat, mulai mengajari untuk memandang Islam secara
skeptis (meragukan
kebenarannya). Ia diajak untuk tidak memandang Islam
sebagai satu-satunya
jalan kebenaran dari Tuhan, tetapi ada jalan kebenaran
lain di luar Islam.
Dan rupanya kena. Ulil seperti mendapat 'jalan terang'
dengan perspektif
barunya untuk melakukan pengembaraan intelektual.

Kedekatan Ulil dengan Abdurrahman Wahid dan Nurcholish
Madjid yang
dikaguminya, membuat jejak jalan yang dipilihnya makin
lama makin terasa
'benderang'. Aktifitasnya di LSM seperti Lakpesdam NU,
ISAI, ICRP, juga
membuat Ulil semakin terlatih mengurai perspektif
barunya. "Saya menikmati
pengembaraan saya ke berbagai tempat itu," kata Ulil.

Maka jadilah Ulil kemudian sangat fasih berbicara
tentang pluralisme dan
inklusivisme. Ulil begitu percaya diri dengan
keyakinan barunya, meski
untuk itu dia harus mendobrak keyakinan mayoritas kaum
Muslimin bahwa hanya
agama Islam yang diridhai Allah dan mutlak kebenaran
ajarannya. Melalui
wadah Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil dan
kawan-kawannya mewartakan
kepada dunia, bahwa ada jalan kebenaran lain di luar
Islam. Surga tidak
hanya untuk orang Islam.

Yang menarik, meski berani menentang arus utama
pemikiran ummat Islam,
seorang Ulil tidak berani lepas dari tradisi 'klasik'
dalam lingkungannya,
yakni pernikahan antar anak kiai. Di tahun 1997, Ulil
menikahi Inas
Tsuraya, putri KH Musthafa Bisri yang penyair itu.
"Dari pada saya harus
bertengkar dengan keluarga untuk urusan itu," katanya
tentang alasan tak
ingin mendobrak tradisi di lingkungan pesantren itu.

Meski dalam pandangan pluralisme Ulil, ajaran Islam
tidak bisa diklaim yang
paling benar, tapi sebagai putra-putri kiai, bisa
dipastikan mereka menikah
menggunakan syariat Islam. Dan meski pernikahan adalah
urusan privat
(pribadi), tidak ada kabar Ulil menolak akad nikahnya
disahkan oleh Kantor
Urusan Agama (KUA) yang merupakan unit negara.

Kenapa dalam masalah pernikahan Ulil tidak menentang
peran negara dalam
pencatatan akadnya, tetapi menentang keterlibatan
negara dalam urusan lain
yang berkaitan dengan penegakan syariat Islam?

Ulil dan kawan-kawannya di JIL juga tidak pernah
terdengar memprotes
keterlibatan negara dalam ibadah puasa, seperti dalam
menetapkan tanggal 1
Ramadhan dan 1 Syawal? Padahal puasa adalah ibadah
yang sangat pribadi.
Juga tidak terdengar protes keterlibatan negara, dalam
hal ini Departemen
Agama, dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Namun dalam urusan penerapan hudud, seperti
pelaksanaan rajam, qishash, dan
perang, kalangan JIL sangat menentang keterlibatan
negara untuk
menerapkannya. Padahal ayat Al-Quran yang mewajibkan
puasa dan qishash
letaknya berdekatan di Surat Al-Baqarah, dan bunyi
redaksinya pun serupa.

Kewajiban qishash terletak pada ayat 178 berbunyi, Yaa
ayyuhalladzina
aamanu kutiba 'alaihimul-qishash fil-qatla? (Hai
orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh?).
Adapun kewajiban berpuasa ada pada ayat 183, yang
berbunyi, Yaa
ayyuhalladzina aamanu kutiba 'alaihimush-shiyam?(Hai
orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa?).

Mengapa dua jenis syariat Islam yang diturunkan Allah
pada ayat yang
berdekatan?hanya selisih lima ayat?disikapi berbeda?
Kenapa ayat tentang
puasa diterima dan ditaati, sedangkan ayat tentang
qishash ditolak?

Penyikapan yang berbeda itu menampakkan inkonsistensi,
alias pilih-pilih
bulu, dalam menerapkan syariat Islam di kalangan JIL.
Yang sesuai selera
mereka diterima, sedangkan yang tidak sesuai selera
mereka ditolak.

Yahudi, Pendahulu JIL

Tapi sebenarnya perilaku pilih bulu itu bukan cuma
milik kalangan JIL. Jauh
berabad-abad sebelum Ulil dan kawan-kawan terlahir,
perilaku itu sudah
biasa dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Mereka akan menerima
ayat-ayat Allah yang mereka sukai dan sesuai
kepentingan mereka, tetapi
akan menolak ayat yang tidak mereka sukai dan tidak
sesuai kepentingan
mereka.

Teguran Allah kepada orang Yahudi yang bersikap
demikian telah diabadikan
dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 85: "?Apakah kamu
beriman kepada
sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebagian yang lain? Tiadalah
balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan
dalam kehidupan di dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada
siksa yang sangat berat?"

Ayat-ayat yang sesuai dengan selera mereka
ditampakkan. Sedangkan yang
tidak sesuai dengan selera mereka disembunyikan.
"?kamu jadikan kitab
(Taurat) itu lembaran-lembaran kertas yang
bercerai-berai, kamu perlihatkan
(sebagiannya), dan kamu sembunyikan sebagian
besarnya?" (Q.S. Al-An'aam
ayat 91.

Sebagian Yahudi lainnya lebih nekat, melakukan
pengubahan isi Taurat. Allah
menjelaskan kenekatan mereka dalam Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 75,
"Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan beriman
kepadamu, padahal
segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu
mereka mengubahnya
setelah mereka memahaminya, sedangkan mereka
mengetahui?"

Tentu saja Allah murka terhadap orang yang berbuat
demikian. "Maka
kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis
Al-Kitab dengan
tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, 'Ini dari
Allah,' (dengan maksud)
untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan
perbuatan itu?" (Al-Qurat
surat Al-Baqarah ayat 79.

Penambahan dan pengurangan ayat dari kitab Taurat pada
saat itu bisa
terjadi karena kebanyakan orang Yahudi pada saat itu
buta huruf. Yang bisa
membacanya hanya kalangan pendeta. Sehingga tatkala
para pendeta membual
dengan menambah dan mengurangi isi Taurat, ummatnya
tidak dapat mengoreksi.
"Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak
mengetahui Al-Kitab
(Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka
hanya menduga-duga..."
(Q.S. Al-Baqarah ayat 78).

Untung saja, meski Al-Quran juga diturunkan di tengah
masyarakat yang
mayoritas buta huruf, namun Rasulullah senantiasa
memerintahkan ratusan
sahabatnya untuk menghafal ayat-ayat Allah itu setiap
kali diturunkan.
Ratusan orang itu kemudian menularkan hafalannya
kepada orang lain,
turun-temurun sehingga amat sangat banyak orang yang
hafal seluruh isi
Al-Quran hingga saat ini.

Begitu berlimpahnya di dunia ini orang yang hafal
seluruh isi ayat
Al-Quran, sehingga setiap ada orang yang mencoba-coba
menambah atau
mengurangi isi Al-Quran?meski hanya satu kata?pasti
akan segera terdeteksi
perbuatannya. Karena itu, meski tidak sedikit orang
kafir dan fasiq hendak
mengubahnya, usaha mereka senantiasa akan kandas, tak
akan pernah berhasil
hingga hari kiamat.

Kalangan feminis tentu sangat tidak suka pada isi
Surat An-Nisa ayat 3 yang
membolehkan laki-laki berpoligami hingga empat istri.
Jika mampu, tentu
mereka sudah 'mengamandemen' dan mencoret isi ayat
tersebut dari Al-Quran.

Kalangan pendukung perzinaan dan pelacuran tentu
merasa benci terhadap ayat
Allah yang memerintahkan hukum rajam dan cambuk buat
para pezina. Begitu
juga para pencuri, perampok dan koruptor, ingin sekali
ayat yang mengancam
mereka dengan hukuman potong tangan, dienyahkan dari
dalam Al-Quran. Para
pemabuk dan konsumen narkoba akan sangat berbahagia
apabila larangan minum
khamar dilikuidasi dari Al-Quran.

Bandar-bandar judi dan togel akan berpesta-pora jika
saja, ayat tentang
larangan berjudi dihilangkan dari Al-Quran. Para
lintah darat dan praktisi
perbankan non syariah sangat girang hatinya jika ayat
larangan melakukan
riba juga dilenyapka dari Al-Quran. Para pembunuh akan
semakin berani
manakala ayat tentang qishash hilang lenyap dari kitab
Allah.

Yang tak kalah senangnya adalah para musuh Islam, jika
ayat tentang
perintah berjihad dengan berperang tidak lagi
tercantum dalam Al-Quran.
Para misionaris Kristen akan lega luar biasa jika
ayat-ayat yang mengoreksi
ajaran Nasrani serta ayat yang mengklaim Islam sebagai
satu-satunya agama
yang diridhai Allah kemudian dilenyapkan.

Singkat kata, banyak pihak yang sebenarnya berkehendak
menghapus ayat-ayat
Allah dalam Al-Quran yang tidak sesuai dengan
kepentingan mereka. Tapi
mereka boleh kecewa, karena harapan mereka tidak akan
pernah terwujud
hingga hari kiamat. Mereka memang telah berhasil
mengubah sebagian isi
Taurat dan Injil, tapi untuk Al-Quran tidak. Karena
Allah senantiasa
menjaga kemurnian ayat-ayat-Nya dengan senantiasa
melahirkan beribu-ribu
penghafal Al-Quran setiap tahunnya. Merekalah yang
mendapat amanah Allah
untuk membentengi Al-Quran dari orang-orang yang
hendak mengubahnya.

Mengubah Tafsir

Tapi orang-orang kafir dan kalangan anti syariat Islam
tak kurang cerdik.
Mereka sadar, teks ayat-ayat Al-Quran memang tak
mungkin bisa mereka ubah,
tapi masih ada satu-dua peluang lagi yang bisa mereka
manfaatkan: yakni
langkah 'penghadangan' dan 'pelumpuhan'.

Kalangan pendukung maksiat, tidak begitu sedih jika
ayat-ayat Allah tentang
hudud (hukuman) rajam, cambuk, potong tangan dan
qishash tidak bisa
'diamandemen' dari Al-Quran, karena mereka dapat
melakukan langkah
'penghadangan' dan 'pelumpuhan' untuk mencegah
penerapannya. Untuk konteks
Indonesia, langkah penghadangan itu adalah dengan cara
mencegah syariat
Islam diterima ke dalam konstitusi dan
perundang-undangan negeri ini
melalui manuver-manuver politik.

Adapun langkah 'pelumpuhan' dilakukan dengan
menyebarkan opini busuk bahwa
aturan Allah tentang hudud sudah ketinggalan jaman
karena tidak
berperikemanusiaan. Jadi ayatnya, tetap ada di dalam
Al-Quran, tetapi ayat
itu lumpuh, karena tidak ada kekuatan pendukung yang
memadai untuk
mengeksekusinya.

Upaya penghadangan sudah bisa dipastikan siapa
pelakunya, yakni para
politikus partai serta sejumlah kelompok kepentingan
yang berideologi
sekuler dan non Islam.. Sedangkan upaya pelumpuhan
biasanya dilancarkan
oleh cendekiawan Muslim dan ulama su' yang pro
sekulerisme serta didukung
oleh media massa sejenis. Salah satu cara jitu
melumpuhkan syariat Islam
adalah menyodorkan 'tafsir baru' atas ayat-ayat
Al-Quran.

Untuk hal ini yang termasuk pentolannya adalah mantan
menteri agama Munawir
Sjadzali. Melalui bukunya Reaktualisasi Pemikiran
Keagamaan, Munawir
menghendaki agar ajaran Islam yang sudah 'ketinggalan
zaman', seperti
aturan pembagian waris yang tidak setara antara
laki-laki dan perempuan,
direaktualisasi. Bunyi ayat Quran tentang aturan
waris/faraidh dalam Surat
An-Nisa, tetap demikian seperti semula, hanya
tafsirnya saja yang diubah,
mengikuti perkembangan zaman.

Cara pemikiran seperti ini masih diteruskan oleh para
Muslim sekuleris,
seperti dapat dibaca pada berbagai media massa dan
diskusi di mailing list
Islam Liberal. Belakangan ini mereka berniat
menerbitkan 'Al-Quran edisi
kritis'. Maksudnya, Al-Quran yang tafsirnya sudah
disesuaikan dengan paham
Islib. Yang menjadi motor adalah Taufik Adnan Amal,
peneliti pada Forum
Kajian Budaya dan Agama (FKBA) Yogyakarta. "?Tidak ada
alasan yang solid
dan absah untuk menafikan upaya penyuntingan kembali
suatu edisi kritis
Al-Quran?," tulis Taufik pada harian Kompas (1/2/02),
dengan tajuk Kitab
Suci, Fakta dan Fiksi.

Sekularis adalah Orang Penakut

Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab mereka
menjadi pro sekulerisme...
Pertama, karena ada pertimbangan taktis-strategis
untuk menghindari kesan
fundamentalis dari publik internasional, khususnya
pihak Barat. Demi
mengambil hati Barat, ada yang memuji-muji sekulerisme
dan mengutuk
fundamentalisme. Orang yang punya pertimbangan
demikian bisa digolongkan
sebagai kelompok pragmatis, oportunis, dan penakut.

Terhadap orang-orang penakut seperti itu, Haji Abdul
Malik Karim Amrullah,
alias Prof Hamka, telah memberi nasehet pada mereka
dalam kitab tafsir
Al-Azhar, "Dan insaflah bahwa rasa takut orang
menerima Hukum Islam ialah
karena propaganda terus-menerus dari kaum penjajah
selama beratus tahun...
Sehingga orang Islam sendiri pun kemasukan rasa takut
itu, karena
dipompakan oleh penjajah."

Faktor kedua, karena mereka memang sudah seia sekata
dengan orang Barat
tentang keunggulan sekulerisme dan bahaya
fundamentalisme. Para ulama dan
cendekiawan jenis ini, biasanya merupakan orang-orang
yang terpukau dengan
kemajuan material yang dicapai oleh masyarakat dunia
Barat yang notebene
Kristen sekuler.

Mereka juga satu selera dengan masyarakat Barat yang
gemar melakukan
perbuatan maksiat. Ulil Abshar Abdallah pernah
menjelaskan alasan Islam
liberal bisa menerima bentuk negara sekuler, "Sebab
negara sekuler bisa
menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan
sekaligus." Dengan kata
lain, Ulil dan kawan-kawan Islibnya meridhai
masyarakat yang menjalankan
ritus ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya,
tapi juga melakukan
korupsi, perzinaan, pembunuhan dan perampokan. Padahal
cara hidup seperti
sangat dicela Allah, karena mencampurkan yang haq
dengan yang batil
(talbisul-haqqa bil-bathil).

'Ala kulli hal, apapun faktor penyebabnya, pada
hakekatnya para Muslim
sekuler itu adalah orang-orang yang pengecut dan
mengidap penyakit
inferiority dan minderwardigheid complex, alias rendah
diri, sebagai
Muslim. Mereka gentar menghadapi hegemoni Barat.
Seperti diungkap ulama
Mesir, Muhammad Quthb dalam buku Islam the
Misunderstood Religion
(diterjemahkan oleh penerbit Pustaka menjadi "Salah
Paham terhadap Islam"),
kaum 'terpelajar' yang minder itu beranggapan bahwa
Islam adalah sistem
kehidupan masa lampau yang telah usang atau
ketinggalan jaman.

Masih adanya aturan tentang hukuman potong tangan,
rajam, cambuk, pembagian
hukum waris yang tidak setara antara laki-laki dan
perempuan, dan
perbudakan membuat mereka merasa risih terhadap Islam
yang demikian.

Mereka ingin Islam yang lain, Islam yang sesuai dengan
selera Barat. Yakni
Islam yang di dalamnya tergabung energi kesalehan dan
energi kemaksiatan,
Islam yang minimalis, Islam yang tidak kaffah, Islam
yang tidak mewajibkan
Muslim ke mesjid dan membolehkan ke diskotik, Islam
yang tidak mewajibkan
menegakkan shalat dan membolehkan maksiat, Islam yang
tidak mewajibkan
Muslimah berjilbab dan membolehkan mereka berbikini.
Itulah Islam Liberal.
Islam yang disesuaikan dengan selera manusia. (shw).

sumber: Suara Hidayatullah edisi Juli 2003

__________________________________oOo_________________________________
Ayat Of The Day: " Andaikata berhala-berhala itu
Tuhan, tentulah mereka tidak masuk neraka. Dan
semuanya akan kekal di dalamnya." (Al-Quran, Surat
AlAnbiyaa 21:99)
__________________________________oOo_________________________________


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke