http://www.kompas.com/cgi-bin/query.idq?CiBookMark=N-2eacc60-4d1d4-1&CiBookmarkSkipCount=10&CiMaxRecordsInResultSet=300&CiRestriction=+didaktika+&CiMaxRecordsPerPage=10&CiScope=%2F&TemplateName=query_temp&CiSort=rank%5Bd%5D&HTMLQueryForm=kcm%2Fsearch.htm

Berapa yang Dibayar Masyarakat 
- Untuk Perguruan Tinggi Negeri Kita?


Eddri Sumitra 

AKHIR-akhir ini wacana seputar Student Unit Cost atau
kemudian yang dikenal sebagai Biaya Satuan Perguruan
Tinggi menjadi pokok pembahasan yang marak terutama di
kampus-kampus yang telah berstatus PTN BHMN.

DALAM HITUNGAN sederhananya BSPT adalah jumlah riil
harus dibayarkan seorang mahasiswa untuk mendapatkan
segenap fasilitas kuliah selama satu tahun dengan
konsep full cost. Artinya, semua biaya itu menutupi
kebutuhan yang ia dapatkan di tempat kuliah. 

Yang menarik, setelah dihitung-hitung ternyata Biaya
Satuan Perguruan Tinggi (BSPT) untuk beberapa
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Bahan Hukum Milik Negara
(BHMN) secara rata-rata berkisar pada angka Rp 18
juta-Rp 21 juta per tahun. Artinya, untuk setiap
semester, idealnya seorang mahasiswa membayar antara
Rp 9 juta- Rp 11 juta. Padahal, saat ini jumlah yang
dibayar oleh mahasiswa tiap tahunnya rata-rata Rp 3
juta tiap tahun.

Lalu dari mana dana tambahan sebesar Rp 16 juta-Rp 18
juta untuk mencapai angka BSPT? Jawaban yang biasa
dikeluarkan oleh pihak birokrat kampus, dana untuk
menutupi berasal dari sumbangan Cross Subsidy dari
program non-S-1 reguler, subsidi pemerintah dan tentu
saja yang tidak kalah penting subsidi dari dosen dan
karyawan secara tidak langsung di mana mereka rela
untuk dibayar pada angka di bawah ideal yang harusnya
mereka terima. Dasar penghitungan BSPT dan
hitung-hitungan subsidi ini kemudian menjadi kajian
mendalam untuk menggerakkan sebuah wacana bagaimana
jika secara bertahap pembayaran untuk biaya pendidikan
S-1 reguler mulai mengarah pada full cost payment,
dalam bahasa yang sederhana bayaran akan terus naik
hingga mencapai angka BSPT. Dengan demikian, gaji
dosen karyawan bisa ditingkatkan, ketergantungan pada
subsidi pemerintah bisa dikurangi dan yang lebih
penting program-program non-S-1 reguler yang tumbuh
seperti jamur di musim hujan bisa di terbitkan dan
ditata ulang terutama program ekstensi dan D III.

Pendapatan per kapita masyarakat kita hingga saat ini,
belumlah kembali melebihi 1.000 dollar AS, atau kita
asumsikanlah pendapatan per kapita sebesar itu (walau
saya tidak yakin dengan angka yang masih terlalu besar
itu). Itu berarti, dengan kurs rata-rata saat ini,
setiap tahunnya rata-rata penghasilan masyarakat kita
sebesar Rp 8,5 juta. Angka 8,5 juta itu jika kita
bayangkan untuk menutupi biaya pendidikan saat ini
untuk kuliah di Universitas Indonesia saja, misalnya,
sebesar Rp 3 juta per tahun tentu jauh dari layak
bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok saya angka itu
adalah jumlah yang sangat minim. Untuk membayar
sekarang saja, itu sudah menimbulkan masalah.
Bagaimana nanti seandainya penerimaan dana masyarakat
dalam bentuk biaya pendidikan ditargetkan full cost
terhadap BPST? Kita belum lagi berbicara tentang
realitas ekstrem disparitas ekonomi yang begitu tinggi
di Indonesia, di mana sekitar kurang dari 10 persen
masyarakat kita menikmati kue pembangunan lebih dari
80 persen, sisanya 20 persen dibagi-bagi untuk lebih
dari 90 persen masyarakat kita. Artinya, dalam
realitas sesungguhnya lebih banyak lagi masyarakat
kita yang penghasilan per tahunnya di bawah Rp 8,5
juta.

Selama ini birokrat kampus senantiasa menawarkan
solusi pragmatis untuk permasalahan ini, biaya
pendidikan tetap di patok tinggi solusi jangka pendek
ditawarkan kepada mahasiswa tidak mampu dengan
mekanisme keringanan biaya pendidikan dan beasiswa.
Selintas solusi ini cukup moderat dan akomodatif
terhadap semua kepentingan. Namun, bila dilihat lebih
jauh, konsep ini sama sekali tidak mengobati masalah
yang ada ini. Dengan biaya pendidikan yang dipatok
saat ini saja masyarakat sudah memiliki kesan
tersendiri terhadap PTN terutama empat PTN BHMN yang
telah menaikkan biaya kuliah dengan persentase yang
cukup besar.

Perspektif luas masyarakat terhadap PTN ini pada
akhirnya menciptakan nilai psikologis ketakutan untuk
masuk ke PTN bersangkutan, belum lagi ketakutan akibat
adanya beberapa pungutan selain sumbangan
penyelenggaraan pendidikan (SPP) yang harus dibayar
pada beberapa fakultas tertentu. Hampir lima tahun
penerapan PTN BHMN di empat PTN terkemuka di Indonesia
dari data yang kami dapatkan, terjadi segregasi yang
cukup besar dari mahasiswa yang diterima berdasarkan
status ekonominya.

Parameter sederhana untuk mengetahui berapa besar
mahasiswa dari tingkat ekonomi menengah ke bawah yang
masuk dapat diukur dari seberapa banyak yang
mengajukan keringanan atau pembebasan SPP yang
difasilitasi oleh lembaga-lembaga mahasiswa di kampus,
dan dari tahun ke tahun angka ini terus-menerus
berkurang. Bahkan untuk tahun ini, di sebuah PTN BHMN
ada dua fakultas di mana tidak ditemukan satu pun
mahasiswa barunya yang mengajukan keringanan atau
pembebasan SPP, tentu saja realitas ini menjadi sebuah
hal yang menyenangkan bagi birokrat universitas karena
mereka tidak perlu mengeluarkan dana lagi untuk
subsidi tetapi menjadi sesuatu yang memilukan bagi
kita karena lagi-lagi pendidikan mulai dimonopoli oleh
mereka yang memiliki uang lebih.

Baiklah, coba kita terima tesis mereka bahwa untuk
mendapatkan pendidikan yang berkualitas itu butuh dana
yang besar. Tetapi dengan kondisi PTN saat ini
haruskah masyarakat membayar tinggi untuk tingkat
inefisiensi yang masih besar, manajemen yang tidak
menyiapkan SDM-nya untuk budaya baru, pengelolaan yang
less bureaucracy, haruskah masyarakat membayar tinggi
untuk gaji pejabat kampus yang nilainya sangat tinggi
akibat mis-persepsi pejabat kampus tentang opportunity
cost atau haruskah masyarakat membayar tinggi untuk
omong kosong persaingan global yang jauh dari realitas
masyarakat?

Solusi sesungguhnya ada di gedung-gedung pengelola
kampus itu, dengan manajemen yang efisien berapa
rupiah yang harusnya bisa kita tabung untuk setiap
efektivitas pengeluaran. Sebab, ternyata status BHMN
hanya memberi kesadaran kebebasan mencari dana bagi
birokrat kita, ia tidak berpikir dua arah tentang
scarcity atau kelangkaan dana akibat nominal subsidi
yang tetap dari pemerintah dan aset yang harus di
hitung nilai depresiasinya. Dan yang tidak kalah
penting adalah memperbaiki mis-persepsi pejabat kampus
selama ini yang berpikir bahwa opportunity cost
terhadap seandainya mereka bekerja di luar sesuai
bidang profesi juga diperhitungkan dalam skema gaji
mereka.

Artinya, mereka memandang bahwa menjadi birokrat
kampus telah mengorbankan kemungkinan mereka mendapat
uang lebih jika bekerja di luar kampus dan masyarakat
harus membayar ongkos kemungkinan itu.

Eddri Sumitra Koordinator Bidang I BEM UI/ Wakil
Mahasiswa untuk Tim Evaluasi Pendanaan dan Alternatif
Pendanaan UI (2003)
Search :        
                        
        
        
        


 

Berita Lainnya : 

·
Akuntabilitas dan Kualitas Universitas BHMN     

·
Berapa yang Dibayar Masyarakat  

        



 


        
                
__________________________________
Do you Yahoo!?
Friends.  Fun.  Try the all-new Yahoo! Messenger.
http://messenger.yahoo.com/ 
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke