Bisnis.Com Kamis, 10/06/2004 Ranah Minang tak mau dikotori koruptor
Penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan agenda reformasi yang sudah digulirkan sejak 1998 silam. Pemberantasan korupsi masuk dalam agenda reformasi karena salah satu penyumbang terbesar "hancurnya" negeri ini adalah korupsi. Karena itu, dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20/2001 korupsi dimasukkan sebagai kejahatan yang luar biasa. Tapi upaya memberantas KKN tidaklah semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu dan proses yang panjang dalam pembuktiannya serta membutuhkan keberanian pelapor dalam memberikan keterangan kepada aparat penegak hukum dan berani memberikan kesaksian hukum di pengadilan. Hal itu diakui Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumatra Barat Muchtar Arifin. Contohnya, kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumbar senilai Rp5,9 miliar yang vonisnya sudah dijatuhkan terhadap 43 anggota DPRD Sumbar akhir Mei lalu. Kasus itu sudah ditangani sejak 2002 lalu, tapi baru 2004 bisa dilihat hasilnya. "Menangani kasus dugaan korupsi jauh lebih sulit jika dibandingkan mengani kasus lainnya. Untuk kasus dugaan korupsi APBD Sumbar misalnya, kami membutuhkan waktu lebih dari satu tahun sebelum berkasnya kami limpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Padang," katanya. "Korupsi bukan sekadar merugikan keuangan dan ekonomi negara, yang lebih berbahaya adalah ikut merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat serta menghambat proses pembangunan di negeri ini," ujar Muchtar menambahkan. Selain itu, UU No. 31/1999 telah memberikan perhatian khusus terhadap peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sebab, pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak akan berhasil tanpa peran serta masyarakat. Misalnya dalam Pasal 41 yang menjelaskan lima hal yang bisa dilakukan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pertama masyarakat memiliki hak untuk mencari, memperoleh dan memberi informasi. Kedua masyarakat juga memperoleh perlindungan dalam mencari, memperoleh dan memberi informasi. Ketiga, masyarakat juga berhak menyampaikan saran dan pendapatnya kepada penegak hukum. Keempat, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh jawaban dari penegak hukum selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari. Kelima masyarakat berhak untuk mendapatkan baik status maupun keamanan selaku pelapor. Selain itu, masyarakat juga bertanggungjawab untuk memberantas korupsi dengan mentaati aturan yang berlaku, norma-norma agama dan kemasyarakatan, sehingga jika ada masyarakat yang melaporkan kasus dugaan korupsi dan berani tampil sebagai saksi, pantas mendapat penghargaan. "Masyarakat harus melaporkan kasus dugaan korupsi secara jelas dengan disertakan identitas yang jelas dan bukti-bukti dugaan korupsi itu. Dalam prakteknya banyak informasi dugaan korupsi yang diterima kejaksaan yang menyulitkan proses penyelidikan," kata Kajati. Para penegak hukum selalu dipandang tidak konsisten alias plin-plan dan aparat penegak hukum selalu dipandang masih lemah dalam penegakan hukum di negeri ini. Ada juga yang mengatakan produk hukumnya yang salah. Ketua Pengadilan Negeri (PN) Padang Bustami Nusyirwan mengakui persoalan hukum akhir-akhir selalu mendapatkan cemoohan masyarakat dan hukum selalu dibilang tidak berdaya. Karena itu, era reformasi ini menjadi waktu yang tepat untuk menegakkan hukum di negeri ini, sebab masyarakat ikut memberikan dorongan yang positif. "Saat ini waktu yang tepat untuk menegakkan supremasi hukum. Karena itu, kami di Pengadilan Negeri (PN) Padang memilih tetap komit dalam menegakkan hukum sesuai aturan yang berlaku," ujarnya ketika menerima penghargaan Masyarakat Profesional Madani (PMP) beberapa waktu lalu. Sudah membudaya Sebenarnya reformasi sudah memberikan dampak yang positif bagi penegakan hukum di negeri ini. Zaman Orba korupsi juga merajalela, tapi cenderung ditutup-tutupi. Sekarang, korupsi cenderung terang-terangan sehingga saat ini pelaku korupsi lebih parah dalam mengkorup harta negara. Nanda Oetama, pakar hukum pidana dan Rektor Universitas Taman Siswa (Unitas) Padang, mengakui praktek korupsi di Indonesia sudah membudaya, bahkan masyarakat sudah tidak malu lagi melakukan tindakan korupsi secara terang-terangan. Dia memberikan contoh pada periode 1960-1970. Ketika itu pelaku korupsi masih memiliki 'rasa malu' jika terbukti bersalah. Mereka cenderung "mengasingkan diri" dari pergaulan dengan masyarakat. Tapi lanjutnya, sejak pertengahan 1980-an sampai sekarang, kondisi itu sudah berubah. Seseorang yang sudah diduga melakukan tindakan korupsi, sudah ditahan dan kemudian dugaan tersebut terbukti di pengadilan, mereka tidak memiliki rasa malu kepada masyarakat. "Malah, harta yang jelas-jelas hasil korupsi dipertontonkan kepada masyarakat. Dan anehnya anak dan keluarga begitu senang menikmati dan memperlihatkan harta hasil korupsi orang tuanya kepada masyarakat," katanya. Menyinggung perubahan UU No. 31/1999 menjadi UU No. 20/2001, Nanda menjelaskan dalam UU tersebut ancaman terhadap pelaku korupsi memang tinggi, tapi realisasinya tidak ada dan ancaman itu hanya gertak sambal. Tularji ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________