Kamis, 30/11/2000, 22:12 Politisi Kita: Dulu dan Kini BUKU kecil terbitan LKiS berjudul "Menjadi Politisi Ekstra Parlementer" sungguh menjadi tawaran menyegarkan ditengah kejumudan politik di kalangan politisi konvensional sekarang. Bagi LKiS kategori politisi ekstra parlementer itu adalah politisi independen yang aktivitasnya berada diluar lembaga-lembaga resmi negara. Politisi jenis ini bisa diperankan oleh seorang (mantan) politisi tulen, aktivis organisasi masyarakat sipil, aktivis mahasiswa, pemuka agama/masyarakat atau warga negara bebas. Merekalah yang nantinya bekerja layaknya seorang politisi profesional. Sekalipun begitu, saya masih melihat adanya kekurangan utama dari tawaran LKiS itu, yaitu lebih menonjolkan apa yang diinginkan daripada apa yang nyata terjadi. Untuk itulah saya ingin lebih menggalinya dari sudut sejarah politik yang tentu saja mengarah pada figur politisi ideal yang pernah hadir dalam panggung politik. Usaha ini merupakan pengembangan lebih jauh dari tulisan saya mengenai "Menggagas Politik Jalan Tengah" (Kompas, 9 November 2000). Dan usaha ini, saya mengambil figur politisi masa lalu dan membandingkannya dengan politisi masa kini, mengingat memang kita belum mempunyai politisi ideal sekarang ini. SEBAGIAN besar politisi generasi pertama kita, baik sebelum atau sesudah kemerdekaan, berasal dari kalangan intelektual. Hanya basis pemikirannya saja yang berbeda. Menurut SH Alatas, sebagian besar dari kalangan intelektual Indonesia ini terpengaruh dengan sosialisme, baik murni maupun campuran. Mereka juga pejuang kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya. Perjuangan mereka dimulai sejak usia muda, dan tak sedikit juga mengalami perlakuan buruk dari kaum kolonial Belanda dan Jepang. Profesi mereka juga beragam, mayoritas ahli di bidang kedokteran dan hukum. Hanya sedikit yang mempelajari ilmu-ilmu teknik, atau ilmu ekonomi. Ketika terjun ke politik, mereka meninggalkan kemewahan yang bisa didapatkan dengan bekerja menjadi pegawai kolonial. Sekarang, sebagian besar politisi kita bukanlah kaum intelektual, apalagi pejuang, baik dalam arti kiasan atau dalam arti sebenarnya. Kalaupun ada yang "berjuang" menjatuhkan mantan presiden Soeharto, perjuangan itupun bukan dilakukan sejak muda dan lebih disebabkan oleh desakan kaum muda. Bahkan, pemimpin-pemimpin politik yang paling menonjol pun tidak ditemukan catatan perjuangannya di usia muda. Rezim Soeharto tidak akan membolehkan pemimpin-pemimpin mahasiswa di usia muda untuk tampil menjadi pucuk pimpinan politik. Dalam kategori pejuang reformasi, Sri Bintang Pamungkas adalah kampiunnya, terlepas dari kegagalannya dalam berpolitik. Ia tak hanya "akan ditangkap" -- sebagaimana diungkapkan oleh seorang tokoh politik-- tetapi sudah ditangkap. Dan ia masih di penjara ketika orang-orang berteriak di jalanan untuk menjatuhkan Soeharto. Bukti autentik perjuangan Sri Bintang adalah buku berjudul "Saya Musuh Politik Soeharto" yang dilarang beredar dan setumpuk dokumen yang dihasilkan oleh buletin internalnya, termasuk naskah perubahan UUD 1945. Kalau ada adagium "revolusi memakan anaknya sendiri" untuk tokoh Amir Syarifuddin dan kawan-kawan, maka untuk Sri Bintang bisa dimasukkan istilah "reformasi membunuh bayinya sendiri". Pilihan untuk menjadi politisi di masa sekarang juga bukan karena desakan keadaan, sebagaimana kondisi yang dihadapi the founding fathers. Politisi sudah menjadi profesi menarik karena menyediakan jalan untuk menapak tangga kekuasaan. Politisi juga merupakan bagian dari pekerjaan, atau memang semata-mata pekerjaan. Sayangnya pekerjaan para politisi hanya mereka sendiri yang menilai. Kebanyakan mereka juga menggunakan hukum ekonomi murni dengan memberikan harga tinggi untuk pekerjaannya, tak peduli kalau uang yang dipakai membayar mereka didapatkan dari pajak rakyat. Kalau perlu, alokasi anggaran lain juga diembat untuk membiayai mobilitas politik mereka. Padahal bagi H. Agus Salim dan politisi pra dan pasca kemerdekaan lainnya leiden is lijden (memimpin adalah menderita). Politisi merupakan pelarian dari kekayaan dan kemewahan ketika bekerja sebagai pegawai kolonial. Perbedaan dengan politisi sekarang seperti antara langit dengan bumi. Seorang fungsionaris partai menceritakan dengan bangga kepada penulis bahwa dia membiayai perjalanannya dari satu kota ke kota lain dengan jalan mendapatkan proyek-proyek pemerintah daerah. Apabila badan atau dinas pemerintah itu tidak memenangkan tendernya, maka temannya yang duduk sebagai anggota DPRD dalam komisi yang membawahi pengalokasian anggaran untuk badan atau dinas itu akan memotong anggarannya dalam rapat RAPBD. Ketika melakukan perjalanan dengan seorang anggota parlemen yang berpenampilan seperti rakyat biasa dari Bandung ke Jakarta, dan singgah di suatu rumah makan jam 22.00 WIB, penulis menemukan sejumlah anggota dewan yang masih memakai baju dinas dan tanda terhormat di dadanya. Pada jam-jam dinas di sebuah apartemen di Jakarta, lagi-lagi penulis menjumpai tanda anggota dewan di baju orang-orang yang berkeliaran itu. POLITISI kemerdekaan kita gandrung akan demokrasi. Bagi mereka demokrasi bukanlah teori yang dijejalkan dalam ruang-ruang seminar, di depan televisi, atau ditaruh di rak-rak buku, tetapi menjadi kebiasaan sehari-hari. Ketika Soekarni c.s. mendirikan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) untuk mengimbangi gerakan PKI yang memobilisasikan kekuatan massa, Hatta yang sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, dalam suratnya kepada Anak Agung Gde Agung di penjara Madiun tanggal 18 Desember 1964 menulis: "Soekarni hanya pemimpin satu golongan yang dalam suatu DPR yang dipilih rakyat tahun 1955, yang anggotanya lebih dari 250 orang, hanya mempunyai wakil 3-4 orang saja. Soekarni adalah seorang anarkis yang mau menjadi diktator dengan jalan intimidasi. Sudah beberapa kali Ia terbentur, tetapi tidak jera-jera." Kita ingat, Soekarni c.s. pernah menculik Soekarno-Hatta ke Rengas Dengklok ketika kemerdekaan hendak dikumandangkan. Soekarni c.s. juga yang mensponsori naiknya Sjahrir memimpin Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lalu menjadi perdana menteri pertama. Malah, lebih jauh, Hatta menulis: "Pemimpin-pemimpin Murba sekarang (tahun 1964.Pen) tidak berhak menyebut dirinya pengikut Tan Malaka. Betapapun pendirian dan politik Tan Malaka, satu sifat yang harus dipuji padanya ialah bahwa ia tidak sanggup membungkukkan tulang punggungnya. Ia tunduk kepada putusan yang terbanyak, sebagai minoritas bersedia menerima sesuatu yang sudah dipersoalkan (diputuskan.Penulis). Tetapi tunduk kepada perintah orang-seorang, ia tak sanggup. Stalin pun ditentangnya". Dengan tulisan itu, Hatta tidak sedang membela PKI, atau Soekarno. Hatta hanya menunjukkan kekeliruan jalan berpikir aktivis-aktivis Murba, yaitu menempuh cara-cara yang diluar jalur demokrasi. Sebagai minoritas di parlemen, Soekarni c.s. mestinya lebih realistik, tidak mencoba mengikuti cara-cara yang dipakai PKI waktu itu untuk merebut kekuasaan politik. Bagi Hatta, jatah dua kursi di kabinet untuk Partai Murba, yaitu Adam Malik dan Chaerul Saleh, sudah cukup layak bagi representasi politiknya. Selain gandrung akan demokrasi, bukan berarti para politisi itu meninggalkan fungsinya sebagai wakil rakyat, sekalipun berbeda pandangan dengan pemerintah. Hatta, lagi-lagi, menunjukkan perhatian yang begitu besar atas kelaparan yang melanda sejumlah daerah di Indonesia, justru ditengah kesibukan Soekarno mengkampanyekan sikap anti pembentukan negara Malaysia yang dianggap sebagai boneka negara imprialis Inggris. Hatta benar-benar membedakan dirinya antara seorang politisi dan seorang pemimpin rakyat. Inilah yang mungkin dimaksud oleh LKiS sebagai salah satu stereotipe politisi ekstra parlementer. Ketika Hatta didesak oleh kawan-kawan dan pengikutnya untuk kembali ke pemerintahan, Hatta menulis dalam suratnya tertanggal 18 Agustus 1964 kepada Anak Agung Gde Agung yang waktu itu ada di penjara Madiun: ".Saya selalu menjawab bahwa dalam struktur dan jentera pemerintahan sekarang, tidak ada kemungkinan bagi saya akan ikut serta dalam pemerintahan, dalam kedudukan yang ikut menentukan haluan negara dan dasar-dasar pembangunan. Suatu kemungkinan yang dapat saya lakukan ialah mengusulkan secara incedentil apa yang baik dilakukan untuk kepentingan rakyat. Ini sudah beberapa kali saya lakukan (dengan menemui Soekarno.Pen). Diterima atau tidak oleh presiden (kesantunan Hatta dapat dibaca disini. Ia selalu menulis Presiden Soekarno atau Presiden saja, dan tidak pernah menulis Soekarno saja.Pen) dan pemerintah, itu terserah. Sekembalinya dari Sumatera, saya sampaikan kesan-kesan saya kepada presiden, yang kelihatannya ada bekasnya padanya. Apakah dikerjakan apa yang saya usulkan untuk perbaikan, itu terserah kepadanya dan pada kesanggupan pemerintahnya melaksanakan suatu idea yang realistik, yang juga di daerah rupanya disetujui oleh rakyat." Lalu apa yang dikerjakan oleh politisi-politisi sekarang dimasa krisis? Kita tentu sudah mengetahuinya. Mereka melakukan kompromi-kompromi politik jangka pendek yang sama sekali jauh diluar kaedah demokrasi. Suara rakyat dimanipulasi dengan alasan-alasan yang bisa dicarikan sebagai alat legitimasi. Ketika seorang politisi duduk di lembaga eksekutif, ia akan mendukungnya, sekuat apapun. Tetapi ketika ia sudah keluar dari birokrasi, iapun menyerangnya dengan tujuan suatu saat ia akan masuk lagi. Praktek ini diperlihatkan secara sangat telanjang oleh politisi-politisi Orde Baru dan diikuti oleh politisi-politisi sekarang. PERBANDINGAN historis diatas baru sedikit mengungkap jomplangnya etika politik yang dimiliki oleh politisi sekarang dan dulu. Sejarah memang selalu mengandung unsur-unsur positif, dan negatif. Ditonjolkannya sisi-sisi positif masa lalu, dan sisi negatif masa kini, tidak lebih dari upaya mencari kebaikan bagi perilaku politisi masa kini. Dalam upaya menjatuhkan Gus Dur, misalnya, mestinya jalur yang dipakai adalah jalur konstitusional, baik lewat MPR, DPR atau Pemilu. Sebaliknya, kalau Gus Dur menuduh seseorang yang menyebabkan instabilitas politik, mestinya ia diproses secara hukum kalau tuduhan itu keliru. Sesadis apapun Muso yang digambarkan buku-buku sejarah, tetap saja dia menempuh jalur demokrasi dengan mengelilingi Jawa untuk mengukur diri dan kampanye, apakah rakyat mendukung dia atau Soekarno-Hatta. Muso tidak langsung memberontak. Dengan keadaan politisi-politisi konvensional yang kita miliki, penulis melihat terbuka peluang untuk menjadi politisi pelintas batas. Politisi jenis ini harus lebih peduli kepada kepentingan rakyat, ketimbang kepentingan pimpinan partai. Sejumlah aktivis partai sudah memperlihatkannya, ketika lebih mengedepankan hati nuraninya, ketimbang menuruti kemauan pimpinan partai. Politisi semacam ini memang tidak populer di Indonesia, apalagi apabila pimpinan partainya mempunyai pendukung fanatik. Akan tetapi untuk kepentingan membangun demokrasi dalam jangka panjang, politisi-politisi pelintas batas ini harus tetap ada. Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sri Bintang Pamungkas dalam beberapa perilaku politiknya termasuk kategori ini. Mereka lebih memilih mundur atau menentang perintah pimpinan politiknya, dan mengikuti hati nurani. Masalahnya, apakah politisi-politisi sekarang yang mempunyai kecenderungan bertentangan dengan pimpinan partainya harus juga memilih jalan mundur, atau tetap bertahan dalam partai? Kita tunggu saja. (Indra J. Piliang, Pengamat Sejarah Politik, Alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia) __________________________________________________ Do You Yahoo!? Yahoo! Shopping - Thousands of Stores. Millions of Products. http://shopping.yahoo.com/ RantauNet http://www.rantaunet.com ================================================= Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di http://www.rantaunet.com/subscribe.php3 Atau kirimkan email Ke / To: [EMAIL PROTECTED] Isi email / Messages, ketik pada baris/kolom pertama: - mendaftar: subscribe rantau-net [email_anda] - berhenti: unsubscribe rantau-net [email_anda] Ket: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung ================================================= WebPage RantauNet http://www.rantaunet.web.id dan Mailing List RantauNet adalah servis dari EEBNET http://eebnet.com, Airland Groups, USA =================================================