Sebuah tulisan yang menarik sekali ditengah ke kegerahan kita melihat sepak 
terjang para pemain SRIMULAT POLITIK INDONESIA.
Sekarang ini banyak maling teriak maling, semua merasa sebagai pahlawan 
reformasi.
Bagi saya sebagai rakyat hampir semua partai yang berkibar benderanya saat 
ini adalah PARTAI SAYA/RAKYAT, tapi sepertinya tidak ada yang benar-benar 
memperjuangkan nasib rakyat, semuanya sibuk dengat SRIMULAT POLITIK yang 
benar-benar sudah tidak lucu lagi.
Tidak ada yang berusaha menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah 
baru, berpikir parsial, semua mabuk bicara berbuat demi republik ini, demi 
rakyat, tapi bayak rakyat malah bingung dengan permainan2 dipanggung politik 
tsb.

Jika saja sudah ada figur politisi ideal seperti yang dulu pernah hadir 
dalam panggung politik, seorang nasionalis dan kombinasi dari figur seperti 
Bung Hatta misalnya, saya melihat potensi besarnya minat kelompok 
masayarakat yang saat ini diam untuk melakukan reformasi sekali lagi (karena 
telah banyak sekali perubahan yang mana tidak selamanya baik, telah terjadi 
di sini).
Kalau perlu bikin partai baru saja....parta PSI baru misalnya hehehehe, tapi 
masalahnya saat ini sudah terlalu banyak partai dan politisinya.
Entah kapan, entah siapa dan entah dimana beradanya para politisi ideal tsb. 
sehingga sampai kini partai harapan kita yg entah apapun namanya itu tidak 
pernah muncul kepermukaan.
Pernah ada 'nan tacelak'yang sepertinya hampir ideal jadi pemimpin tapi 
tidak realistis, orangnya ekstrim dan cenderung sinting...
Lalu ada lagi seorang doktor politik membawa bendera agama, tapi ternyata 
politik yang dikembangkannya adalah 'politik baliang-baliang diateh bukik', 
kawannya berasal dari kelompok maling teriak maling yang sudah cuci tangan, 
so....???

Maka sepertinya saat ini hanya pertolongan Tuhan saja lagi yang dapat kita 
harapkan.

RGS
>From: indra piliang <[EMAIL PROTECTED]>
>Reply-To: [EMAIL PROTECTED]
>To: [EMAIL PROTECTED]
>Subject: [RantauNet] Ceritaku Tentang Hatta di lippostar.com
>Date: Fri, 1 Dec 2000 20:47:20 -0800 (PST)
>
>Kamis, 30/11/2000, 22:12
>Politisi Kita: Dulu dan Kini
>
>
>BUKU kecil terbitan LKiS berjudul "Menjadi Politisi
>Ekstra Parlementer" sungguh menjadi tawaran
>menyegarkan ditengah kejumudan politik di kalangan
>politisi konvensional sekarang. Bagi LKiS kategori
>politisi ekstra parlementer itu adalah politisi
>independen yang aktivitasnya berada diluar
>lembaga-lembaga resmi negara. Politisi jenis ini bisa
>diperankan oleh seorang (mantan) politisi tulen,
>aktivis organisasi masyarakat sipil, aktivis
>mahasiswa, pemuka agama/masyarakat atau warga negara
>bebas. Merekalah yang nantinya bekerja layaknya
>seorang politisi profesional.
>
>Sekalipun begitu, saya masih melihat adanya kekurangan
>utama dari tawaran LKiS itu, yaitu lebih menonjolkan
>apa yang diinginkan daripada apa yang nyata terjadi.
>Untuk itulah saya ingin lebih menggalinya dari sudut
>sejarah politik yang tentu saja mengarah pada figur
>politisi ideal yang pernah hadir dalam panggung
>politik. Usaha ini merupakan pengembangan lebih jauh
>dari tulisan saya mengenai "Menggagas Politik Jalan
>Tengah" (Kompas, 9 November 2000). Dan usaha ini, saya
>mengambil figur politisi masa lalu dan
>membandingkannya dengan politisi masa kini, mengingat
>memang kita belum mempunyai politisi ideal sekarang
>ini.
>
>
>SEBAGIAN besar politisi generasi pertama kita, baik
>sebelum atau sesudah kemerdekaan, berasal dari
>kalangan intelektual. Hanya basis pemikirannya saja
>yang berbeda. Menurut SH Alatas, sebagian besar dari
>kalangan intelektual Indonesia ini terpengaruh dengan
>sosialisme, baik murni maupun campuran. Mereka juga
>pejuang kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya.
>Perjuangan mereka dimulai sejak usia muda, dan tak
>sedikit juga mengalami perlakuan buruk dari kaum
>kolonial Belanda dan Jepang. Profesi mereka juga
>beragam, mayoritas ahli di bidang kedokteran dan
>hukum. Hanya sedikit yang mempelajari ilmu-ilmu
>teknik, atau ilmu ekonomi. Ketika terjun ke politik,
>mereka meninggalkan kemewahan yang bisa didapatkan
>dengan bekerja menjadi pegawai kolonial.
>
>Sekarang, sebagian besar politisi kita bukanlah kaum
>intelektual, apalagi pejuang, baik dalam arti kiasan
>atau dalam arti sebenarnya. Kalaupun ada yang
>"berjuang" menjatuhkan mantan presiden Soeharto,
>perjuangan itupun bukan dilakukan sejak muda dan lebih
>disebabkan oleh desakan kaum muda. Bahkan,
>pemimpin-pemimpin politik yang paling menonjol pun
>tidak ditemukan catatan perjuangannya di usia muda.
>Rezim Soeharto tidak akan membolehkan
>pemimpin-pemimpin mahasiswa di usia muda untuk tampil
>menjadi pucuk pimpinan politik.
>
>Dalam kategori pejuang reformasi, Sri Bintang
>Pamungkas adalah kampiunnya, terlepas dari
>kegagalannya dalam berpolitik. Ia tak hanya "akan
>ditangkap" -- sebagaimana diungkapkan oleh seorang
>tokoh politik-- tetapi sudah ditangkap. Dan ia masih
>di penjara ketika orang-orang berteriak di jalanan
>untuk menjatuhkan Soeharto. Bukti autentik perjuangan
>Sri Bintang adalah buku berjudul "Saya Musuh Politik
>Soeharto" yang dilarang beredar dan setumpuk dokumen
>yang dihasilkan oleh buletin internalnya, termasuk
>naskah perubahan UUD 1945. Kalau ada adagium "revolusi
>memakan anaknya sendiri" untuk tokoh Amir Syarifuddin
>dan kawan-kawan, maka untuk Sri Bintang bisa
>dimasukkan istilah "reformasi membunuh bayinya
>sendiri".
>
>Pilihan untuk menjadi politisi di masa sekarang juga
>bukan karena desakan keadaan, sebagaimana kondisi yang
>dihadapi the founding fathers. Politisi sudah menjadi
>profesi menarik karena menyediakan jalan untuk menapak
>tangga kekuasaan. Politisi juga merupakan bagian dari
>pekerjaan, atau memang semata-mata pekerjaan.
>Sayangnya pekerjaan para politisi hanya mereka sendiri
>yang menilai. Kebanyakan mereka juga menggunakan hukum
>ekonomi murni dengan memberikan harga tinggi untuk
>pekerjaannya, tak peduli kalau uang yang dipakai
>membayar mereka didapatkan dari pajak rakyat. Kalau
>perlu, alokasi anggaran lain juga diembat untuk
>membiayai mobilitas politik mereka.
>
>Padahal bagi H. Agus Salim dan politisi pra dan pasca
>kemerdekaan lainnya leiden is lijden (memimpin adalah
>menderita). Politisi merupakan pelarian dari kekayaan
>dan kemewahan ketika bekerja sebagai pegawai kolonial.
>Perbedaan dengan politisi sekarang seperti antara
>langit dengan bumi. Seorang fungsionaris partai
>menceritakan dengan bangga kepada penulis bahwa dia
>membiayai perjalanannya dari satu kota ke kota lain
>dengan jalan mendapatkan proyek-proyek pemerintah
>daerah. Apabila badan atau dinas pemerintah itu tidak
>memenangkan tendernya, maka temannya yang duduk
>sebagai anggota DPRD dalam komisi yang membawahi
>pengalokasian anggaran untuk badan atau dinas itu akan
>memotong anggarannya dalam rapat RAPBD. Ketika
>melakukan perjalanan dengan seorang anggota parlemen
>yang berpenampilan seperti rakyat biasa dari Bandung
>ke Jakarta, dan singgah di suatu rumah makan jam 22.00
>WIB, penulis menemukan sejumlah anggota dewan yang
>masih memakai baju dinas dan tanda terhormat di
>dadanya. Pada jam-jam dinas di sebuah apartemen di
>Jakarta, lagi-lagi penulis menjumpai tanda anggota
>dewan di baju orang-orang yang berkeliaran itu.
>
>
>POLITISI kemerdekaan kita gandrung akan demokrasi.
>Bagi mereka demokrasi bukanlah teori yang dijejalkan
>dalam ruang-ruang seminar, di depan televisi, atau
>ditaruh di rak-rak buku, tetapi menjadi kebiasaan
>sehari-hari. Ketika Soekarni c.s. mendirikan Badan
>Pendukung Soekarnoisme (BPS) untuk mengimbangi gerakan
>PKI yang memobilisasikan kekuatan massa, Hatta yang
>sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden,
>dalam suratnya kepada Anak Agung Gde Agung di penjara
>Madiun tanggal 18 Desember 1964 menulis:
>
>"Soekarni hanya pemimpin satu golongan yang dalam
>suatu DPR yang dipilih rakyat tahun 1955, yang
>anggotanya lebih dari 250 orang, hanya mempunyai wakil
>3-4 orang saja. Soekarni adalah seorang anarkis yang
>mau menjadi diktator dengan jalan intimidasi. Sudah
>beberapa kali Ia terbentur, tetapi tidak jera-jera."
>
>Kita ingat, Soekarni c.s. pernah menculik
>Soekarno-Hatta ke Rengas Dengklok ketika kemerdekaan
>hendak dikumandangkan. Soekarni c.s. juga yang
>mensponsori naiknya Sjahrir memimpin Komite Nasional
>Indonesia Pusat (KNIP), lalu menjadi perdana menteri
>pertama.
>
>Malah, lebih jauh, Hatta menulis:
>
>"Pemimpin-pemimpin Murba sekarang (tahun 1964.Pen)
>tidak berhak menyebut dirinya pengikut Tan Malaka.
>Betapapun pendirian dan politik Tan Malaka, satu sifat
>yang harus dipuji padanya ialah bahwa ia tidak sanggup
>membungkukkan tulang punggungnya. Ia tunduk kepada
>putusan yang terbanyak, sebagai minoritas bersedia
>menerima sesuatu yang sudah dipersoalkan
>(diputuskan.Penulis). Tetapi tunduk kepada perintah
>orang-seorang, ia tak sanggup. Stalin pun
>ditentangnya".
>
>Dengan tulisan itu, Hatta tidak sedang membela PKI,
>atau Soekarno. Hatta hanya menunjukkan kekeliruan
>jalan berpikir aktivis-aktivis Murba, yaitu menempuh
>cara-cara yang diluar jalur demokrasi. Sebagai
>minoritas di parlemen, Soekarni c.s. mestinya lebih
>realistik, tidak mencoba mengikuti cara-cara yang
>dipakai PKI waktu itu untuk merebut kekuasaan politik.
>Bagi Hatta, jatah dua kursi di kabinet untuk Partai
>Murba, yaitu Adam Malik dan Chaerul Saleh, sudah cukup
>layak bagi representasi politiknya.
>
>Selain gandrung akan demokrasi, bukan berarti para
>politisi itu meninggalkan fungsinya sebagai wakil
>rakyat, sekalipun berbeda pandangan dengan pemerintah.
>Hatta, lagi-lagi, menunjukkan perhatian yang begitu
>besar atas kelaparan yang melanda sejumlah daerah di
>Indonesia, justru ditengah kesibukan Soekarno
>mengkampanyekan sikap anti pembentukan negara Malaysia
>yang dianggap sebagai boneka negara imprialis Inggris.
>Hatta benar-benar membedakan dirinya antara seorang
>politisi dan seorang pemimpin rakyat. Inilah yang
>mungkin dimaksud oleh LKiS sebagai salah satu
>stereotipe politisi ekstra parlementer.
>
>Ketika Hatta didesak oleh kawan-kawan dan pengikutnya
>untuk kembali ke pemerintahan, Hatta menulis dalam
>suratnya tertanggal 18 Agustus 1964 kepada Anak Agung
>Gde Agung yang waktu itu ada di penjara Madiun:
>
>".Saya selalu menjawab bahwa dalam struktur dan
>jentera pemerintahan sekarang, tidak ada kemungkinan
>bagi saya akan ikut serta dalam pemerintahan, dalam
>kedudukan yang ikut menentukan haluan negara dan
>dasar-dasar pembangunan. Suatu kemungkinan yang dapat
>saya lakukan ialah mengusulkan secara incedentil apa
>yang baik dilakukan untuk kepentingan rakyat. Ini
>sudah beberapa kali saya lakukan (dengan menemui
>Soekarno.Pen). Diterima atau tidak oleh presiden
>(kesantunan Hatta dapat dibaca disini. Ia selalu
>menulis Presiden Soekarno atau Presiden saja, dan
>tidak pernah menulis Soekarno saja.Pen) dan
>pemerintah, itu terserah. Sekembalinya dari Sumatera,
>saya sampaikan kesan-kesan saya kepada presiden, yang
>kelihatannya ada bekasnya padanya. Apakah dikerjakan
>apa yang saya usulkan untuk perbaikan, itu terserah
>kepadanya dan pada kesanggupan pemerintahnya
>melaksanakan suatu idea yang realistik, yang juga di
>daerah rupanya disetujui oleh rakyat."
>
>Lalu apa yang dikerjakan oleh politisi-politisi
>sekarang dimasa krisis? Kita tentu sudah
>mengetahuinya. Mereka melakukan kompromi-kompromi
>politik jangka pendek yang sama sekali jauh diluar
>kaedah demokrasi. Suara rakyat dimanipulasi dengan
>alasan-alasan yang bisa dicarikan sebagai alat
>legitimasi. Ketika seorang politisi duduk di lembaga
>eksekutif, ia akan mendukungnya, sekuat apapun. Tetapi
>ketika ia sudah keluar dari birokrasi, iapun
>menyerangnya dengan tujuan suatu saat ia akan masuk
>lagi. Praktek ini diperlihatkan secara sangat
>telanjang oleh politisi-politisi Orde Baru dan diikuti
>oleh politisi-politisi sekarang.
>
>
>PERBANDINGAN historis diatas baru sedikit mengungkap
>jomplangnya etika politik yang dimiliki oleh politisi
>sekarang dan dulu. Sejarah memang selalu mengandung
>unsur-unsur positif, dan negatif. Ditonjolkannya
>sisi-sisi positif masa lalu, dan sisi negatif masa
>kini, tidak lebih dari upaya mencari kebaikan bagi
>perilaku politisi masa kini. Dalam upaya menjatuhkan
>Gus Dur, misalnya, mestinya jalur yang dipakai adalah
>jalur konstitusional, baik lewat MPR, DPR atau Pemilu.
>Sebaliknya, kalau Gus Dur menuduh seseorang yang
>menyebabkan instabilitas politik, mestinya ia diproses
>secara hukum kalau tuduhan itu keliru. Sesadis apapun
>Muso yang digambarkan buku-buku sejarah, tetap saja
>dia menempuh jalur demokrasi dengan mengelilingi Jawa
>untuk mengukur diri dan kampanye, apakah rakyat
>mendukung dia atau Soekarno-Hatta. Muso tidak langsung
>memberontak.
>
>Dengan keadaan politisi-politisi konvensional yang
>kita miliki, penulis melihat terbuka peluang untuk
>menjadi politisi pelintas batas. Politisi jenis ini
>harus lebih peduli kepada kepentingan rakyat,
>ketimbang kepentingan pimpinan partai. Sejumlah
>aktivis partai sudah memperlihatkannya, ketika lebih
>mengedepankan hati nuraninya, ketimbang menuruti
>kemauan pimpinan partai. Politisi semacam ini memang
>tidak populer di Indonesia, apalagi apabila pimpinan
>partainya mempunyai pendukung fanatik. Akan tetapi
>untuk kepentingan membangun demokrasi dalam jangka
>panjang, politisi-politisi pelintas batas ini harus
>tetap ada. Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sri Bintang
>Pamungkas dalam beberapa perilaku politiknya termasuk
>kategori ini. Mereka lebih memilih mundur atau
>menentang perintah pimpinan politiknya, dan mengikuti
>hati nurani. Masalahnya, apakah politisi-politisi
>sekarang yang mempunyai kecenderungan bertentangan
>dengan pimpinan partainya harus juga memilih jalan
>mundur, atau tetap bertahan dalam partai? Kita tunggu
>saja. (Indra J. Piliang, Pengamat Sejarah Politik,
>Alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas
>Indonesia)
>

_____________________________________________________________________________________
Get more from the Web.  FREE MSN Explorer download : http://explorer.msn.com


RantauNet http://www.rantaunet.com
=================================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

Atau kirimkan email
Ke / To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email / Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
- mendaftar: subscribe rantau-net [email_anda]
- berhenti: unsubscribe rantau-net [email_anda]
Ket: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
=================================================
WebPage RantauNet http://www.rantaunet.web.id dan Mailing List RantauNet
adalah servis dari EEBNET http://eebnet.com, Airland Groups, USA
=================================================

Kirim email ke