Lamak juo dibaco tulisan si John ko,
Ba-comment snek ah...

-------
Pelanggaran --apalagi pendobrakan-- terhadap salah satu ketentuan adat
maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa
konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan
keturunan.

SS:
Kejam amaaat...kayak kita penganut prinsip 'dosa turunan' saja...
-----
.....
Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di
Minangkabau adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama
anak-anak wanita. Anak-anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus
mengaji di surau-surau, belajar silat, bergaul dengan pria dalam segala
tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara keras
dan jantan).
.....
SS:
Jangan lupa ada sinyalemen yang mengatakan bahwa surau bisa mengakibatkan
penyelewengan prilaku seksual homoseks (gay). Ini pernah dibahas dalam kolom
AA Navis di Tempo. Penyimpangan prilaku seksual serupa, juga terjadi di
pesantren di Jawa (bisa dibaca di cerpen "Ummi Kalsum" karangan Jamil
Suherman).
Sekarang surau hanya tempat mengaji belaka. Mungkin sudah semestinya begitu.
-----------

Di Minangkabau berlaku pepatah "Kaluak paku kacang balimbing, daun
simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan dibimbing urang
kampung dipatenggangkan ". Kalau seorang suami sampai lupa kepada kemenakan
.....
SS:
Sekarang yang banyak diterapkan: "Anak ditinju, kamanakan dibantiang, urang
kampuang dipaantuak-antuak-an"
------

Dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria
menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama di
rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam
sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya
sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan
kedudukan mamak.
....
SS:
Memang sudah seharusnya begitu: Bapak yang bertanggung jawab penuh terhadap
anak! Syukur kalau ada mamaknya yang memberi perhatian kepada sang anak.
Dengan demikian si anak mendapat perhatian ganda.
Sang Mamak juga harus bertanggung jawab lebih besar kepada anaknya sendiri
ketimbang kepada kemenakannya. "Anak dipangku, kemenakan dibimbing"
mengisyaratkan bahwa tanggung jawab kepada anak lebih besar ketimbang kepada
kemenakan. "Memangku" lebih berat ketimbang "Membimbing".

------
Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga
Minang yang telah melahirkan pula jenis. "Rang Sumando", bentuk baru yang
dapat kita beri sebutan sebagai "Rang Sumando Gadang Malendo", yang tanpa
malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga
menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakannya.
.....
SS:
Kalau saya menyebutnya sebagai "Rang Sumando Picayo Diri". Atau bisa juga
disebut "Rang Sumando Pede"!
Sang mamak tidak perlu merasa kedudukannya dipersulit, justru seharusnya
sang mamak berterimakasih karena sebagian tugasnya telah diemban oleh sang
Bapak.
Sistem patrilinial jangan buru-buru diberi stempel sebagai produk budaya
barat yang negatif. Sistem matrilinial yang dianut orang Minang adalah
sistem kekeluargaan yang paling kuno. Ketika perkawinan belum dilembagakan,
orang tahu garis keturunan seorang anak hanya dari ibunya. Agama Islam
sendiri menganut sistem patrilinial, jadi kenapa kita menganggapnya sebagai
negatif.
Sistem matrilinial di Minang sendiri, saya anggap sebagai produk
"kepengecutan" leluhur kita dulu. Kalau saya tidak salah kutip, menurut
Bapak Damsyar PhD (kama beliau tu kini yeh?), seperti yang pernah ditulis
beliau di milis ini dua tahun yang lalu, dikatakan bahwa dulunya orang
Minang memakai sistem patrilinial seperti halnya daerah lain di Indonesia.
Ketika Adityawarman berkuasa di ranah Minang, leluhur kita lalu mengajukan
sistem matrilinial supaya Adityawarman bisa dianggap sebagai orang Minang.
Ibu Adityawarman adalah orang Minang, sementara bapaknya adalah orang
Majapahit. Bayangkan seorang anak selir (bukan pangeran putra mahkota) dari
Majapahit ternyata berkuasa di Minang!
Dengan sistem matrilinial ini, Adityawarman diakui sebagai orang Minang.
Dengan demikian, leluhur kita tidak merasa "terjajah" oleh Majapahit. Boleh
jadi sebagian orang menganggap bahwa tindakan ini adalah "tindakan
diplomatis yang cerdas", namun saya tetap menganggapnya sebagai suatu
"kepengecutan".


Wassalam,
Syafrinal Syarien



RantauNet http://www.rantaunet.com
=================================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke / To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email / Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
- mendaftar: subscribe rantau-net [email_anda]
- berhenti: unsubscribe rantau-net [email_anda]
Ket: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
=================================================
WebPage RantauNet dan Mailing List RantauNet adalah
servis dari EEBNET http://eebnet.com, Airland Groups, USA
=================================================

Kirim email ke