In a message dated 7/27/01 6:25:03 PM Eastern Daylight Time, Du178 writes:


Republika, Jumat, 27 Juli 2001
Bila Aku Mega

Oleh Zaim Uchrowi

Dini hari. Aku akan mengupayakan untuk bangun: salat kemudian tafakur. "Aku
hanya seorang manusia biasa ya Allah. Takkan sanggup kupikul amanah besar
ini tanpa kekuatan dari-Mu."

Di saat tafakur itulah kubuka lembaran-lembaran hidupku. Terutama pada 20
bulan terakhir ketika aku menjadi pemimpin kedua untuk bangsa ini. Kukaji
hari-hariku, kucermati langkah-langkahku. Tentu ada kekeliruan dalam
langkahku itu, sebagaimana juga kebenaran. "Allah, tunjukkan kekeliruanku
itu dan beri aku kemampuan untuk memperbaikinya di hari ini dan hari-hari
mendatang."

Terbayang dengan jelas perjalananku bersama pemerintahan terdahulu.
Terbayang nyata ekspresi setiap menteri. Setidaknya di rapat-rapat kabinet.
Juga di kesempatan lainnya. Aku tahu apa yang telah mereka kerjakan. Aku
tahu siapa yang telah sungguh bekerja, dan aku tak akan mengabaikan mereka.

Di komputer otakku juga tersimpan baik memori lainnya. Yakni memori tentang
kawan-kawan lain di luar kabinet, di jalur politik. Mereka juga telah
bekerja keras untuk membangun negeri ini. Mereka telah menapaki jalan sulit
dan penuh risiko pula. Sebagian di antaranya tentu berharap akan dapat
membantuku dengan duduk di kabinet. Sebuah harapan yang sangat kupahami dan
kuhormati.

Kini aku menjadi nakhoda kapal besar bernama Indonesia ini. Di sampingku
juga telah berdiri seorang wakil yang akan terus membantuku. "Terima kasih
ya Allah atas kepercayaan-Mu. Terima kasih pula atas pemberian-Mu padaku
nurani." Itulah modalku dalam menjalani masa kepemimpinan atas negeri ini.
Dan aku akan meminta pada Allah --yang lebih dekat dibanding urat leher
diri kita masing-masing-- untuk terus melimpahkan kejernihan bagi nurani
itu.

Dengan nurani itulah aku akan menata pemerintahan baru. Dengan nurani
itulah aku akan melihat para anggota kabinet yang telah membantuku bekerja
dalam pemerintahan selama ini. Juga pada para politisi yang telah
mendukungku untuk duduk di kursiku ini.

Secara nurani aku tak akan membongkar begitu saja kabinet yang ada. Waktuku
hanya tiga tahun. Waktu yang terlalu singkat bagi kehadiran orang yang sama
sekali baru, dan harus mempelajari semuanya dari awal. Aku memerlukan
orang-orang yang telah mendalami persoalan di bidang masing-masing. Para
menteri sekarang adalah orang-orang yang telah mendalami persoalan itu.
Tinggal kusampaikan visi serta target baru.

Sepanjang para menteri itu tulus, dekat dengan masyarakat yang harus
diperjuangkannya, memahami persoalan di lingkungannya serta mempunyai visi
ke depan yang jelas, aku akan memintanya terus membantuku. Namun, aku
sadar, tak semua seperti itu.

Pada yang lain itu, aku akan meminta dengan hormat beristirahat. Tempatnya,
yang mudah-mudahan tak terlampau banyak, akan kuberikan pada orang-orang
partai. Bagiku, tak cukup mereka mewakili partai politik. Yang lebih
penting adalah penguasaan yang mendalam pada bidang masing-masing yang akan
ditanganinya.

Azan bergema. Saatku bangkit menunaikan shalat Subuh. Sebentar lagi fajar
merekah. Semoga fajar ini adalah fajar bagi bangsa.
    
   
   





Republika, Jumat, 27 Juli 2001
Bila Aku Mega

Oleh Zaim Uchrowi

Dini hari. Aku akan mengupayakan untuk bangun: salat kemudian tafakur. "Aku
hanya seorang manusia biasa ya Allah. Takkan sanggup kupikul amanah besar ini
tanpa kekuatan dari-Mu."

Di saat tafakur itulah kubuka lembaran-lembaran hidupku. Terutama pada 20
bulan terakhir ketika aku menjadi pemimpin kedua untuk bangsa ini. Kukaji
hari-hariku, kucermati langkah-langkahku. Tentu ada kekeliruan dalam
langkahku itu, sebagaimana juga kebenaran. "Allah, tunjukkan kekeliruanku itu
dan beri aku kemampuan untuk memperbaikinya di hari ini dan hari-hari
mendatang."

Terbayang dengan jelas perjalananku bersama pemerintahan terdahulu. Terbayang
nyata ekspresi setiap menteri. Setidaknya di rapat-rapat kabinet. Juga di
kesempatan lainnya. Aku tahu apa yang telah mereka kerjakan. Aku tahu siapa
yang telah sungguh bekerja, dan aku tak akan mengabaikan mereka.

Di komputer otakku juga tersimpan baik memori lainnya. Yakni memori tentang
kawan-kawan lain di luar kabinet, di jalur politik. Mereka juga telah bekerja
keras untuk membangun negeri ini. Mereka telah menapaki jalan sulit dan penuh
risiko pula. Sebagian di antaranya tentu berharap akan dapat membantuku
dengan duduk di kabinet. Sebuah harapan yang sangat kupahami dan kuhormati.

Kini aku menjadi nakhoda kapal besar bernama Indonesia ini. Di sampingku juga
telah berdiri seorang wakil yang akan terus membantuku. "Terima kasih ya
Allah atas kepercayaan-Mu. Terima kasih pula atas pemberian-Mu padaku
nurani." Itulah modalku dalam menjalani masa kepemimpinan atas negeri ini.
Dan aku akan meminta pada Allah --yang lebih dekat dibanding urat leher diri
kita masing-masing-- untuk terus melimpahkan kejernihan bagi nurani itu.

Dengan nurani itulah aku akan menata pemerintahan baru. Dengan nurani itulah
aku akan melihat para anggota kabinet yang telah membantuku bekerja dalam
pemerintahan selama ini. Juga pada para politisi yang telah mendukungku untuk
duduk di kursiku ini.

Secara nurani aku tak akan membongkar begitu saja kabinet yang ada. Waktuku
hanya tiga tahun. Waktu yang terlalu singkat bagi kehadiran orang yang sama
sekali baru, dan harus mempelajari semuanya dari awal. Aku memerlukan
orang-orang yang telah mendalami persoalan di bidang masing-masing. Para
menteri sekarang adalah orang-orang yang telah mendalami persoalan itu.
Tinggal kusampaikan visi serta target baru.

Sepanjang para menteri itu tulus, dekat dengan masyarakat yang harus
diperjuangkannya, memahami persoalan di lingkungannya serta mempunyai visi ke
depan yang jelas, aku akan memintanya terus membantuku. Namun, aku sadar, tak
semua seperti itu.

Pada yang lain itu, aku akan meminta dengan hormat beristirahat. Tempatnya,
yang mudah-mudahan tak terlampau banyak, akan kuberikan pada orang-orang
partai. Bagiku, tak cukup mereka mewakili partai politik. Yang lebih penting
adalah penguasaan yang mendalam pada bidang masing-masing yang akan
ditanganinya.

Azan bergema. Saatku bangkit menunaikan shalat Subuh. Sebentar lagi fajar
merekah. Semoga fajar ini adalah fajar bagi bangsa.





Reply via email to