Padang Sebagai Prioritas Utama
04/09/2001 20:26


Bangsaku.com-Selain target aktivis, Kristenisasi juga dilancarkan dengan
target wilayah. Paling tidak ada dua wilayah yang dijadikan target; Sumatera
Barat dan Jawa Barat
Di antara sejumlah kawasan yang serius "digarap", Sumatera Barat patut
mendapat perhatian kita. Kawasan berpemeo adai' basandi syarak, syarak
basandi kitabullah, Adat bersendi Syara', Syara' Bersendi Al-Quran dan
Hadits diguncang fakta kristenisasi dengan sejumlah modus miring, selain
"gaya rutin" : melabrak SKB No.1/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya (diteken Menag KH Moh.
Dahlan dan Mendagri Amir Mahmud) dan SK Menteri Agama No.70/1978 tentang
Pedoman Penyiaran Agama.
Setidaknya, pada kawasan ini ada tiga fenomena, di Pasaman Barat (Kecamatan
Kinali, empat jam dari Kota Padang lewat darat), Kabupaten Mentawai, dan
Bungus.
Pasaman Barat tadinya dihuni mayoritas muslim. Sekarang? Tak kurang dari 35
gereja ada di sana, dengan modus gelombang hunian pendatang. Pendatang
nonmuslim beretnis Jawa tadinya amat toleran dan santun. Lain halnya dengan
pendatang etnis Batak yang kerap dengan demonstratif mendirikan gereja di
tengah komunitas muslim, bahkan menyate babi secara terbuka, membawa-bawa
babi yang sudah siap masak atau yang masih hidup. Warga setempat pernah
menegur, tapi ada perlawanan. Kalau dulu sempat ada tiang-tiang calon
bangunan gereja dirobohkan, agaknya masyarakat lokal mulai kalah perbawa
karena mereka datang bergelombang, bahkan menyemangati pemurtadan di
Pasaman.
Di Kabupaten Mentawai lain lagi. Kawasan ini sejak lama dipublikasikan
sebagai daerah wisata dan kawasan konservasi budaya dan ekologi. Budaya
Mentawai yang animistis dipublikasikan sebagai obyek wisata, padahal ada
beberapa strategi yang diterapkan. Secara statistikal umat Islam memang tak
banyak. Umat Kristen juga belum mendominasi Mentawai, tetapi dengan
sedemikian rupa yang nonmuslim diplintir sebagai "Kristen" padahal sebagian
besar adalah penganut kepercayaan asli suku Rao. Padahal dakwah Islam
berkembang lama di sana meski tersendat. Masyarakat muslim Padang dan
sekitarnya pernah mendapat bocoran info adanya rencana pihak Kristen, bahwa
Mentawai pada Ramadhan 2000 akan di'Ambon'kan. Khawatir komunitas Islam di
Mentawai bakal diberantas, ormas-ormas Islam melindungi muslimin Mentawai
dengan melakukan aksi bakti sosial secara massal. Muslimin di Padang dan
Mentawai bersyukur, Mentawai tetap damai. Setidaknya sampai hari ini.
Secara politis, kekuatan Islam di Kabupaten Mentawai kalah, hanya ada lima
anggota DPRD dari dua partai islam (PPP danPBB), selebihnya PDIP yang
dominan Kristen. Gara-gara pengaruh politik dan budaya Mentawai lebih ke
Padang yang Islam, dihembuskan semangat disintegrasi. Tokoh-tokoh Adat yang
ngeluruk ke Jakarta minta Mentawai Merdeka, adalah bagian upaya melepaskan
diri dari pengaruh Syara' kultur Minang.
Daera Bungus punya kisah lain lagi. Kawasan ini sekarang dikenal sebagai
daerah yang didominasi pendatang asal Nias. Budaya Nias yang akulturatif
animis-kristiani ikut memasyarakat di Bungus yang tadinya juga kawasan
berpenduduk muslim. Selain itu, kawasan ini makin permisif menerima pengaruh
Barat. Wisatawan dengan kebiasaan seks bebas, menurut kesaksian warga
setempat, cukup leluasa di sini. Fakta menyolok menunjukkan mengendurnya
pengaruh adat. Bangunan papan tak berjendela berdiri sepanjang pantai Bungus
hingga Teluk Kabung. Tak ada yang memprotes bangunan itu. Padahal bangunan
semacam itu kerap menjadi tempat transaksi seks, atau sekadar tempat kencan.
Dalam perspektif geopolitik, sebetulnya strategi "memecah, dan melepaskan
diri untuk bisa menguasai", selain dilakukan kolonialis Belanda (include
misi pemurtadan juga), dalam konteks Republik Indonesia dilakukan Soekarno
yang memecah Minangkabau (yang basandi syara'), semula wilayah Minangkabau
adalah Sumatera Barat, Riau dan Jambi, dipecahnya menjadi tiga provinsi.
Akibatnya, posisi tawar "kekuatan Islam" melemah karena "ego-daerah" lebih
berkembang ketimbang basis persekutuan adat yang bersendi syariat tadi.
Menilik fenomena ini, otonomi daerah pun potensial ditunggangi modus-modus
membangun wilayah eksklusif agama. Kekhawatiran muslimin dan elit Minang
yang tak terjawab sampai kini: kristenisasi ofensif semacam ini potensial
memecah keutuhan. (baca: Galery).
Sekretaris FAKTA, Abu Deedat yang juga seorang kristolog membenarkan adanya
modus penguasaan wilayah itu. "Wilayah, bukan sekadar geografis tapi juga
psikologis. Misalnya, di Bekasi ada restoran Padang yang dikelola orang
Kristen. Bahkan anda jangan kaget kalau pak Edy Sapto, pemimpin sebuah STT
di Bekasi itu, orang Madura. Ia mengaku lulusan pesantren Batuampar,
Sumenep," kata Abu Deedat. Masih kata Abu Deedat, di Bekasi ada perkumpulan
Panglebur, yakni perhimpunan Kristen Madura.
Sikap kasar murtadin terjadi belum lama ini di Samarinda. Dua hari setelah
kegiatan dialog seputar kristologi di Samarinda (antara lain mengundang Abu
Deedat), pelaksana memperoleh tiga kali ancaman telepon. Telepon teror itu
diucapkan dengan kalimat ringkas. Di antaranya, mengancam, "Kalian berani,
ya. Tidak takut seperti yang sudah-sudah." Meski tak menyebut kata tertentu,
pihak Fappad menganggap, "yang sudah-sudah" itu adalah seperti nasib
muslimin Ambon dan Halmahera. Setelah telepon gelap itu, seorang aktivis
Fappad mengalami tabrak lari. Pelakunya berpakaian serba hitam. Saksi korban
yakin kejadian itu bukan kecelakaan karena dirinya berjalan di sisi kiri.
Organisasi semacam Fakta (Forum Antisiasi Kegiatan Pemurtadan) di Jakarta,
atau pun Fappad (Forum Antisipasi Pemurtadan dan Peduli Dhuafa) di
Samarinda, lahir karena kesadaran betapa ofensifnya gerakan pemurtadan.
Dalam beberapa kasus, bukan sekadar memurtadkan, karena kalau gagal ancaman
dan teror bahkan penganiayaan menjadi agenda berikutnya.
Tengok saja kejadian di sebuah darah transmigrasi di Kutai baat. Tigapuluhan
KKK transmigran muslim, menjelang pemilihan Bupati Kutai Barat, diusir dari
daerah trans. Pelakunya, sesama transmigran asal Flores. Korban pengusiran
ditampung sementara di daerah Bengkuring, Samarinda, atas inisiatif Forum
Solidaritas Muslim.
Kasus lainnya, muslimin Lempake kecamatan Tanah Merah (masih di Samarinda)
melalui Majelis Ulama Indonesia setempat menolak rencana pendirian gereja di
daerah itu. Tapi upaya mencegah konflik antar agama ini, kalah suara.
Beberapa tokoh masyarakat didatangi dan diancam pihak tertentu. Antara lain
inti ancaman itu, kalau berkeras menolak bakal di'Sampit'kan. Ini terjadi
sekitar empat bulan silam, beberapa bulan setelah pecah peristiwa di Sampit,
Kalimantan Tengah. Memang, pihak Kristen beralasan, pendirian rumah ibadat
itu untuk melayani warga Kristen dari Pampang, pemukiman etnik Dayak di
depat Lempake.


Muhammad Arfian
[EMAIL PROTECTED]
81-44-861-0217
81-90-3909-5742


RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke