TNI, Nagabonar, Si Pai
Penulis: Indra J. Piliang *

  
detikcom - Tanggal 5 Oktober 2001 TNI kembali merayakan cikal bakal kelahirannya dari Tentara Keamanan Rakyat. Dari namanya saja, TKR, memang belum dimaksudkan sebagai organisasi pertahanan. Organisasi ini lebih terkait dengan kondisi peralihan kekuasaan dari rezim pendudukan Jepang kepada Republik Indonesia yang baru lahir. Baru kemudian, ketika serdadu Belanda hendak membonceng kepada NICA, organisasi TKR itu melakukan fungsi pertahanan wilayah kedaulatan RI.

Pertempuran di Surabaya tanggal 10 November 1945, yang mencederai tangan Roeslan Abdul Gani – yang sekarang menjadi saksi hidup atas peristiwa itu --, menandai peralihan fungsi keamanan menjadi pertahanan.

Pada prinsipnya, sebagai organisasi keamanan, lembaga negara yang berwenang untuk itu lebih bersifat menjaga benturan di antara warga negara atau melakukan penangkapan atas para pelaku tindakan kriminal. Lembaga negara yang berwenang untuk itu, dalam negara-negara moderen, adalah kepolisian.

Di Indonesia, kepolisian RI lebih dahulu lahir dari organisasi militer. Kepolisian RI langsung dibentuk dua hari setelah kemerdekaan, yaitu 19 Agustus 1945, dibawah kendali Menteri Dalam Negeri. Tanggal 29 September 1945, R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian RI dengan pangkat jenderal.

Menariknya, sejak awal para pemuda Indonesia alergi dengan kehadiran tentara. Yang dibentuk kemudian Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang semula bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Pembentukan itu dilakukan oleh PPKI tanggal 20 Agustus 1945. Sebagaimana dicatat oleh Ben Anderson (1988: 127), paling tidak ada dua pendapat dan kelompok yang berkembang. Pertama, kelompok Oto Iskandardinata dan sejumlah pejabat sipil tinggi yang ingin sekali tetap berhubungan baik dengan Jepang dan mencegah terulangnya perampokan, pembunuhan, dan anarki sporadis yang pernah terjadi di beberapa daerah setelah jatuhnya kekuasaan Belanda tahun 1942.

Bagi mereka, fungsi utama BKR adalah memperkuat polisi dalam memelihara hukum, ketertiban, dan mendukung wibawa pemerintah. Kedua, kelompok bekas perwira PETA (bentukan Jepang) dan KNIL (bentukan Belanda) yang ingin membangun tentara nasional sejak saat itu juga.

Sikap Soekarno sendiri mengakomodir keduanya, dengan mendesak bekas anggota Peta, Heiho, dan lain-lainnya untuk bergabung ke BKR, dalam pidato radionya tanggal 23 Agustus 1945. Soekarno menekankan, “...nanti akan datang saatnya kamu dipanggil untuk menjadi prajurit dalam tentara kebangsaan Indonesia!”

Pada dasarnya, memang unsur sipil Indonesia lebih dahulu mempunyai “jasa” terhadap berdirinya republik. Para pemimpin pertama republik, sebelum perang kemerdekaan, semuanya sipil, baik yang berasal dari kalangan kampus, maupun dari organisasi kemasyarakatan. Sedangkan militer baru dihadirkan, setelah Indonesia menata struktur pemerintahannya.

Hubungan Sipil-Militer

Makanya, intervensi sipil selalu mewarnai militer Indonesia. Militer memang bukanlah organisasi independen dalam negara manapun, karena merupakan alat negara. Karena kehadiran, pembentukan, dan kemudian daerah-daerah operasinya ditentukan oleh pimpinan sipil, maka tak heran kalau kadangkala muncul friksi antara militer dengan para politisi yang kebetulan duduk sebagai pimpinan negara (presiden atau perdana menteri). Hubungan sipil-militer itu paling ditandai dengan menyerahnya Soekarno-Hatta kepada Belanda, dalam peristiwa pendudukan Yogyakarta, sedangkan Panglima Soedirman memilih pergi ke hutan bergerilya.

Perbedaan pandangan itu sendiri sebetulnya juga terjadi dalam apa yang dikenal sebagai Program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) Kabinet Muhammad Hatta (Januari 1948). Dalam Rancangan Undang-undang yang sudah disiapkan oleh Kabinet Amir Syarifuddin sebelumnya, sebagaimana dicatat oleh Himawan Soetanto (1994:60), terdapat pikiran bahwa: “... Organisasi dan kekuatan TNI harus diperkecil dan disederhanakan supaya lebih efisien, sesuai dengan keadaan dan posisi RI saat itu. Daerah RI sudah semakin sempit, penderitaan sosial dan ekonomi meningkat. Negara dan masyarakat tidak mungkin lagi harus terus membiayai lebih kurang 350.000 orang Tentara, ditambah dengan 470.000 orang (di Jawa saja) lasykar dari Biro Perjuangan (laskar rakyat)...”

Bahkan, secara lebih eksplisit, Himawan mencatat (1994: 62): “...Pemerintah akan menyiapkan dasar-dasar untuk menjadikan tentara kita jadi tentara milisi. Tentara milisi lebih baik dari tentara gajian, karena milisi menanamkan rasa kewajiban untuk mempertahankan tanah air. Tentara tetap menjadi ‘kern kader’...” Catatan Himawan itu berdasarkan pidato Muhammad Hatta tanggal 14 Februari 1948 di depan sidang BP KNIP (yang saat itu berfungsi sebagai parlemen). Dari sinilah kemudian lahir UU No. 3 tahun 1948. Konon, para laskar rakyat yang tidak mau keluar dari militer inilah yang kemudian mengambil bagian dalam pemberontakan bersenjata di Madiun tahun itu juga.

Dari sini memang tergambar, betapa militer Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari politik yang dijalankan politisi. Dan memang harus begitu. Sekarang, makin ditunjukkan dengan keberadaan politisi sipil untuk menjadi Menteri Pertahanan. Perintah penyerangan, bukan lagi berasal dari Panglima TNI, melainkan dari pimpinan tertinggi eksekutif, yaitu presiden. Tidak bisa seorang jenderal tiba-tiba berteriak untuk menyerang Aceh, misalnya, apabila presiden belum memutuskan.

Yang menjadi persoalan sekarang, seluruh hubungan sipil-militer itu harus berdasarkan UU atau dibuat UU-nya. Tidak bisa keputusan perseorangan saja, berdasarkan friksi dalam tubuh politisi yang berimbas ke militer. Kalau perlu, berdasarkan UU, seorang presiden bisa memecat seorang jenderal yang nyelonong bicara di pers untuk menyerang suatu daerah, sebelum presiden mengambil keputusan. Truman, Presiden USA, pernah mengambil tindakan tidak populer itu, ketika memecat pahlawan perang USA di Pasific, Jenderal Mac Arthur, ketika sang jenderal yang ditugaskan di Korea itu memerintahkan pasukannya menyerang Korea Utara, ketika Truman belum mengambil keputusan apa-apa.

Doktrin Pertahanan

Organisasi militer, lebih berfungsi menghadapi intervensi negara-negara asing atas wilayah dan penduduk negara yang bersangkutan. Kepolisian berorientasi ke dalam negeri, sedangkan militer keluar negeri. Moncong senjata, bahkan nuklir sekalipun, selalu mengarah keluar wilayah negara, tidak bisa ke dalam. Perbedaan fungsional ini harus jelas, mengingat senjata milik militer Indonesia yang dibeli menggunakan uang rakyat, kebanyakan sekarang ini juga diarahkan kepada kekuatan-kekuatan dalam negeri, katakanlah kepada gerakan separatisme di Aceh dan Papua.

Dalam riwayatnya yang panjang, militer Indonesia sudah digunakan untuk memulihkan situasi keamanan dalam negeri. Berbagai “pemberontakan” di daerah, seperti PRRI/Permesta, dihadapi dengan mengerahkan kesatuan-kesatuan TNI. Namun, ketika unsur TNI juga terlibat dalam peristiwa penyingkiran elemen-elemen masyarakat sipil yang dikenal sebagai kelompok komunis, fungsi TNI menjadi semakin kabur. Kekaburan serupa menjadi kian kental, ketika unsur kepolisian yang sejak awal merupakan unsur sipil, kemudian dialihkan kepada fungsi kemiliteran tahun 1960-an. Untunglah, Presiden Wahid telah membedakan polisi dengan TNI, yang kemudian disahkan lewat Tap MPR 2000.

Sampai detik-detik terakhir menjelang peringatan 5 Oktober ini, sebagian pasukan TNI sedang merebut lapangan terbang di daerah Illaga, Kecamatan Illaga, Kabupaten Puncak Jaya, Irian Jaya yang diduduki oleh “kelompok separatis bersenjata”. Uniknya, dalam pengerahan pasukan itu, juga diikut-sertakan unsur-unsur Polri. Dengan demikian, Polri masih ditempatkan sebagai pasukan tempur, terutama unit Brigade Mobil (Brimob) yang terkenal dalam perang kemerdekaan. Untuk situasi darurat, mungkin bergabungnya unsur TNI dan Polri untuk satu operasi khusus ini diperlukan.

Tetapi, dalam banyak operasi lainnya, unsur gabungan ini juga ikut serta. Bahkan untuk menghalau tukang becak di DKI tak cukup hanya petugas Trantib DKI. Atau untuk menyelesaikan sengketa tanah. Berbagai tragedi penembakan mahasiswa, dalam peristiwa Trisakti, Semanggi, dan lain-lainnya, juga melibatkan unsur militer dan kepolisian. Baiklah, peristiwa itu terjadi di masa lalu, ketika TNI dan Polri belum terpisah. Nah perlu penataan ulang, untuk melakukan operasi-operasi khusus ini, agar terlihat bahwa TNI dan Polri itu berbeda fungsinya.

TNI tak perlu ikut-ikutan dalam menangani para pedagang kaki lima, karena toh sudah banyak alat negara lainnya yang bertugas. Tak bisa hanya karena alasan “TNI lebih dituruti rakyat, karena kalau Trantib saja bertindak pasti dilawan”, lantas TNI terus-menerus dilibatkan, justru citra TNI bisa semakin hancur.

Interpretasi Sejarah

Lantas, sebagai bagian dari interpretasi sejarah, benarkah sudah tepat untuk merayakan tanggal 5 Oktober sebagai cikal bakal TNI? Penulis merasa sudah tepat, sebab hari itulah Soekarno mengumumkan pembentukan TKR. Tetapi, apabila tanggal 5 Oktober masih tetap disebut sebagai cikal-bakal TNI, tentu akan bermasalah, apabila kata “keamanan”-nya masih melekat. Bagaimanapun, apabila tanggal 5 Oktober masih disebut sebagai hari kelahiran TNI, akan sulit sekali untuk melakukan upaya back to barrack. Karena barak TNI itu nyatanya berupa fungsi pengamanan atas situasi warga-negara.

Penulis merasa, sebaiknya cikal bakal TNI sebagai bagian dari pertahanan rakyat semesta diambil dari tanggal 10 November 1945. Sebab, saat itulah doktrin hankamrata itu menemukan bentuknya paling ideal. Seluruh komponen masyarakat melakukan fungsi total defence untuk mempertahankan republik atas serangan musuh.

Pasca 10 November 1945 itu, otomatis fungsi TNI banyak bermain di level pertahanan, ketika melakukan kontak-kontak bersenjata dengan tentara Belanda dalam aksi Perang Gerilya. Saat itu, sudah ada pembedaan yang jelas antara TNI dengan masyarakat, sekalipun masyarakat juga banyak terlibat dalam melakukan aksi mata-mata di wilayah musuh, atau dengan membentuk Laskar Rakyat ala Nagabonar yang bisa sewaktu-waktu berpangkat Kolonel hanya karena berhasil merampas pistol milik musuh. Masyarakat juga memberikan bantuan makanan, perlindungan, dan bahkan memasok persenjataan.

Dari aksi perang gerilya, jelas sekali TNI tak bisa melupakan begitu saja tentang pentingnya faktor dukungan masyarakat atas tercapainya tujuan mengenyahkan musuh. Untuk kasus Aceh sekarang, misalnya, sulit bagi TNI untuk mengambil hati rakyat Aceh, apabila sebutan sebagai si Pai tidak hilang. Dulu, TNI masih bisa mendapatkan bantuan dari para Cuak yang kemudian banyak dibunuh oleh rakyat Aceh sendiri. TNI tak bisa melakukan aksi-aksi pertahanan negara secara sendirian.

Kalau memang tak ditemukan tanggal pastinya, ya tak apa-apa tanggal 5 Oktober terus diperingati, tetapi hanya simbolis saja. Yang perlu dilakukan tentunya membenahi banyak sekali kendala psikologis yang menghadapkan rakyat dengan TNI dalam situasi berlawanan, hanya karena pengaruh dominannya satu kelompok politik atau satu figur sentral.

Militer Profesional

Kembali ke soal sipilisasi keamanan, jelas sekali polisi sekarang sudah bagian dari organisasi sipil. Untuk itu, perlu diperjelas fungsi organisasi kepolisian dalam operasi militer. Militer hanya tepat digunakan untuk menghancurkan kekuatan bersenjata yang jelas-jelas mendefenisikan diri mereka sebagai unsur yang ingin menduduki Indonesia. Sedangkan polisi melakukan tugas-tugas pemulihan keamanan. Kecuali, sekali lagi, memang untuk situasi darurat, misalnya ketika terjadi bencana alam atau kerusuhan massal yang tak terkendali. Itupun dengan catatan militer Indonesia tak perlu mengeluarkan senjata beratnya.

Ketika militer mengeluarkan senjata beratnya, dalam peristiwa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, serta dari Abdurrahman Wahid ke Megawati, jelas sekali secara psikologis berpengaruh ke tengah-tengah masyarakat. Seringkali implikasinya negatif, di mata masyarakat, karena melihat militernya bergerak, padahal yang sedang terjadi sebetulnya hanyalah permainan catur dalam arena politik sipil.

Harus juga dipertegas, apakah perlindungan yang diberikan oleh militer kepada Business Community dalam bentuk Multi National Corporation sungguh diperlukan. Misalnya penjagaan untuk PT Freeport di Papua atau ExxonMobil di Aceh. Sungguh unik peran yang dimainkan itu. Bagaimana bisa, ketika Kongres USA menyerang militer Indonesia, justru militer Indonesia menunjukkan sikap loyalnya kepada MNC yang berbasis di USA. Inilah yang mungkin disebut sebagai pergeseran baru dalam hubungan global saat ini.

USA, misalnya, tak bisa dilihat sebagai satu kesatuan tindakan dan peran. USA terdiri dari Government (G), Businessmen (B), Civil Society (C) atau People (P). Ketika unsur “G” USA menyerang “G” Indonesia, maka boleh jadi “P” USA tak setuju, karena melihat serangan “G” USA itu bisa membuat “G” Indonesia menekan “P” Indonesia. Makanya, menjadi rancu serangan “P” Indonesia untuk melakukan sweeping kepada “P” USA di Indonesia, ketika “P” USA itu sendiri banyak yang tak setuju dengan kebijakan “G” mereka.

Militer Indonesia, sebagai wujud dari keseluruhan rakyat Indonesia, memang harus dibentuk semakin profesional. Profesionalisme militer Indonesia diukur dari seberapa jauh fungsinya di bidang pertahanan. Untuk itu, “musuh” militer Indonesia sebetulnya bukan rakyat Indonesia, apalagi dunia politik. Politik rakyat Indonesia bisa berubah, misalnya untuk kasus Timor Timur yang murni sebagai kebijakan politik BJ Habibie, sedangkan militer harus menjadi unsur yang tak terpengaruh oleh politik itu.

Alangkah baiknya apabila militer Indonesia tak masuk wilayah politik, karena kalau itu terjadi, militer terpaksa harus memilih kawan dan lawan. Sekarang saja agak sulit untuk membina kembali hubungan baik antara militer dengan kalangan ulama-ulama NU pendukung Gus Dur.

Agar militer profesional, memang yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kesejahteraan TNI. Asrama-asrama sempit, gaji rendah, dan bahkan pekerjaan yang banyak – harus siap ditempatkan dari satu daerah rusuh ke daerah rusuh lainnya, dengan pengetahuan minim soal sosiologi penduduk --, prajurit TNI tentu juga menghadapi persoalan kemanusian secara umum, seperti depresi. Peningkatan kesejahteraan TNI tentu bisa dibedakan dengan peningkatan persenjataan.

Jumlah persenjataan TNI yang mengambil dana negara, bisa dikontrol oleh DPR. Sedangkan kesejahteraan TNI tidak bisa ditawar-tawar lagi. Prioritas atas kesejahteraan militer inilah yang perlu dipikirkan oleh DPR, agar militer tak berpolitik dan tak berbisnis.

Jangan sampai sebutan sebagai Nagabonar atau si Pai muncul lagi, hanya karena keterlibatan di sebuah fase atau wilayah konflik, tanpa kejelasan aturan.

Dirgahayu TNI.

Jakarta, Oktober 2001

* Penulis, analis politik CSIS, Jakarta.

Kirim email ke