Title: RE: [RantauNet] Koto Gadang, Tiap Rumah Ada Sarjana

Untuk yang ini saya tertarik dengan statement sdr Urpas, apa kira-kira maksudnya.
Asumsi saya adanya  kristenisasi???

-----Original Message-----
From: Urpas [mailto:[EMAIL PROTECTED]]
Sent: Saturday, October 27, 2001 8:47 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: Re: [RantauNet] Koto Gadang, Tiap Rumah Ada Sarjana



ass ww;

koto gadang adalah ambon;
koto gadang adalah minahasa;

wass.,
=urpas=


----- Original Message -----
From: Darwin Bahar
To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ;
[EMAIL PROTECTED]


Republika, Sabtu, 27 Oktober 2001

Seratus tujuh belas tahun silam, Agus Salim terlahir. Meski telah
teramat lama, di Sumatera Barat, anak-anak sekalipun tetap mengenal
namanya. Betul juga kata orang bijak: harimau mati meninggalkan belang,
manusia mati meninggalkan nama.

Nama besarnya nyaris tidak tertandingi oleh siapapun, kecuali oleh
sejumlah orang di zamannya yang kemudian menjadi 'bapak bangsa' ini.
Agus Salim adalah tipe orang Minang --yang dalam istilah Rosihan Anwar--
gilo-gilo baso alias gendeng. Semua orang Minang yang pintar memang
memiliki sikap demikian. Ia lahir di nagari Koto Gadang pada 8 Oktober
1884. Nagari ini senantiasa dibalut kabut. Anginnya semilir.

Jika Anda berada di Bukittinggi, masuklah ke Ngarai Sianok, menelusuri
jalan beraspal yang menurun tajam. Naik mobil Chevrolet keluaran tahun
1944 atau berjalan kaki, maka Anda akan sampai di Koto Gadang. Bisa juga
dari simpang empat Galudua, Koto Tuo, ruas jalan ke Maninjau, di kaki
Gunung Singgalang. Dari Koto Tuo ini, jaraknya lebih pendek, sekitar dua
kilometer saja.

Koto Gadang adalah satu dari 61 nagari di Kabupaten Agam atau 543 nagari
di Minangkabau. Masuk ke dalam wilayah administrasi kecamatan IV Koto
(baca: Ampek Koto), yaitu nagari: Koto Tuo, Koto Panjang, Sungai Landia,
Balingka, Malalak, Lubuak Tabek Sarojo, Koto Gadang, III Koto,
Garagahan, Sitanang, dan Manggopoh.

Di Koto Gadang, Anda akan disambut oleh ciri khas nagari Minangkabau:
rumah berjejer sepanjang jalan, di belakang selapis atau dua lapis rumah
akan ada sawah. Rumah-rumah di sini banyak yang kosong. Pemiliknya entah
di mana kini. Mungkin di Jakarta, Sydney atau California, dan bisa juga
di Surabaya.

Banyak rumah yang didiami oleh orang upahan. Sebuah keluarga digaji
untuk mendiami rumah oleh keluarga Koto Gadang yang sedang berada di
rantau. Hal semacam ini banyak ditemukan di nagari-nagari lain di
Minangkabau, tapi di Koto Gadang jumlahnya teramat banyak.

Para gadis Koto Gadang yang menetap di kampung halaman, selain sekolah
di kampung sendiri juga di Bukittinggi dan Padang. Yang di kampung,
banyak yang melibatkan diri dalam kerajinan Amai Setia yang didirikan
lebih seabad silam. Hasil kerajinan anak nagari Koto Gadang, terkenal
luas. Tidak saja mengisi etalase pasar konveksi di Bukittinggi, tapi
juga dipesan oleh banyak orang dari berbagai kota.

Ketika wanita di daerah lain masih 'tidur', di Koto Gadang sudah ada
Kerajinan Amai Setia. Tatkala wanita di daerah lain dipasung di rumah,
Rohana Kudus gadis desa itu, sudah menjadi pemimpin redaksi surat kabar
Soenting Melajoe di Padang awal abad ini. Ia menjadi pioner perdebatan
gender dan hak-hak wanita Minangkabau.

Nagari ini, kini, juga menjadi desa tujuan wisata. Para wisatawan asing
akan menuju Ngarai Sianok dan seterusnya berjalan menuju Koto Gadang. Di
sana mereka sepertinya memasuki bab demi bab buku tua milik kaum
intelektual bangsa ini.

Koto Gadang sama terkenalnya dengan Agus Salim atau cucunya, Emil Salim.
Nagari ini berhasil mengambil manfaat yang sempurna dari sistem
pendidikan kolonial yang diterapkan Belanda di Minangkabau. Tidak ada
orang Koto Gadang ketika itu yang tidak pandai berbahasa Belanda. Malah
kini, orang seangkatan Emil Salim atau satu generasi di bawahnya,
biasanya berbicara memakai bahasa Belanda dengan kedua orang tuanya.

Dapat dibayangkan di zaman awal-awal politik etis saja orang Koto Gadang
sudah berbondong-bondong untuk sekolah, apalagi sekarang. Maka jangan
heran dengan kenyataan seperti ini: tiap rumah di Koto Gadang pasti
memiliki sarjana dari bidang ilmu apa saja.

Dari nagari ini muncul sejumlah menteri, jenderal, direktur berbagai
perusahaan, pakar, ahli politik, dokter. Di mana pula di Indonesia tiap
rumah memiliki sarjana? Dari segi prestasi, tidak ada desa di Indonesia,
bahkan mungkin di dunia yang bisa menandingi Koto Gadang. Celakanya
mereka semua berada di rantau. Koto Gadang mereka titipkan pada Gunung
Singgalang dan Merapi. Mereka mencari hidup dan penghidupan di rantau
orang. Biasanya saat Idul Fitri, Koto Gadang sangatlah ramainya. Semua
perantau intelektual itu pulang kampung.

Tidak ada yang congkak, merasa hebat satu dari yang lainnya. Mereka
patuh dan santun pada mamaknya yang tinggal di kampung. Mereka hormat
kepada kepala desa, meski ia sendiri seorang jenderal. Segenap pangkat,
atribut, mereka lepas. Maka jadilah mereka Orang Koto Gadang yang
sesunguhnya.

Agus Salim, tidak meninggalkan apa-apa, kecuali spirit yang kuat bagi
warga Koto Gadang dan rakyat Minangkabau. Orang Minang adalah orang
paling bangga di negeri ini, karena telah menyumbangkan Agus Salim,
Hatta, Yamin, Sjahrir, Natsir, As'ad, dan sejumlah nama lainnya bagi
Indonesia.

Di Koto Gadang, Agus Salim membuka HIS partikulir setelah menamatkan
pendidikannya pada akhir 20-an. Dia sekaligus pulang kampung untuk
menikah. Sejak itulah orang mengenalinya sebagai Haji Agus Salim atau
Paatje bagi kerabat keluarganya. Sekolah partikulir yang ia buka,
ternyata mendayung Koto Gadang ke laut pendidikan yang mahaluas.

Ia buka sekolah tanpa pamrih. Sifat tanpa pamrih itu terus ia bawa
sampai ia menjadi seorang inteletual terhormat. Ia sederhana dan nyaris
melarat. Anekdot Agus Salim makan dengan tangan, sementara orang-orang
Eropa makan dengan sendok, sampai kini berkembang luas di nagari-nagari
Minangkabau. "Sendok sudah masuk ke seribu mulut orang lain, tapi tangan
ini hanya ke mulut saya sendiri,"begitulah pembelaan Agus Salim. Dengan
dalih serupa, makan dengan tangan seolah mendapat pembenaran di Minang.
khairul jasmi Sabtu, 27 Oktober 2001 H Agus Salim Politik Jalan
Melingkar

Dalam wacana sejarah, Haji Agus Salim adalah zamrud. Ia juga unikum yang
penuh kontroversi. Hanya sempat menamatkan Hogere Burger School (HBS) --
setingkat SMU - - ia mampu menguasai tujuh bahasa asing dan berhasil
mencapai karir politik sampai menteri. Pengamat Barat, seperti MC
Ricklefs, pun menyebutnya sebagai Grand Old Man of the Republic.

Seorang Snouck Hurgronye -- peletak dasar politik Islam pemerintah
Hindia-Belanda -- juga mengagumi tokoh pergerakan nasional ini dan
dengan terus terang menilainya sebagai intelektual muda yang cerdas,
mempunyai pikiran yang tajam, dan keberanian yang luar biasa untuk
ukuran orang Melayu.

Sebagai unikum, anak Kepala Jaksa di Padang -- Sutan Muhammad Salim --
ini memang mewarisi karekter yang unik: suka berbicara terbuka, sering
menantang, tapi penuh humor yang cerdas. "Ia tokoh nasional yang
memiliki secara sempurna kemampuan berpikir, memimpin, menulis,
sekaligus berbicara," kata Ridwan Saidi dalam diskusi di Gedung
Republika, belum lama ini.

Manuver politik yang dilakukan Agus Salim sepanjang era pergerakan
nasional pun sangat unik. Ia menempuh perjalanan politik yang sepenuhnya
melingkar. "Tidak ada tokoh yang menjalani lingkaran itu seutuhnya
selain Haji Agus Salim," kata sejarawan Taufik Abdullah pada sebuah
tulisannya. Yang dimaksud Taufik adalah lingkaran dari kooperatif, ke
non-kooperatif, dan kembali ke kooperatif.

Arah pergerakan nasional ketika itu memang menunjukkan kecenderungan
melingkar. Dalam waktu hampir 30 tahun, tulis Taufik dalam buku Haji
Agus Salim (Pustaka Sinar Harapan, 1997), pergerakan kebangsaan, yang
bermula dari kooperatif, mengalami proses radikalisasi dengan pilihan
sikap non-kooperatif, untuk akhirnya dipaksa kembali menjalankan politik
kooperatif. Dan, ini dijalani sepenuhnya oleh Agus Salim.

Pada awalnya, sebagai anak seorang pegawai Belanda, Agus Salim adalah
seorang yang kooperatif. Selama belajar di HBS ia tinggal di rumah
keluarga Belanda, Prof TH Kock. Setamat HBS, ia bekerja pada Konsulat
Belanda di Jeddah, dengan gaji sangat besar, 200 gulden per bulan. "Gaji
itu sangat besar untuk ukuran orang Melayu. Sebagai perbandingan, sebuah
keluarga dengan satu istri dan tiga anak saat itu dapat hidup layak
hanya dengan 15 gulden per bulan," kata Ridwan Saidi.

Kembali ke Indonesia, Salim tetap bekerja pada Belanda. Antara lain,
pernah bekerja pada kantor dinas informasi politik, Politieke
Inlichtingen Dients (PID), dengan gaji jauh lebih besar, 750 gulden --
tapi soal ini dibantah oleh Agus Salim, dengan menyebut isu yang ditulis
Timboel No 5/1927 itu sebagai kebohongan.

Lingkaran perjalanan politik Agus Salim kemudian ia lengkapkan dengan
masuk ke SI. Namun, manuver ini sempat mengundang kecurigaan bahwa Agus
Salim bermaksud memata-matai kegiatan SI, terutama HOS Tjokroaminto.
Dalam tulisannya di majalah berbahasa Belanda, Het Lich No 4/Th III Juni
1927, Salim membantah tuduhan tersebut. Namun, pada bagian lain tulisan
bertajuk Ben Ik Een Spion (Adakah Saya Seorang Intel)? itu ia mengakui
bahwa perkenalannya dengan SI dimulai dari tugasnya di PID pada tahun
1915.

Ketika itu memang berkembang isu bahwa SI, dengan bantuan Jerman, akan
melakukan pemberontakan besar-besaran terhadap pemerintah Hindia
Belanda. "Bantuan saya diminta (oleh PID -- pen) dalam suatu
penyelidikan berhubung tersiarnya desas-desus bahwa Tjokroaminoto
menjual SI kepada Jerman seharga 150.000 gulden. Dengan dana itu
Tjokroaminoto akan melancarkan pemberontakan besar di tanah Jawa, sedang
senjata dan perlengkapan lainnya disediakan oleh Jerman," kata Agus
Salim dalam tulisan tersebut.

Di sinilah titik kontroversi sejarah perjuangan Salim. Di satu sisi ia
membantah tuduhan bahwa dia mata-mata Belanda, namun di sisi lain ia
mengakui mendekati SI dengan mengemban tugas dari PID untuk menyelidiki
kegiatannya. Baru di kemudian hari, tentang isu pemberontakan SI itu, ia
mengatakan, "sejak awal saya telah merasa yakin akan dua hal. Pertama,
desas-desus itu hanya isapan jempol belaka. Kedua, usaha pemberontakan
itu, seandainya dilakukan, hanyalah akan menjadi bencana bagi bangsa dan
negara."

Tugas tersebut, aku Salim, pada akhirnya memang ia terima, tapi setelah
ia menyampaikan dua keyakinan di atas kepada pihak PID. Namun, tidak
jelas apakah Salim sempat melaporkan hasil penyelidikannya ke Belanda.
Yang jelas, akunya, perkenalan itu membuat ia bergabung dengan SI dan
memutuskan hubungan dengan dinas informasi politik Belanda tersebut.
Tapi, ia tetap mempertahankan keanggotaannya di Nederlandsch Indische
Vrijzinnigen Bond (NIVB) dan Indische Sociaal Democratische Partij
(ISDP).

Keanggotaan di dua organisasi itu, menurutnya, tidak bertentangan dengan
keanggotaannya di SI. Namun, terhadap SI, Salim mengeritik sebagai
organisasi yang belum memiliki sikap politik yang tegas. Antara lain, ia
menyebut banyak bupati, patih, pejabat pamong praja, dan petugas
pengadilan, yang menjadi anggota SI. Sementara, banyak juga tokoh SI
yang merangkap menjadi pengurus Boedi Oetomo, dan sejumlah organisasi
lain.

Sedangkan tentang sikap politiknya sendiri, Agus Salim mengatakan,
"dalam perkumpulan apapun dan di manapun saya tampil, saya selalu dengan
mantap mengatakan kecenderungan politik saya yang bersifat Islam
radikal, malahan lebih tegas lagi sebagai aktivis SI."

Sampai tahun 1921 Agus Salim masih menampakkan sikap kooperatif.
Misalnya, ia bersedia menjadi anggota Volksraad (1921-1924) mewakili SI.
Namun, di Dewan Rakyat bikinan Belanda inilah sikap radikalnya mulai
tampak menonjol. Ia biasa bicara terbuka, keras, dan 'menantang'.
Bahkan, meskipun menguasai bahasa Belanda dan mendapat teguran dari
pimpinan Dewan, ia nekat menggunakan bahasa Indonesia (ketika itu masih
disebut bahasa Melayu) dalam pidato dan rapat Dewan -- ia orang pertama
yang menggunakan bahasa Indonesia di Volksraad.

Sikap radikalnya makin menguat seirama dengan pergeseran SI menjadi PSI
pada 1924 yang memilih sikap non-kooperatif -- tokoh-tokoh SI menyebut
ini sebagai 'politik hijrah'. Dialah yang mencanangkan program baru:
politik non-kooperatif dengan Volksraad. Salim pula yang dengan
sarkastis menyebut Volksraad tak lebih dari sebuah 'komedi omong'.

Meskipun pilihan politik non-kooperatif PSI ketika itu banyak diikuti
organisasi-organisasi lain, namun sikap keras Agus Salim bersama
partainya ini banyak juga mendapat benturan dan tekanan dari berbagai
pihak, terutama pemerintah Belanda. Kematian singa podium yang
kharismatis HOS Tjokroaminoto, politik rust en orde Belanda yang
dibarengi security approach para intel PID, menurut Taufik Abdullah,
memaksa Agus Salim meninjau kembali strategi 'politik hijrah' itu. Ia
pun akhirnya dikalahkan dan tersingkir dari PSI -- saat telah menjadi
PSII(ndonesia).

Seperti yang dilakukan Hatta pada tahun 1930, yang mendirikan Pendidikan
Nasional Indonesia sebagai protes terhadap bubarnya PNI (lama), Salim
dan kawan-kawannya kemudian mendirikan Pergerakan (Partai) Penyadar.
Melalui organisasi barunya ini, Salim menyempurnakan lingkaran
perjalanan politiknya: kembali kooperatif dengan Belanda. Dan, seperti
ditulis Taufik Abdullah, sambil berkooperasi secara politik, Salim
menjalankan strategi sosial yang bercorak pendidikan rakyat.

Yang menarik, dan ini jarang dilihat oleh para pengamat sejarah, adalah
hadirnya seorang Belanda yang berkali-kali disebut namanya oleh Agus
Salim, yakni S Koperberg, di tengah-tengah kontroversi tersebut. Ia
adalah propagandis ISDP dan pejabat pada Encilopaedisch Bureau
Departemen Dalam Negeri, yang kemudian menjadi penasehat majalah
Timboel.

Menariknya, tuduhan bahwa Agus Salim intel Belanda muncul di majalah itu
setelah tokoh pergerakan nasional ini keluar dari ISDP serta membawa PSI
bersikap non-kooperatif. Saat itu pula, S Koperberg sedang menjadi
penasehat Timboel. Ada dugaan, fitnah itu merupakan skenario Belanda
untuk memecahbelah PSI dan potensi Islam pada umumnya -- ingat, Belanda
memang mempraktekkan politik devite et impera -- sekaligus meredam
vitalitas Agus Salim. Dan, orang yang dipakai untuk itu adalah Mr
Singgih.

Namun, bagaimanapun dan di manapun posisi politiknya, seperti diakui
banyak pengamat sejarah, Agus Salim tetaplah zamrud sekaligus unikum. Ia
juga sastrawan, spiritualis, bapak cendekiawan Muslim, dan perumus
ideologi politik Islam. Tidak cukup empat halaman koran ini untuk
mengkaji seluruh sisi menarik tokoh teladan yang meninggal pada 4
November 1954 ini. ahmadun yh



RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================


RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke